ETIKA DISKURSUS DAN BASISNYA DALAM TEORI AKSI MENURUT JUERGEN HABERMAS

Benny Obon
Mahasiswa Sekolah Tinggi Filsafat Ledalero
Tinggal di wisma St. Rafael

1. Apakah sebuah pembenaran prinsip moral niscaya dan mungkin?
Tuntuan pembenaran prinsip moral sangat tidak beralasan mengingat imperatif kategoris Kant seperti banyak variasi dari prinsip penguniversalisasian ditempatkan pada bagian utama oleh etika kognitivist mengikuti langkahnya, ini menunjukkan intuisi moral ini dapat dipertanyakan. Tentu hanya seperti norma aksi yang dimasukan yang mampu menyamakan kepentingan yang sesuai pada konsepsi kita dari pembenaran. Tetapi pandangan moral ini mungkin hanya ekspresi ide moral partikular dari budaya Barat. Penolakan Paul Taylor terhadap usul Kurt Baier dapat diperluas pada berbagai versi prinsip penguniversalisasian.
Kemudian ada alasan untuk menduga bahwa klaim universalitas yang dibangun oleh etika kognitivist dihadapan prinsip moral pada kemurahan hati adalah sesuai dengan kekeliruan etnosentris. Kognitivist tidak dapat menghindarkan tuntutaan kaum skeptik bahwa itu dapat dibenarkan. Di mana mereka tidak hanya mendasarkannya pada pertimbangan sehat. Kant mendasarkan pembenaran imperatif kategoris pada konsep substansi normatif dari otonomi dan kehendak bebas. Dengan melakukan hal itu maka ia membuat dirinya mendapat kritikan pada penolakan bahwa ia berkomitmen pada petitio principii. Dalam hal lain pembenaran imperatif kategoris menjalin hubungan yang menyeluruh dengan sistem Kant bahwa itu tidak mudah untuk dipertahankan jika premis-premisnya diubah.
2. Munchhausen Trilemma
Hans Albert dalam Treatise on Critical Reason mengambil keraguan kaum skeptik untuk menyusun kembali keraguan tentang kemungkinan pembenaran moral uiversalist sebagai sebuah tututan bahwa itu mustahil untuk dibenarkan seperti moral. Hans Albert menghubungkannya dengan model filsafat praktis Popper dari percobaan kritis yang dikembangkan untuk filosofi pengetahuan dan bertujuan untuk mengambil tempat dari kaum pembentuk tradisional dan kaum pembenar.
Menurut Hans Alber, usaha untuk membenarkan prinsip moral dengan kebenaran universal akan membawa kaum kognitivist dalam Munchhausen trilemma. Dalamnya mereka berhadapan dengan tiga alternatif yang tidak bisa diterima. Munchhausen trilemma merupakan suatu trilemma yang merujuk pada persoalan setiap pendasaran akhir, bahwa setiap pendasaran merujuk pada prinsip yang lebih tinggi. Prinsip yang lebih tinggi ini juga harus diberi pendasaran yang logis. Tiga hal yang tercakup dalam trilemma tersebut antara lain:
a. Regressus infinitum yaitu rantai pembuktian tanpa akhir,
b. Rantai infinitum tersebut berakhir begitu saja, ini menunjukkan persoalan tersebut tidak rasional dan hal ini tidak mungkin karena itu mengandaikan ada alasan yang lain.
c. Membuat suatu pembuktian dengan metode lingkaran atau dengan argumen yang melingkar. Hal ini tidak mungkin karena apa yang harus dibuktikan adalah pengandaian dari pembuktian.
Status trilemma ini sangat problematik. Trilemma dibangun hanya jika pengandaian sebuah pembenaran konsep semantik itu diorientasikan pada hubungan deduktif antara pernyataan-pernyataan dan basisnya semata-mata pada konsep kesimpulan yang logis. Konsep deduktif dari pembenaran ini terbatas pada eksposisi hubungan pragmatik antara wacana tindakan argumentatif.
Terhadap argumenasi tersebut Karl-Otto Apel menjadi sumber kesalahan untuk mencurahkan metakritik dan menyangkal menolak Munchhaussen trilemma. Apel berubah pikiran yang membuka dimensi yang tersembunyi dari pembenaran deduktif dari norma etika dasar. Ia menghidupkan lagi mode transedental dari pembenaran dengan menggunakan bahasa pragmatis. Satu elemen kunci dari argumentasi pragmatis transendental adalah gagasan kontradiksi performatif. Dengan demikian Apel membongkar kontradiksi performatif dalam penolakan yang dibangun oleh kaum falibilist yang menolak kemungkinan prinsip moral dasar dan menghadirkan Munchhausen Trilemma.
Tak dapat disangkal bahwa pembenaran pragmatis transendetal dalam kenyataannya mungkin. Selanjutnya Habermas menunjukkan argumennya dengan menyebutkan kondisi yang tertentu bahwa argumen-argumen pragmatis transendental harus dapat diterima. Habermas menggunakan kriteria ini untuk menduga dua anjuran yang terbaik dari R. S. Peters dan Karl-Otto Apel. Habermas juga menghadirkan sebuah versi argumen pragmatis transendental yang dapat berdiri pada penolakan yang biasa dalam melawannya. Selain itu Habermas juga menunjukkan pembenaran etika diskursus tidak mempunyai status pembenaran yang utama dan (mengapa) tidak ada kebutuhan untuk mengklaim status ini.
3. Moralitas dan Etika Kehidupan
Pertentangan antara kaum kognitivist dan skeptik belum diselesaikan secara definitif. Kaum skeptik tidak puas dengan menyerah pada klaim pokok pembenaran dan prospek konfirmasi langsung dari teori diskursus. Kaum skeptik dapat menanyakan asal mula kekuatan transendental pragmatis dari prinsip moral. Dan bahkan jika kaum skeptik sudah mengakui bahwa etika diskursus dapat dibenarkan pada tataran ini, maka mereka tetap mempunyai alasan untuk menyerang kaum cognitivist (1).
Kaum skeptik dapat mengikuti pendapat neo-Aristotelian dan neo-Hegelian yang menunjukkan bahwa etika diskursus tidak menunjukkan banyak perhatian yang riil dari etika filosofis, sejak etika diskursus menunjukkan yang terbaik sebuah formalisme yang kosong yang konsekuensi praktisnya tidak menguntungkan (2).
Habermas hanya menjawab penolakan kaum skeptik yang kedua hanya pada suatu keniscayaan yang tinggi untuk mengklarifikasi basis terori aksi etika diskursus. Karena moralitas selalu melekat pada apa yang disebut Hegel sebagai etika kehidupan, maka etika diskursus selalu terbatas pada subjek dan walaupun ketidakterbatasan tersebut dapat mendevaluasi fungsi kritiknya atau kekuatan kaum skeptik pada aturannya sebagai pendukung kontra pencerahan.
Habermas menjelaskan bahwa jika kaum skeptik mengikuti argumen yang sudah dikemukakannya maka mereka akhirnya siap menerima pembenaran prinsip moral dan prinsip etika diskursus yang diperkenalkan Habermas. Bagaimana pun hanya merujuk pada kemungkinan argumentasi yang tersisa, ia menyebutnya ke dalam arti etika formalis. Dengan berakar pada argumentasi praktis dalam konteks kehidupan dunia dari komunikasi aksi merujuk pada kritik Hegel dari Kant yang oleh kaum skeptik untuk mendukung penolakannya terhadap kaum kognitivist.
Selanjutnya Habermas berhadapan dengan Albrecht Wellmer yang mengajukan keberatan bahwa etika formal dan prosedural semacam itu kurang relevan. Karena dalam praktik kita mengacu pada nilai-nilai dan norma-norma yang berlaku dalam lingkungan sosial kita baik dapat atau tidak dapat dibenarkan dalam sebuah diskursus. Dalam kenyataan orang tidak akan berpikir untuk membenarkan keyakinan-keyakinan moralnya dulu melalui sebuah diskursus melainkan ia sudah mengandaikannya dari lingkungan sosial budayanya sendiri.
Habermas menanggapi pendapat Albrecht Wellmer, pertama-tama ia menjelaskan bahwa prinsip etika diskursus menyangkut sebuah prosedur, pembenaran diskursif klaim-klaim keberlakuan normatif, dalam arti ini etika diskursus tepat disebut sebagai etika formal. Ia tidak memberi orientasi substansial, melainkan suatu metode diskursus praktis. (Seperti yang sudah dijelaskan dalam pertemuan-pertemuan awal) bahwa diskursus bukan metode untuk menciptakan norma-norma yang sah melainkan untuk memeriksa keabsahan norma-norma yang diajukan dan dipertimbangkan secara hipotesis. Etka diskursus merupakan sarana untuk mencek apakah sebuah norma yang sedang dipersoalkan berlaku universal atau tidak.
Kedua, dari mana etika diskursus mengambil norma-norma yang didiskursuskan? Habermas menjawab dari dunia kehidupan. Dunia kehidupan maksudnya segala macam pandangan dunia, kepercayaan, nilai-nilai dan kebiasaan yang berlaku dalam sebuah komunitas atau kelompok sosial tertentu dan yang merupakancakrawala dan konteks otomatis daris egala pengertian, tindakan dan gaya hidup kelompok tersebut. dunia kehidupan menentukan identitas sosial kultural seseorang. Adalah ciri khas dunia kehidupan bahwa ia diandaikan begitu saja dan pada umumnya tidak disadari.
Diskursus-diskursus praktis harus diberi isinya. Tanpa cakrawala dunia kehidupan kelompok sosial tertentu, dan tanpa perbedaan pendapat mengenai apa yang dalam sebuah situasi tertentu harus dilakukan, di mana para partisipan memandang pengaturan konsensual materi sosial yang dipertentangkan sebagai tugas mereka, tidak masuk akal mau melakukan diskursus praktis. Situasi konkret di mana kesepakatan normatif terganggu, yang merupakan bahan masing-masing diskursus praktis, menentukan objek dan masalah-masalah yang perlu diperdebatkan. Maka prosedur ini formal bukan dalam arti bahwa bukan mengenai masalah-masalah tertentu. Dalam keterbukaannya diskursus justru tergantung dari masalah-masalah yang kebetulan diajukan. Dalam diskursus, masalah-masalah itu dikerjakan sedemikian rupa hingga segi-segi nilai khusus akhirnya tidak dapat diperhatikan karena tidak dapat disepakati, apakah selektivitas ini yang membuat prosedur etika diskursus tidak mencukupi untuk memecahkan masalah-masalah praktis.
Apabila kita mendefinisikan maslah praktis sebagai masalah hidup baik yang mengenai keseluruhan pola hidup masing-masing maka formalisme etis memang keras: prinsip penguniversalisasian berfungsi bagaikan pisau yang membuat potongan antara yang baik dan yang adil antara pernyataan-pernyataan evaluatif dan murni normatif. Nilai-nilai kultural memang memuat klaim atas pengakuan intersubjektif, akan tetapi mereka terjalin sedemikian erat dengan keseluruhan sebuah pola hidup khusus sehingga tidak dengan sendirinya dapat mengklaim keberlakuan normatif dalam arti sesungguhnya – mereka paling-paling menjadi kandidat untuk dijelmakan ke dalam norma-norma yang mau mengajukan sebuah kepentingan umum.*

0 komentar: