SAATNYA KORUPTOR DIHUKUM MATI


Mahasiswa Pascasarjana STF Ledalero – Maumere – NTT Pernah Menjadi Editor Pada Penerbit Nusa Indah Penangkapan Akil Mochtar oleh KPK di rumah dinas Widya Chandra III nomor 7 pada Rabu (2/10/2013) membuat banyak orang kaget. Selama ini MK dikenal sebagai lembaga yang bersih dan mendapatkan kepercayaan tinggi dari masyarakat. Kini, harga diri MK jatuh dan tentu saja mengikis kepercayaan publik. Penangkapan Akil semakin menguatkan anggapan publik bahwa hukuman bagi koruptor tidak memberi efek jera. Masyarakat pun muak melihat perilaku para petinggi negara yang tidak memiliki integritas. Karena itu, hukuman mati bagi para koruptor sangat perlu dan mendesak. Seruan hukuman mati bagi koruptor bukanlah hal yang baru di Indonesia. Patrialis Akbar ketika masih menjabat sebagai Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia pernah menggulirkan isu soal pentingnya hukuman mati bagi koruptor. Dia menjelaskan bahwa secara normatif, undang-undang yang mengatur hukuman mati koruptor sudah ada. Patrialis merujuk pada UU No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. UU No. 31 Tahun 1999 yang diamendemen menjadi UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi memungkinkan koruptor dijatuhi hukuman mati. Jadi, secara hukum formal, hukuman mati bagi koruptor sudah diatur dalam UU. Hukuman mati bagi koruptor sangat penting tidak hanya karena korupsi termasuk kejahatan luar biasa (extraordinary crime) yang merampas hak seluruh rakyat Indonesia. Tetapi juga korupsi merupakan kejahatan yang merusak sendi-sendi kehidupan bangsa: kualitas hidup, pasar, demokrasi, hukum, pembangunan berkelanjutan, serta hak asasi manusia. Korupsi telah mendorong pemiskinan masyarakat dan menggerogoti kemampuan bangsa dalam menggerakkan bidang investasi. Hal ini juga penting agar seruan hukuman mati bagi koruptor tidak hanya sebatas wacana. Korupsi sebagai kejahatan kemanusiaan luar biasa bisa disamakan dengan kejahatan narkoba dan tindakan terorisme. Karena itu, kalau pelaku terorisme dan pengedar narkoba bisa dihukum mati, maka koruptor pun bisa dihukum mati. Hukuman mati bagi koruptor bisa memenuhi rasa keadilan masyarakat. Penerapan hukuman mati itu sendiri tidak bisa berdiri sendiri, tetapi harus diimbangi dengan perbaikan sistem peradilan. Artinya, peradilan harus bersih dari praktik-praktik manipulasi. Soal penerapan hukuman mati bagi koruptor, kita bisa belajar dari negara Cina. Kita tidak bisa pungkiri bahwa kemajuan negara Cina tidak terlepas dari kesuksesannya dalam membangun basis hukum yang kuat bagi pemberantasan dan pencegahan korupsi. Dasar hukum yang kuat tersebut memungkinkan Cina memberlakukan hukuman mati bagi para koruptor. Pada Juli 2013 lalu misalnya, Cina menghukum mati mantan menteri kereta api atas tuduhan penyuapan dan penyalahgunaan wewenang dalam skandal korupsi. Terkuaknya kasus korusi yang terjadi di MK beberapa hari yang lalu, bisa dijadikan sebagai momentum yang tepat bagi Indonesia untuk membuat undang-undang mengenai hukuman mati bagi koruptor. Tentu hukuman mati tidak serta-merta diterapkan kepada semua koruptor, ada gradasi di dalamnya. Artinya, hukuman mati tidak digeneralisasi tetapi perlu melihat lebih dahulu jenis kasusnya seperti jumlah uang yang dikorupsi, status pelaku, dan berhubungan langsung dengan kepentingan masyarakat/umum. Selain itu, perlu ada kesepahaman terlebih dahulu soal jenis korupsi yang membuat pelakunya pantas dihukum mati. Misalnya, korupsi yang didorong oleh keserakahan atau kerakusan serta korupsi yang memanfaatkan penderitaan. Selama ini, negara Indonesia seakan tidak berdaya menghadapi gelombang aksi korupsi yang dilakukan secara massif. Bahkan negara terkesan melindungi para koruptor ketika pemerintah memutuskan memberikan remisi kepada para koruptor. Misalnya, pada edisi Idul Fitri tahun ini ada 128 narapidana kasus korupsi yang mendapat remisi. Hukuman kepada pelaku korupsi tidak pernah maksimal. Karena itu, kita bisa menyaksikan koruptor yang keluar dari penjara masih hidup kaya raya menikmati hasil korupsinya. Apalagi selama dalam masa tahanan, mereka bisa bebas keluar masuk penjara seenaknya. Bahkan mereka yang keluar dari penjara disambut dengan sukacita oleh keluarganya tanpa pernah merasa malu. Keputusan pemerintah tersebut tentu saja melukai hati para pejuang keadilan dan masyarakat kecil yang dikorbankan oleh para koruptor. Usaha pemiskinan, membuat malu dan hukuman berat yang dikenakan kepada koruptor selama ini terbukti tidak efektif. Karena itu, hemat penulis inilah saatnya para koruptor dihukum mati. Agar bisa menjatuhkan hukuman mati bagi koruptor terlebih dahulu harus dibuat Peraturan Perundang-Undangan dengan pernyataan presiden yang menyatakan hukuman pelaku korupsi dari hukuman seumur hidup menjadi hukuman mati. Karena itu, pemerintah Indonesia perlu membuat Undang-Undang Korupsi yang baru, agar pelaku koruptor itu dapat dijerat dengan hukuman mati, seperti yang diterapkan di China. Dengan adanya Undang-Undang, maka pemberlakuan hukuman mati kepada koruptor di Indonesia sangat dimungkinkan.*

0 komentar: