KONFLIK ISRAEL – PALESTINA: BEBAN SEJARAH (1)

Benny Obon
Pada tanggal 27 Desember 2008 yang lalu Israel melakukan serangan besar-besaran terhadap kelompok Hamas yang menguasai jalur Gaza. Kelompok Hamas menguasai jalur Gaza sejak 2007 yang sebelumnya dikuasai oleh pemerintah Palestina. Mereka menguasai jalur tersebut setelah berhasil mengalahkan pasukan pemerintah dalam perang yang berlangsung selama beberapa minggu.
Serangan Israel ke jalur Gaza telah berakhir dengan gencatan senjata secara sepihak oleh Israel setelah menyerang Gaza selama 22 hari. Ribuan nyawa orang Palestina melayang, ribuan lainnya mengalami luka-luka, ribuan kehilangan orangtua dan anak-anak, serta ribuan yang kehilangan tempat tinggal, ribuan bangunan rata dengan tanah dan tak ketinggalan tempat suci – Mesjid-mesjid. Kutukan atas serangan tersebut berdatangan dari berbagai negara, tak ketinggalan negara Indonesia. Kota Gaza yang dijuluki negeri religius dengan ditandai oleh mesjid-mesjid yang indah itu mendadak menjadi ‘negeri maut’ bagi penghuninya oleh serangan Israel.
Agresi militer Israel tersebut meninggalkan duka yang mendalam dan menjadi beban sejarah yang tidak akan pernah dilupakan oleh orang Palestina. Entah sampai kapan mereka mengalami kedamaian tidak ada yang tahu – unpredictable, karena konflik Israel – Palestina merupakan sebuah beban sejarah laksana bom waktu yang selalu siap meledak. Gencatan senjata secara sepihak oleh Israel tersebut dinilai hanya sebagai ‘oleh-oleh’ untuk Presiden Obama, dan kini Israel kembali menyerang wilayah yang diisolasi tersebut.
Serangan ke jalur Gaza dilakukan setelah berakhirnya masa gencatan senjata antara kedua negara. Di samping itu, serangan tersebut dilakukan karena kelompok Hamas tidak henti-hentinya menembakkan roket ke wilayah-wilayah Israel. Bahkan sepanjang tahun 2008 kelompok Hamas menembakkan ribuan roket ke wilayah Israel. Tindakan Hamas tersebut mencemaskan pemerintah dan warga sipil Israel. Untuk menghentikan penembakkan roket ke wilayah Israel pemerintah Israel di bawah Perdana Menteri Ehud Olmert, melakukan agresi militer secara besar-besaran.
Menurut berita yang disiarkan oleh saluran televisi Aljazera yang bekerja sama dengan saluran televisi Tv-One beberapa waktu lalu, serangan Israel tersebut sebagai kampanye untuk menarik simpati rakyat Israel yang dilakukan oleh tiga orang petinggi Israel dalam usaha memenangkan pemilu Israel pada bulan Februari tahun ini.
Sementara itu sebelum terjadinya serangan habis-habisan Israel ke jalur Gaza tersebut, sudah terjadi serangan-serangan kecil di antara kedua belah pihak di sekitar jalur Gaza. Serangan kecil-kecilan tersebut disebabkan karena Israel menutup tempat-tempat penyeberangan atau jalur komersial ke jalur Gaza sehingga pasokan bahan bakar minyak terhenti yang memaksa satu-satunya pusat pembangkit listrik di jalur Gaza ditutup. Bahkan orang menganggap bahwa kota Gaza merupakan penjara terbesar di dunia karena blokade yang dilakukan oleh Israel.
Konflik Israel – Palestina sudah berlangsung lama, sehingga menjadi beban sejarah bagi kedua negara. Menurut sejarah, konflik tersebut sudah belangsung selama 31 tahun sejak tahun 1967 Israel menyerang Mesir, Yordania dan Syria dan berhasil menguasai merebut Sinai dan Jalur Gaza (Mesir), dataran tinggin Golan (Syria), Tepi Barat dan Yerusalem (Yordania). Selain itu, bangsa Yahudi sendiri sudah lama mendambakan untuk kembali ke negerinya setelah selama bertahun-tahun hidup sebagai orang asing di Eropa dan Amerika. Keinginan Israel untuk kembali ke tanah airnya itu muncul setelah terjadinya peristiwa pembantaian besar-besaran pada kamp konsentrasi Auswich pada masa Adolf Hitler.
Selanjutnya persoalan konflik Israel – Palestina berawal dari konflik wilayah antara bangsa Arab dengan bangsa yahudi yang memperebutkan wilayah Palestina. Bangsa Yahudi ingin kembali ke Palestina yang dipandangnya sebagai wilayah tanah airnya dan mendirikan negara Israel di Palestina.
Ketika Turki menguasai Palestina, sudah banyak orang Yahudi yang datang ke Palestina dan hidup berdamai dengan bangsa Arab. Namun, dengan adanya suatu kekuatan politik yang timbul dari gagasan Dr. Theodore Herzl (seorang wartawan Yahudi Austria) yang menulis artikel yang berjudul Der Judenstadt – Negara Yahudi, Herzl sengaja mengangkat persoalan kaum Yahudi karena perasaan anti yahudi berkembang dimana-mana. Selain itu adanya dukungan yang kuat dari kaum Yahudi di Eropa Timur, sehingga muncullah gerakan Zionisme pada tahun 1895.
Israel, sebagai sebuah negara yahudi berdiri atas dasar deklarasi Balfour. Keberadaan Israel di Palestina mempengaruhi situasi politik di Timur tengah. Keputusan PBB untuk membagi tanah Palestina yang sebelumnya merupakan koloni Inggris yang direbut dari kerajaan Turki Usmani mendapatkan tentangan keras dari negara-negara Arab. Kaum yahudi mendapatkan 55% dari seluruh wilayah Palestina walaupun jumlah penduduk mereka hanya 30% dari seluruh penduduk daerah tersebut. Maka, pada tanggal 14 Mei 1948 Israel memproklamasikan kemerdekannya. Dan, sehari setelah Israel memproklamasikan kemerdekaannya tersebut, mereka diserang oleh Lebanon, Irak, Suriah, Mesir dan Yordania. Dengan bantuan kroni-kroninya Israel berhasil memukul mundur musuh-musuhnya. Setelah itu mereka terlibat dalam perang kanal Suez, perang enam hari, perang Yom Kippur.
Dalam perang Yom Kippur, Mesir dan Suria berhasil dipukul mundur dan Mesir terdesak hingga ke daerah terusan Suez dan perbatasan ibu kota Kairo, yang kemudian memaksa Mesir untuk menandatangani perjanjian Camp David. Setelah itu Israel masih terlibat dalam perang-perang yang lainnya. Selama perang tersebut Israel tidak pernah mengalami kegagalan, karena para inteligen/agen rahasia Israel selalu bekerja dengan cepat sehingga sebelum negara-negara lain menyerang, mereka sudah mempersiapkan diri. Bahkan mereka bergerak lebih cepat dalam menghabisi musuh-musuhnya. Pada tahun 1967 misalnya., Israel dengan mudah menghancurkan angkatan udara Mesir, sementara itu angkatan udara Mesir tidak bisa membalasnya. Dan, pada tahun 1980 Israel menyatakan bahwa Yerusalem yang telah didudukinya resmi sebagai ibukota negara. (bersambung)




KONFLIK ISRAEL – PALESTINA: BEBAN SEJARAH (2)
Benny Obon
Palestina terletak di bagian barat benua Asia yang membentang antara garis lintang 15-34 dan 40-35 ke arah timur dan di antara garis lintang meridian 30-29 dan 15-33 ke arah utara. Palestina membentuk bagian tenggara dari kesatuan geografis yang besar di belahan timur dunia Arab yang disebut dengan negeri Syam. Selain Palestina, Syam juga meliputi Lebanon, Suriah, dan Yordania.
Perbatasan palestina di mulai dari Lebanon di Ras el-Nakoura di wilayah laut tengah dan dengan garis lurus mengarah ke timur sampai daerah di dekat kota kecil Lebanon yaitu Bent Jubael di mana garis pemisah antara kedua Negara miring ke utara dengan sudut yang hampir lurus. Pada titik ini, perbatasan mengitari mata air sungai Yordania yang menjadi bagian dari Palestina dalam jalan kecil yang membatasinya dari wilayah timur dan wilayah barat Suriah dan danau Al-Hola, Laut Tengah dan Tabbariyya.
Perbatasan dengan Mesir dimulai dari Rafah di Laut Tengah hingga sampai ke daerah Taba di teluk Aqaba. Karena lokasinya terletak di pertengahan Negara-negara Arab, Palestina membentuk kombinasi geografi yang natural dan humanistik bagi medan teresterial yang luas yang memuat kehidupan orang-orang asli Badui di wilayah selatan dan gaya pendudukan yang sudah lama di kawasan utara.
Tanah Palestina mempunyai keistimewaan dibanding yang lainnya karena merupakan tempat diturunkannya agama Yahudi dan Kristen, tempat di mana peradaban kuno muncul dan menjadi jembatan aktivitas komersial dan tempat penyeludupan ekspedisi militer di sepanjang Sejarah yang berbeda. Lokasi strategis yang dimiliki Palestina memungkinkannya untuk dijadikan faktor penghubung antara berbagai dunia kuno baik Asia, Eropa maupun Afrika. Palestina menjadi tempat yang dijadikan pintu masuk bagi perjalanan ke negara-negara tetangga.
Dalam perjalanan waktu Israel dan Palestina selalu terlibat dalam perang. Maka, pada tahun 1964 para pemimpin Arab membentuk PLO (Palestine Liberation Organization). Dan, pada tahun 1969 Yasser Arafat dari faksi Al-Fatah terpilih sebagai ketua Komite Eksekutif PLO.
Perjuangan Yasser Arafat dengan organisasi PLO telah mendapatkan hasil maksimal dalam usahanya membebaskan Palestina dari cengkraman Israel. Maka, pada 15 November 1988 diumumkan berdirinya negara Palestina di Aljiria, dengan bentuk negara Republik Parlementer dengan ibu kota Yerusalem Timur dan Presiden Pertamanya Yasser Arafat. Selanjutnya Arafat mengakui eksistensi Israel pada tahun sama.
Masyarakat palestina yang tidak ingin mengakui eksistensi Israel tersebut tidak senang dengan sikap Arafat dan menilainya sebagai kegagalan PLO. Maka, dalam perjuangan Pelestina selanjutnya melahirkan sebuah organisasi Islam radikal yang bernama Hamas yang berusaha membendung serangan Israel, Hamas menggunakan taktik Intifadha pertama dan perang gerilya yang berlawanan dengan taktik PLO yang menggunakan jalan diplomasi dan perundingan. Dan, ternyata Intifadha yang disponsori Hamas jauh lebih berhasil dibandingkan diplomasi ala PLO.
PLO yang didirikan oleh para pemimpin Arab secara resmi menentukan nasib Palestina diserahkan ke pundak bangsa Arab – Palestina sendiri dan bukan lagi dengan urusan umat Islam. Masalah Palestina direduksi menjadi persoalan nasional bangsa Palestina. Namun, dalam perjalannya PLO tidak berhasil mengatasi persolan yang terjadi dan perpecahan tetap saja terjadi.
Perpecahan dunia Arab menjadi beberapa kubu yang saling bertentangan, benar-benar menyudutkan posisi PLO walaupun sejak perang Oktober 1973, Yasser Arafat telah bersikap cerdik dalam memelihara perkembangan perimbangan kekuatan dunia Arab, namun polarisasi serta dampak perang Irak-Iran telah melahirkan ketegangan-ketegangan tertentu dalam sistem yang lebih rumit. Hasil perjanjian Camp David yang awalnya untuk menyelesaikan masalah Palestina ternyata tidak jelas dan semakin mempersulit posisi Palestina.
Merosotnya pengaruh politik PLO terlihat ketika Arafat berupaya menegaskan kembali kebebasannya dengan mengambil sikap yang relatif netral dalam permusuhan Suriah versus Irak. Perjuangan bagi penundaan konferensi puncak antagonisme di antara kedua kubu sama sekali tidak dihiraukannya. Kegagalan ini menyebabkan Arafat tunduk pada tekanan Suriah dengan terpaksa menyetujui pemboikotan terhadap pertemuan puncak liga Arab di Amman Yordania tahun 1980. Masalah lain yang dihadapi palestina adalah tumbuhnya permusuhan antara mereka dengan orang-orang Lebanon. Orang-orang Palestina seringkali meremehkan kedaulatan Lebanon, sebaliknya orang-orang Lebanon berkeyakinan bahwa PLO sungguh-sungguh bermaksud menanamkan dirinya tatkala peluang bagi pembentukan kekuasaan Negara murni semakin kecil.
Konsep penanaman yamg beranggapan bahwa rakyat palestina tengah berada pada proses pembentukan kedaulatan di selatan Lebanon, sebagai bagian dari apa yang dinilainya merupakan rencana Amerika dan memecahkan dilema Timur Tengah dengan menempatkan mereka secara permanen. Namun tidak terdapat bukti yang memperkuat anggapan tersebut.
Dengan demikian posisi PLO di dalam dunia arab telah di hancurkan oleh polarisasi dalam perang Irak-Iran. Hal ini terjadi karena PLO amat bergantung pada keanekaragaman kedua blok yang terseret dalam perang tersebut. Posisi PLO yang dalam hal ini terjepit di antara dua kepentingan yang saling bertentangan telah mengakibatkan lunturnya kepercayaan rakyat Palestina terhadap perjuangan diplomasi yang dilakukan PLO. Dengan terjadinya peristiwa ini Hamaslah yang mendapat keuntungan besar karena aksi Intifadha yang disponsorinya jika dilihat dari segi efektivitas cenderung lebih berhasil bila dibandingan dengan jalan terakhir yang ditempuh PLO.
Perjuangan Hamas sendiri sangat dipengaruhi oleh ajaran Wahabi dari Arab Saudi, yang menjadi pemasok keuangan bagi kelangsungan operasi Hamas disamping Iran dan Suriah. Kebijakan politik Hamas yang kurang mendukung usaha diplomasi Yasser Arafat pada era 1990-an di mana dihasilkan perjanjian Oslow dan juga program Jerico – Gaza first yang kemudian mengalami kegagalan dan jalan buntu. Akibatnya di Palestina sering terjadi pertikaian antara faksi-faksi perjuangan seperti Al Fattah, Hamas, PLO, Jihad Islam dan sebagainya. (bersambung)


KONFLIK ISRAEL – PALESTINA: BEBAN SEJARAH (3)
Benny Obon
Lahirnya Hamas merupakan bukti ketidakpuasan terhadap kinerja pemerintah Palestina di bawah Yasser Arafat. Hamas merupakan “Gerakan Perlawanan Islam” di Palestina yang berideologi Islam dan bersifat fundamentalis. Fundamentalisme disini diartikan sebagai paham yang kemudian diwujudkan melalui gerakan “kembali ke Islam”. Islam dijadikan sebagai asas utama pergerakannya dan nilai-nilai yang ada didalamnya merupakan pegangan hidup yang dijadikan rujukan tingkah laku anggotanya dalam bertindak. Hamas didirikan pada 14 Desember 1987 oleh Syeikh Ahmad Yassin sekaligus sebagai pemimpin spiritual Hamas.
Berbicara tentang gerakan Hamas, tidak terlepas dari cikal bakal dan akarnya sebab akar ideologi gerakan tersebut sudah tumbuh sejak tahun 1950-an dan banyak dipengaruhi oleh ideologi dari gerakan Ikhwanul Muslimin di Mesir yang didirikan pada tahun 1928 oleh Hasan al-Banna. Bisa dikatakan Hamas merupakan metamorfosis dari gerakan yang dilakukan Ikhwanul Muslimin di Mesir. Meskipun telah dibekukan keberadaannya oleh Perdana Menteri Mesir, Muhammad Fahmi Naqrasyi yang berkuasa pada saat itu, pergerakannya masih ada melalui perjuangan bawah tanah. Geliat ideologi Islamis pada awalnya tenggelam terlebih sejak bangkitnya gerakan nasionalis Arab yang diusung oleh Presiden Mesir Gamal Abdul Nasser dari partai sosialis Arab Baath yang berkuasa di Irak dan Suriah saat itu. Kekalahan bangsa Arab atas Israel pada perang tahun 1967 membangkitkan kembali geliat ideologi Islam yang merupakan alternatif dari gerakan nasionalis yang dianggap gagal menghadapi Israel.
Ikhwanul Muslimin semula merupakan sebuah “jemaah yang murni religius dan filantropis yang bertujuan menyebarkan moral Islam dan amal baik”. Ideologi gerakan ini disebut Islamis karena memiliki cita-cita dan tujuan menjalankan syariat Islam dan berkeyakinan berdirinya negara Islam sebagai unsur penting dari tatanan Islami yang diinginkan dan muncul sebagai penetrasi ideologi Barat dan dominasi imperialisme Barat khususnya di Timur Tengah yang menimbulkan reaksi dan penolakan.
Keputusan politik yang tak kenal kompromi yang digulirkan oleh syekh Ahmad Yassin terhadap Zionis Israel telah menyebabkan para pemimpin Hamas mulai dari Ahmad Yassin hingga perdana mentri Palestina menjadi target utama yang harus disingkirkan. Keputusan politik yang ditetapkan Hamas dalam menyikapi peta perundingan yang berisi antara lain penyerahan, pengamanan Tepi Barat dan jalur Gaza kepada polisi Palestina, pemberian kewenangan kepada pemerintah otoritas Palestina untuk membentuk angkatan bersenjata telah menyebabkan Mahmoed Abbas selaku presiden palestina tak berdaya karena harus mengemban misi ”peta jalan damai” pesanan Amerika, dilain pihak harus menghadapi perlawanan fisik dan mental dari sebagian besar rakyat Palestina yang didukung oleh faksi garis keras yang menaruh keraguan atas niat baik Amerika Serikat.
Pelaksanaan pemilu Palestina yang dijadikan syarat oleh Amerika Serikat pada Palestina sedikitnya telah menghapus keraguan berbagai pihak atas “peta jalan damai”. Ketika hasil pemilu diumumkan dan Hamas kemudian menjadi pemenangnya dan membentuk kabinet di bawah Ismail Haniya, Amerika Serikat sendiri menolaknya karena mengganggap Hamas sebagai organisasi teroris yang mempunyai akses dengan Al-Qaeda. Sebagai tindak lanjut atas kebijakan Hamas tersebut Menlu Condolisa Rice mengadakan pertemuan dengan presiden Uni Eropa Javier Solane untuk menghentikan bantuan Ekonomi dan keuangan pada otoritas Palestina.
Karena pemberhentian bantuan ekonomi tersebut, maka kabinet Hamas mengalami kesulitan keuangan untuk membayar gaji pegawainya walaupun Iran dan Arab Saudi memberi bantuan. Konflik internal antara presiden Mahmoed Abbas dengan perdana mentri Haniya telah mengganggu jalannya pemerintahan otoritas Palestina. Kementrian kesehatan yang berada di bawah Haniya mengumumkan kalau mereka kekurangan pasokan obat dan biaya operasional Rumah Sakit karena pemblokiran rekening keuangan dan teritorial oleh Israel dan Amerika Serikat. Keadaan masyarakat Palestina yang mulai dilanda perpecahan karena presiden Abbas mengumumkan kepada polisi dan pegawai negeri yang loyal kepadanya untuk menjaga tempat-tempat strategis, dilain pihak kabinet Hamas juga mulai membentuk tentara pemerintah baru yang mayoritas calon anggotanya berasal dari Brigade Al-Quds yang merupakan sayap militer Hamas.
Keberhasilan Hamas meraih 76 kursi parlemen belum mampu menyatukan berbagai aspirasi rakyat Palestina. Kaum Fattah bersedia mengakui berdirinya Israel, namun pihak pemerintah otoritas Palestina di bawah Hamas yang didukung oleh Iran mengambil kebijakan berseberangan. Kondisi keamanan Palestina yang tidak menentu menurut para analis akan bernasib sama dengan Lebanon, ini semua disebabkan karena pertentangan intern antara faksi Palestina sendiri.
Hamas yang dipelopori oleh kebangkitan gerakan kaum muda Palestina yang melancarkan serangan terhadap pasukan pendudukan Israel di Jalur Gaza dan Tepi Barat Sungai Yordan yang dipicu oleh serangan-serangan Israel yang membabi buta terutama terhadap warga sipil Palestina sejak Perang Libanon 1982. Momentum ini begitu fenomenal disebabkan oleh keberanian mereka menantang pasukan Israel yang dilengkapi berbagai persenjataan mutakhir, sementara senjata mereka hanya berupa batu-batu dan ternyata mampu membangkitkan simpati dan membukakan mata dunia internasional khususnya dunia Islam akan penderitaan yang dialami bangsa Palestina.
Perjuangan ini dilakukan oleh kaum muda Palestina yang sebenarnya tidak merasakan langsung masa-masa “revolusi perjuangan” kemenangan Hamas: pengaruh dalam strategi dan arah politiknya terhadap usaha melawan Israel (perang tahun 1948 maupun 1967). Namun, karena tinggal di wilayah pendudukan, maka secara langsung merasakan kekejaman, baik berupa kebijakan sosial-ekonomi yang diskriminatif maupun bentuk-bentuk represi fisik lainnya yang dilakukan rezim Zionis. (bersambung)
KONFLIK ISRAEL – PALESTINA: BEBAN SEJARAH (4/habis)
Benny Obon
Intifadah kedua meletus di tahun 2000 sebagai respon akan pelanggaran dan kesewenang-wenangan Israel di tanah Palestina dengan kedatangan Ariel Sharon ke Masjid Al-Aqsha yang membuat umat Islam merasa terhina, apalagi setelah kunjungan tersebut tentara Israel menyerang jemaah yang sedang beribadah dengan melepaskan tembakan yang mengakibatkan meninggalnya para jamaah tersebut.
Cita-cita dan tujuan Hamas tercantum dalam sebuah piagam yang berisi seluruh kredo ideologinya dan menjelaskan bagaimana kebijakan mereka dalam semua level perjuangan, baik mengenai Israel maupun gerakan nasional lainnya. Penghapusan Israel dari peta dunia merupakan agenda utama Hamas dalam mewujudkan cita-cita pergerakan demi terwujudnya negara Islam Palestina merdeka. Cita-cita dan tujuan tersebut tidak bisa dipisahkan dari akar hamas sendiri yang memiliki tujuan serupa. Oleh karena itu pada akhirnya cita-cita dan tujuannya akan bersinergi dengan cita-cita dan tujuan Ikhwanul Muslimin di Mesir. Karena hal ini maka Hamas dipojokkan oleh Israel dan sekutunya Amerika Serikat dengan stigma teroris.
Struktur organisasi Hamas terdiri dari dua jenis keanggotaan. Pertama, anggota biasa yang terdiri dari kader-kader yang telah dibina secara khusus dalam berbagai pengkaderan Hamas dan berhak memilih dan duduk dalam kepengurusan Hamas. Kedua, anggota luar biasa yang terdiri dari kaum Muslimin yang menyatakan bergabung dalam Hamas, namun dibina secara khusus dan hanya berhak ikut berpartisipasi dalam berbagai kekuatan Hamas. Selain itu, Hamas juga memiliki dua divisi yakni, divisi politik dan militer yang bergerak secara sistem sel ditingkat akar rumput dan langsung berjuang pada level terendah. Mesjid-mesjid digunakan sebagai basis gerakan untuk mengobarkan semangat jihad dalam menghadapi Zionis Israel karena mesjid adalah tempat yang strategis dan efektif untuk mentransformasikan cita-cita dan arah pergerakan sekaligus sebagai penyebaran ideologisasi kepada rakyat Palestina.
Tercapainya perdamaian dan juga kemerdekaan Palestina tampaknya sangatlah mustahil karena kurangnya inisiatif dari kedua belah pihak yang bertikai yang menguasai mayoritas suara di parlemen. Partai Likud yang merupakan pemenang pemilu di Israel adalah partai garis keras yang tidak menginginkan perdamaian dengan Palestina, dilain pihak Hamas yang menguasai pemerintahan otoritas Palestina juga memiliki kebijakan yang tidak ingin berdamai dengan Israel walaupun suara kaum minoritas yang dimotori PLO dan Mahmoed Abbas yang moderat menginginkan tercapainya perdamaian dengan Israel.
Hamas sebagai kelompok Islam radikal yang Mengkonsentrasikan pergerakannya pada penghapusan hegemoni Israel di Palestina adalah gerakan pemikiran dan sosial, politik dan militer yang telah mengakar di Palestina dan ’terpahat’ dalam kesadaran rakyat Palestina. Bahkan Hamas kini mendapatkan simpatisan yang cukup luas di dunia Arab dan Islam. Berbagai tekanan dan kecaman dari berbagai pihak justru menjadikan gerakan ini semakin populer. Keputusan Israel membunuh para pemimpin Hamas dinilai sebagai upaya Israel membasmi gerakan perlawanan Palestina sampai ke akar-akarnya, hingga mempengaruhi sikap politik Hamas terhadap Israel. Israel mungkin tidak akan pernah bisa menghancurkan Hamas secara militer, karena pada dasarnya Hamas bukan organisasi, melainkan gerakan ideologi yang menjadi tumpuan harapan rakyat Palestina yang telah mengalami kekecewaan atas proses perdamaian selama ini menyusul gagalnya kesepakatan Oslo yang dicapai Israel dan PLO.
Hamas sadar bahwa sejak menjadi bagian dari Otoritas Palestina, mereka tidak bisa menghindari negosiasi dan kompromi politik yang bisa jadi mempengaruhi alur kebijakan politiknya menjadi lebih moderat dan pragmatis. Namun sikap ini tampaknya tak berlaku dalam penyelesaian konflik dengan Israel. Memang ada upaya-upaya dialogis dan kompromis yakni dengan menyetujui inisiatif Damai Arab atau “solusi kompromi” tahun 2002 dan semua Resolusi PBB yng mendukung kembalinya hak-hak rakyat Palestina. Di samping itu mereka bersedia menjalin hubungan diplomatik secara kolektif dengan Israel dengan syarat Israel harus mundur dari semua tanah Arab yang diduduki tahun 1967. Namun Israel sendiri tetap menganggap pemerintahan Hamas adalah tidak sah dan tidak perlu diperhitungkan, karena Israel tetap melakukan hubungan diplomatik dengan Presiden Otoritas Palestina Mahmoud Abbas tanpa melibatkan Hamas.
Sejak mengalami banyak tekanan baik dari pihak luar maupun dari pihak Palestina sendiri, Hamas menegaskan bahwa sikap politiknya tergantung pada sikap Israel dan berniat mengubah kebijakannya jika Israel juga melakukan hal serupa terhadap kebijakannya. Tekanan yang terus-menerus ditujukan kepada Hamas dikhawatirkan dapat memicu kembali sifat radikal Hamas dalam kebijakan yang diputuskan dalam pemerintahan Palestina. Tampaknya perdamaian Palestina-Israel semakin jauh dari yang diharapkan dan tidak akan pernah terwujud tanpa adanya kerjasama kolektif antara otoritas Palestina dan otoritas Israel dalam usaha mencapai solusi yang tidak merugikan pihak yang selama ini tertindas atas pendudukan Israel. Karena bagi Hamas Palestina adalah tanah wakaf milik seluruh umat Islam di dunia yang tidak boleh sejengkalpun hilang terlebih dirampas oleh tangan-tangan yang ingin berusaha menghapus identitas dan akar keagamaan serta peradaban Islam yang telah ada sejak ribuan tahun silam.

0 komentar: