DISLOKASI UU PORNOGRAFI: Catatan seminar tolak UUP di Ledalero (1)

Benny Obon

Undang-undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi (UU Pornografi) telah mengundang berbagi reaksi dan aksi protes dari berbagai kalangan di seluruh tanah air. Penetapan Undang-undang ini dinilai kurang benar karena substansi persoalan utamanya belum jelas. Persoalan yang diusung/termuat dalam Undang-undang ini menuai reaksi kontroversial. Bahkan sejak masih dalam draft rancangannya reaksi penolakan berdatangan dari berbagai kalangan.
Uji coba penerapan Undang-undang Pornografi di berbagai daerah sebelum diundangkan oleh wakil rakyat (yang terhormat dan yang selalu ingin dihormati) tidak cukup mewakili Indonesia yang luas ini. Selain itu daerah yang dipilih untuk uji coba penerapan Undang-undang Pornografi adalah daerah yang (sangat) mendukung penerapan Undang-undang tersebut. Kelihatannya pemerintah sengaja memilih daerah tertentu sebagai tempat uji coba penerapan undang-undang pornografi terseabut agar masyarakat cepat menerimanya. Pemerintah menyangka bahwa daerah-daerah tersebut sudah cukup mewakili negara Indonesia yang mempunyai banyak agama, budaya dan adat-istiadat.
Proses pengundangan undang-undang tersebut di lembaga DPR tidak menuai hasil yang baik, malah berujung pada pro dan kontra di antara faksi-faksi di DPR. Perdebatan panjang antara wakil rakyat tidak menuai titik terang yang berujung pada walk out yang dilakukan oleh beberapa faksi yang tidak mendukung Undang-undang tersebut.
Perdebatan yang berujung pada WO beberapa faksi tersebut menyiratkan bahwa ruang demokrasi tidak berlaku dalam kalangan DPR. Demokrasi yang dibayar dengan nyawa oleh para pejuang demokrasi digantikan dengan voting oleh anggota DPR. Mudah sekali. Kita tidak perlu heran karena anggota DPR kita melek demokrasi. Tas-tas tangan yang tiap hari dijinjing oleh anggota dewan sama sekali tidak berisi ’barang-barang’ demokrasi, tetapi penuh dengan sisir rambut dan bahan-bahan make up. Sedangkan cerminnya dapat ditemukan pada sepanjang pintu gerbang kantor DPR, di sana para penjual cermin setia menunggu anggota dewan untuk mengunjungi tempat jualan mereka untuk bercermin. Tak peduli terlambat atau tidak, yang penting rambut beres, tidak tahu pekerjaan apa yang dilakukan hari itu. Suara rakyat yang mengusungnya hilang dan terbang bersama asap knalpot Mercedes Benznya ’sang tuan’. Tidak heran mereka tidak dapat menempatkan dirinya di pihak rakyat berhadapan dengan penetapan Undang-undang seperti ini. Inilah wajah anggota DPR kita. Seperti inikah demokrasi?
Penetapan Undang-undang pornografi melalui voting oleh anggota DPR merupakan suatu rasionalisasi transendental dari demokrasi. Kita bisa bayangkan betapa picik dan terkungkungnya wawasan berdemokrasi para anggota dewan di negara kita. Realitas pluralitas agama, suku, ras, bahasa, budaya dan adat-istiadat yang telah turut memperkaya bangsa kita direduksi oleh penerapan Undang-undang Pornografi. Dengannya segala kekayaan tersebut akan dihilangkan, berbagai budaya dan adat-istiadat akan dimatikan serta menutup berbagai akses studi dan penelitian terhadap berbagai kebudayaan di suatu daerah.
Pemberlakuan Undang-undang Pornografi mematikan ekspresi budaya di negara kita yang sangat produktif. Kebudayaan yang selama ini telah mengundang daya tarik banyak orang dikebiri oleh undang-undang tersebut. Para pemimpin menyangka keberadaan budaya yang kaya di Indonesia telah merusak moralitas bangsa. Bahwa moralitas warga negara menjadi kurang baik yang nampak dalam berbagai budaya daerah. Tarian budaya yang telah menjadi kekhasan suatu daerah dinilai tidak manusiawi dan tidak sesuai dengan asas ke-Tuhanan.
Cara berpakian bagi masyarakat Papua tidak lagi dilihat sebagai suatu budaya dan kekhasan orang Papua, tetapi menjadi batu sandungan bagi negara Indonesia. Rendahnya moralitas masyarakat papua yang dilihat dari cara mereka berpakian telah merusak citra Indonesia, karena itu harus dikontrol dan diatur oleh undang-undang. Pemberlakuan undang-undang Pornografi di sini menghapus budaya orang Papua sekaligus meniadakan etnis Papua dari bumi Indonesia. Dengan demikian bumi indonesia tidak lagi menjadi hunian yang aman bagi masyarakat Papua karena mereka selalu dihantui oleh bayangan jeruji besi penjara dan miliaran uang sebagai tebusan terhadap pelanggaran undang-undang pornografi.
Terhadap contoh seperti ini undang-undang pornografi mengalami dislokasi, karena kebudayaan suatu masyarakat dinilai sebagai yang tidak bermoral. Dislokasi ini telah memunculkan berbagai aksi protes di seluruh tanah air. Sebagai reaksi lanjutan terhadap pemberlakuan undang-undang pornografi tersebut, maka Forum Masyarakat Sikka tolak Undang-undang Pornografi menggelar seminar sehari yang berlangsung di aula Seminari tinggi Ledalero.
Seminar tersebut merupakan bagian dari upaya lanjutan atas kegagalan Forum tersebut dalam usaha mendesak presiden untuk melakukan judical review atas undang-undang pornografi. Penyataan sikap Forum masyarakat Sikka yang dibuat pada tangal 19 November 2008 yang lalu tidak berhasil diteruskan ke presiden. Oleh karena itu atas perjuangan pemerintah daerah kabupaten Sikka dan pemerintah propinsi NTT, pemerintah propinsi Papua, Pemerintah propinsi Bali, pemerintah propinsi Sulawesi Selatan serta pemerintah psopinsi Sulawesi Utara, maka pada tanggal 14 Maret 2009 dilangsungkan sebuah seminar di Ledalero. (bersambung)

DISLOKASI UU PORNOGRAFI:
Catatan seminar tolak UUP di Ledalero (2)
Benny Obon

Dislokasi undang-undang pornografi mencemaskan masyarakat. Kecemasan masyarakat sangat berdasdar karena pemberlakuan undang-undang tersebut tidak sesuai asas Pancasila. Pancasila yang menjadi dasar dan ideologi negara ’diperkosa’ oleh berbagai kalangan ke dalam berbagai kepentingan mereka. Undang-undang pornografi tersebut dinilai syarat akan kepentingan golongan tertentu.
Pemberlakuan undang-undang pornografi dinilai tidak adil karena undang-undang tersebut sangat diskriminatif dan tidak mengindahkan etika suatu negara demokrasi. Pengesahan UU Pornografi yang belum jelas substansi persoalan utamanya menimbulkan masalah lain seperti fenomena premanisme yang sangat ditakuti. Kebijakan pengesahan undang-undang tersebut juga dinilai melanggar etika politik karena pemerintah mengabaikan suara masyarakat yang menolak UU tersebut. Pemerintah dilihat mengarah pada sistem pemerintahan yang totaliter dan terlalu mencampuri privasi rakyat, sementara negara kita adalah negara demokrasi. Dengan ini pemerintah mengabaikan peran masyarakat dalam negara alam demokrasi yang dapat mengkritisi berbagai kebijakan pemerintah.
Undang-undang pornografi juga dinilai cacat hukum. Para pembuat undang-undang pornografi melihat konsep negara hukum Pancasila yang lebih menekankan dan mengutamakan kepentingan pribadi atau golongan dari pada kepentingan umum. Pandangan seperti ini akan menimbulkan konflik hukum pada praktiknya dikemudian hari. Di dalamnya keseimbangan antara kepentingan golongan dan kepentingan umum diabaikan.
Kaum minoritas pun semakin ditindas dan segala kepentingannya tidak terakomodasi dalam kebijakan hukum. Alasan kepentingan umum menjadi dasar untuk menekan dan menyudutkan golongan kecil. Dengan demikian dapat dilihat bahwa politik hukum undang-undang pornografi yang mengemukakan konsep negara hukum Pancasila lebih menekankan kepentingan pribadi atau golongan dari pada kepentingan umum.
Pasal 2 undang-undang pornografi berbunyi, “Pengaturan pornografi berasaskan Ketuhanan Yang Maha Esa, penghormatan terhadap harkat dan martabat kemanusiaan, kebhinnekaan, kepastian hukum, nondiskriminasi, dan perlindungan terhadap warga negara”. Kata kepastian hukum dan nondiskriminasi dalam pasal tersebut perlu digarisbawahi dan perlu ditetlaah secara mendalam. Di sini kita perlu bertanya kepastian hukum macam mana yang ditunjukkan oleh undang-undang pornografi? Bukankah setiap budaya mengandung unsur etika dan hukumnya tersendiri. Bukankah suatu tarian adat setempatnya misalnya, mengandung nilai etika, dengannya hukum ditarik dari etika itu sendiri. Tarian adat suatu daerah mengandung nilai etika yang tinggi yang juga terimplisit di dalamnya nilai hukum, sehingga mustahil dinilai sebagai suatu pornoaksi.
Hal kedua yang mau digarisbawahi dari pasal 2 tersebut adalah term nondiskriminasi. Rupanya para pembuat undang-undang pornografi tidak memahami arti istilah nondiskriminasi. Pemberlakuan undang-undang pornografi yang tidak menghargai pluralitas budaya di Indonesia menunjukkan undang-undang tersebut sangat diskriminatif. Berbagai tarian adat dan cara berpakian masyarakat Papua yang dinilai melanggar undang-undang pornografi dengan jelas menunjukkan upaya penghapusan budaya suatu masyarakat. Kenyataan ini menunjukkan bahwa undang-undang pornografi mendiskriminasi masyarakat.
Hal lain yang mau dilihat dari pasal tersebut adalah soal pengaturan pornografi yang berasaskan Ketuhanan Yang Maha Esa. Para pembuat undang-undang pornografi terlalu bijaksana dalam menyusun undang-undang tersebut, karena mereka bekerja berasaskan Ketuhanan. Dengan berasaskan Ketuhanan, maka jelas bahwa undang-undang pornografi adalah suatu produk yang sempurna. Namun, apakah benar bahwa asas Tetuhanan ini menjadi landasan bagi mereka dalam menyusun bab demi bab dan pasal demi pasal undang-undang pornografi?
Pasal 4 point 1 bagian b undang-undang pornografi berbunyi, “Setiap orang dilarang memproduksi, membuat, memperbanyak, menggandakan, menyebarluaskan, menyiarkan, mengimpor, mengekspor, menawarkan, memperjualbelikan, menyewakan, atau menyediakan pornografi yang memuat: b. kekerasan seksual”. Dari pasal ini kita dapat bertanya, apakah undang-undang pornografi dapat menghilangkan kekerasan seksual yang selalu terjadi di tanah air? Apakah undang-undang pornografi dapat menghilangkan dan membatasi keinginan seseoang untuk melakukan kekerasan seksual?
Pasal 31 undang-undang pornografi berbunyi, “Setiap orang yang menyediakan jasa pornografi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 6 (enam) tahun atau pidana denda paling sedikit Rp250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah)”. Bagi seorang Papua yang tiap hari mengenakan pakaian kesukuannya yang dinilai melanggar undang-undang pornografi dan harus dihukum tentu tidak mengerti dan tidak mempunyai uang sebanyak itu untuk membayar denda. Pertanyaan kita adalah, akankah undang-undang pornografi membawa suatu pelindungan bagi masyarakat sebagaimana dimaksudkan eleh pasal 2 di atas? Bukankah undang-undang pornografi justeru membawa ketakutan bagi masyarakat (Papua misalnya) karena setiap saat mereka selalu dibayangi oleh jeruji besi dan miliaran rupiah sebagai denda pelanggaran undang-undang pornografi. Dengan ini undang-undang pornografi tidak melindungi masyarakat tetapi justeru membuat masyarakat tidak tenang dalam hidupnya.
Pertanyaan-pertanyaan di atas merupakan bukti keambiguitasan undang-undang pornografi. Dengan ini jelas dan sangat berasalasan jika masyarakat menolak undang-undang tersebut. Tidak heran kalau berbagai aksi penolakan baik dalam bentuk aksi massa maupun dalam bentuk-bentuk seminar selalu digelar. (bersambung).


DISLOKASI UU PORNOGRAFI:
Catatan seminar tolak UUP di Ledalero (3/habis)
Benny Obon

Reaksi protes atas pengesahan undang-undang pornografi merupakan sesuatu yang sangat perlu dilakukan. Reaksi protes sebagai penolakan merupakan hak masyarakat, bahwa masyarakat berhak untuk mengkritisi berbagai kebijakan yang diambil pemerintah. Dengan mengkritisi kebijakan pemerintah tersebut, menunjukkan masyarakat sudah meanjalankan fungsinya sebagai warga negara. Bahwa warga negara sebagai basis dan substansi dasar dalam negara demokrasi tidak bisa melepaskan diri dalam mengurus negara.
Reaksi protes masyarakat juga menunjukkan rasa kecintaan dan rasa memiliki masyarakat akan sebuah negara. Tanpa rasa memiliki – sense of belonging, dari masyarakat, suatu negara tidak bisa berkembang ke arah yang lebih baik.
Atas dasar inilah maka, masyarakat Indonesia berhak mengajukan protes atas keputusan pemberlakuan undang-undang pornografi. Undang-undang pornografi yang nilai cacat hukum patut dan layak untuk ditolak. Penolakan tersebut disertai dengan berbagai pemikiran kritis seperti, pemberlakuan undang-undang pornografi yang terlalu menekankan fungsi protektif terhadap anak adalah sesuatu yang sangat berlebihan, karena kita mempunyai undang-undang perlindungan anak. Selain itu undang-undang pornografi tentu tidak dapat menghilangkan berbagai tindakan kekerasan terhadap anak. Undang-undang pornografi juga membatasi hak-hak warga negara yang sudah diatur dalam Undang-undang Dasar 1945 yang menjamin hak dan kebebasan warga negara dalam memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan asas yang berlaku dalam negara demokratis.
Dari pemikiran kritis tersebut kita dapat melihat bahwa landasan hukum pembentukan undang-undang pornografi kurang mendasar dan kurang bisa dijadikan landasan hukum pembentukan undang-undang pornografi.
Undang-undang pornografi juga sangat ambigu karena mengalami multi tafsir. Perbedaan penafsiran memunfkinkan munculnya berbagai kesenjangan sosial dalam masyarakat. Kesenjangan sosial ini pada gilirannya akan membawa perpecahan dan konflik dalam masyarakat. Dengan demikian undang-undang pornografi tidak membawa persatuan tetapi justeru membawa perpecahan dalam masyarakat.
Perbedaan penafsiran terhadap undang-undang pornografi membawa orang pada suatu sikap ekstrim, sinisme, skeptis dan subjektivisme yang tinggi. Orang akan memandang orang lain dengan suatu sinisme yang tinggi karena seseorang bisa saja menganggap perilaku orang (tertentu) bertentangan dengan undang-undang pornografi. Sinisme dan subjektivisme yang tinggi akan memunculkan konflik sosial, karena orang dapat saling menaruh curiga satu sama lain.
Kecurigaan seperti ini tentu sangat berbahaya dalam konteks negara kita yang sangat plural. Kecurigaan ini pada gilirannya akan menciptakan konflik antara suku, agama, dan ras. Dengan demikian undang-undang pornografi merupakan suatu benih konflik gaya baru yang lahir di bumi Indonesia.
Selain itu, undang-undang pornografi juga menciptakan suatu pasar politik. Pasar politik ini mengkondisikan masyarakat dalam suatu kondisi tertentu. Dengannya undang-undang pornografi diusung ke dalam berbagai visi dan misi politik untuk merebut suara rakyat. Undang-undang pornografi juga menujukkan suatu fundamentalisme gaya baru yang bersifat transnasional.
Dalam fiundamentalisme gaya baru yang bersifat transnasional, undang-undang pornografi diadopsi dari budaya suatu negara tertentu dan diterapkan secara baru dalam negara Indonesia dengan tema undang-undang pornografi. Dan, sebetulnya para pembuat undang-undang pornografi mengadopsi hukum yang berlaku di negara lain untuk diterapkan di Indonesia. Tindakan seperti ini merupakan suatu upaya menghilangkan kemajemukan dalam suatu negara, karena dengannya pluralitas budaya dan adat-istiadat direduksi ke dalam undang-undang pornografi. Sikap seperti ini akan mengancam integerasi bangsa.
Pemberlakuan undang-undang pornografi adalah suatu ketakuatan yang berlebihan dari pemerintah. Fobia pemerintah ini sangat tidak berdasar. Sebenarnya undang-undang pornografi tidak perlu dibentuk karena bangsa Indonesi telah mempunyai aturan yang berkaitan dengan pornografi yaitu Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) yang diterima keberadaannya karena memnuhi prinsip-prinsip hukum seacara universal. Dari sini kita bisa bertanya, aturan mana yang diterapkan bila terjadi persoalan: apakah undang-undang pornografi atau KUHP tersebut.
Selain itu udang-undang pornografi perlu ditolak karena tidak mendapat dukungan yang kompak di parlemen. Sistem voting yang dilakukan oleh DPR tidak benar karena negara kita adalah negara demokrasi yang menekankan prinsip musyawarah dan mufakat. Undang-undang pornografi yang juga mengurus moral dan akhlak masyarakat yang merupakan urusan keagamaan bukanlah unsur yang harus diatur oleh negara. Pemberlakuan undang-undang pornografi menunjukkan diskursus dalam ruang publik tidak berjalan. Oleh sebab itu kita harus menolak undang-undang pornografi tersebut.*

0 komentar: