Menelaah Gejala Fanatisme Dengan Perspektif Kosmologis

Oleh Noor H. Dee Judul: Dari Kosmologi ke Dialog: Mengenal Batas Pengetahuan, Menentang Fanatisme Penulis: Karlina Supelli Penerbit: Mizan Cetakan: I, Desember 2011 Halaman: 280 halaman ISBN: 978-602-97633-5-5 Fenonema fanatisme kerap terjadi di negeri ini. Kuantitasnya cukup mengkhawatirkan. Laku merasa paling benar yang kemudian cenderung menegasikan sang liyan, adalah laku yang akan menghambat terbentuknya masyarakat yang majemuk. Berangkat dari kekhawatiran atas fenomena fanatisme itulah buku Dari Kosmologi ke Dialog: Mengenal Batas Pengetahuan, Menentang Fanatisme karya Karlina Supelli ini muncul ke permukaan. Apa hubungan kosmologi dengan fanatisme? Kosmologi adalah ilmu tentang alam semesta. Pembahasan tentang asal-mula terciptanya jagat raya, penjelasan tentang makrokosmos dan mikrokosmos, percakapan tentang teori Ledakan Dahsyat dan teori Superstring (Adidawai), hakikat ruang dan waktu, dan perbincangan-perbincangan epistemik lainnya yang berkenaan dengan alam semesta, adalah domain kosmologi. Di awal bukunya ini, Karlina Supelli mengeksplorasi sejarah kosmologi dengan panjang lebar, dan secara eksplisit menyatakan keterbatasan cakrawala berpikir seorang manusia ketika mencoba memahami alam semesta secara ontologis. “Cakrawala kosmik menyebabkan kita tidak punya mata elang yang sanggup menyapu hamparan daratan di bawahnya dari suatu ketinggian.” (halaman 27). Berkaca pada keterbatasan cakrawala tersebut, maka seorang manusia sepatutnya berpikir ulang ketika mengaku telah memahami entitas Kebenaran (dengan “k” besar). Selain menyedihkan, laku pengakuan tersebut juga merupakan representasi dari kepongahan. Dari sini kritik Karlina Supelli terhadap fanatisme mulai kelihatan bentuknya. Fanatisme, menurut Karlina Supelli, “terjadi karena kecenderungan pemutlakan, yang mengarah pada dogmatisasi” (halaman 21). Fanatisme adalah tindakan atau pemahaman yang menganggap bahwa keyakinannya sudah sahih dan ajek, sehingga segala macam bentuk kritik—yang ditujukan pada keyakinannnya—adalah sesuatu yang tidak diperkenankan. Penolakan mereka (para fanatis itu) terhadap kritik tersebut bisa melahirkan tindakan-tindakan intoleran. Fenomena fanatisme pun tak bisa lepas dari laku menafsirkan. “Sejarah pernah bergeser dari zaman iman (the Age of Faith), ke zaman nalar (the Age of Reason), dan kini bergeser lagi ke zaman penafsiran (the Age of Interpretion), sehingga bahkan “tak ada fakta, hanya ada penafsiran” yang sebenarnya juga sebuah penafsiran” (halaman 73). Dalam buku ini Karlina Supelli bukan hanya mengeksplorasi sejarah kosmologi yang kemudian ditarik untuk menelaah fenomena fanatisme yang kerap terjadi di negeri ini, melainkan ia juga mencoba menawarkan sebuah solusi yang ia sebut sebagai “Upaya Transdisiplin”. “Penalaran transdisiplin lebih merupakan suatu meta-metodologi untuk melampaui keterbatasan suatu bidang pengetahuan. Tujuannya bukan untuk melahirkan disiplin baru, unifikasi epistemologis, atau pun kesepakatan, melainkan mencari koherensi narasi dalam keanekaragaman gejala pengalaman manusia. Atau sedikitnya, menemukan saling pengertian akan titik-titik acuan.” (halaman 78). Buku ini menjadi tambah menarik lantaran ada tanggapan dari beberapa pakar seperti Mark Woodward (antropolog), Premana W. Premadi (astronom), Lik Wilardjo (fisikawan), Haidar Bagir (cendekiawan muslim), Yulianto Mohsin, Emanuel Gerrit Singgih (pendeta), dan Trisno S. Sutanto, tanggapan mereka yang beragam sesuai keahliannya masing-masing membuat buku ini semakin asyik untuk disimak. Buku yang berawal dari orasi ilmiah yang disampaikan Karlina Supelli dalam acara Nurcholish Madjid Memoriam Lecture (2010) ini memang mampu memacu semangat optimisme kita, bahwa harapan untuk hidup dalam ruang lingkup toleransi bukanlah sesuatu yang mustahil. Selama terus berupaya (salah satunya adalah upaya transdisiplin), insya Allah harapan tersebut bisa tercapai. Sumber: http://www.paramadina-pusad.or.id/publikasi/6098.html

0 komentar: