DEMOKRASI YANG SALAH KAPRAH

Benny Obon
Mahasiswa Sekolah Tinggi Filsafat Ledalero
Cru KMK_Ledalero – tinggal di wisma St. Rafael

Tanggal 3 Februari 2009 yang lalu adalah hari yang bersejarah bagi bangsa Indonesia. Kita dikejutkan dengan berita meninggalnya Abdul Aziz Angkat, ketua DPRD Sumatera Utara dalam sebuah aksi anarkis kelompok yang menutut pembentukan propinsi Tapanuli. Demokrasi yang sedang bersemi di Indonesia direduksi oleh aksi tidak manusiawi tersebut. Demokrasi mengalami salah kaprah oleh masyarakat.
Unjuk rasa yang dilakukan oleh kelompok pendukung pembentukan Protap yang berujung pada meninggalnya ketua DPRD Sumut menambah catatan gelap sejarah demokrasi di Indonesia. Bangsa Indonesia yang sedang ‘berbulan madu’ dengan demokrasi mesti berduka oleh para pengagum dan penyokong demokrasi itu sendiri. Orang pun bertanya: apa itu demokrasi dan seperti itukah demokrasi?
Pertanyaan tersebut menantang para pejuang demokrasi. Untuk menjawab pertanyaan ini, penulis perlu menjelaskan arti dan konsep tentang demokrasi.
Term demokrasi berasal dari kata bahasa Yunani; demos yang berarti rakyat dan kratos/kratein yang berarti kekuasaan, sehingga demokrasi berarti kekuasaan rakyat – goverment by the people. Istilah demokrasi pertama kali dipakai oleh Plato (427 SM-347 SM). Dalam konsepnya tentang negara, ia mengemukakan bentuk negara yang sesuai dengan watak manusia. Ia menempatkan demokrasi sebagai bentuk negara yang keempat. Menurutnya kata kunci dalam demokrasi adalah kebebasan, rakyat merasa bebas dan negara memancarkan suasana kebebasan untuk mengeluarkan pendapat.
Dalam rumusan sederhananya, demokrasi berarti pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Konsep ini sangat sederhana, tetapi dihidupi dan menjadi ciri kehidupan politik dalam suatu negara, termasuk segala sistem organisasi politiknya. Demokrasi mendasari segala aktivitas politik dalam suatu negara demokrasi.
Menurut penelitian yang dilakukan oleh UNESCO pada tahun 1949, demokrasi sangat kuat dan melingkupi berbagai organisasi politik. Dalam penelitiannya tersebut UNESCO menulis, “Probably for the first time in history, democracy is claimed as the proper ideal description of all the system of political and social organizations advocated by influential proponents”.
Di sini UNESCO melihat bahwa demokrasi merupakan nama yang paling baik untuk berbagai organisasi politik. Organisasi politik tersebut mencakup hak-hak politik. Dan, menurut John Lock (1632-1704) hak-hak politik tersebut salah satunya mencakup hak atas kebebasan.
Demokrasi dengan kata kunci kebebasan berkiblat pada satu arah yaitu tercapainya suatu kehidupan bernegara yang baik, aman dan sejahtera. Masyarakat dapat mewujudkan dirinya dan mencapai kesejahteraan melalui negara, dan segala kehidupan dan aktivitas politik hanya dapat dilakukan dalam negara. Segala aktivitas politik hanya ada karena ada(nya) negara. Di sini negara menjadi syarat terjadinya segala aktivitas politik. Dengan demikian, politik mempunyai tujuan yang sama dengan negara yaitu mencapai kebaikan dan kebahagiaan warga masyarakat. Dan, menurut Aristoteles politik berkiblat pada eudaimonia.
Eudaimonia yang dikonsepkan Aristoteles hanya akan terwujud jika masyarakat mempunyai kebebasan, dan kebebasan inilah yang menjadi ciri khas sebuah negara demokrasi. Namun, apa yang terjadi jika kebebasan yang diusung oleh demokrasi berujung pada demo-crazy?

Salah Kaprah
Demokrasi di negara kita meninggalkan catatan gelap dalam sejarah bangsa. Selama 32 tahun bendera demokrasi berkibar tanpa ‘tiang’. Kebebasan yang merupakan kekhasan demokrasi direduksi ke dalam kepentingan pribadi dalam manuver politik Soeharto. Password ‘langsung ditangkap’ menjadi ciri khas politiknya. Praktisnya demokrasi hanyalah sebuah nama.
Selanjutnya pada masa reformasi, demokrasi mulai dihidupkan kembali. Pada saat itu bangsa Indonesia ‘bersepakat’ untuk sekali lagi melakukan demokratisasi. Artinya proses pendemokrasian sistem politik Indonesia agar kebebasan rakyat dapat terbentuk dan kedaulatan rakyat ditegakkan. Dapat dikatakan bahwa demokratisasi sudah cukup berhasil membentuk pemerintah Indonesia yang demokratis karena nilai-nilai demokrasi yang penting telah diterapkan melalui pelaksanaan peraturan perundangan mulai dari UUD 1945. Memang benar bahwa demokrasi adalah proses tanpa akhir, karena demokrasi adalah sebuah kondisi yang tidak pernah terwujud secara tuntas. Dengan berbagai kemajuan yang ada, demokrasi di Indonesia telah berkembang. Dan, ini adalah suatu prestasi yang luar biasa dalam sejarah perpolitikan negara kita, dan tentu kita semua bangga dengan keberhasilan tersebut.
Namun, kebanggaan dan prestasi tersebut direduksi atau mungkin (dan mudah-mudahan tidak) hilang dengan aksi massa yang dilakukan oleh kelompok yang menuntut pembentukan Protap yang berujung pada meninggalnya ketua DPRD Sumut. Aksi anarkis tersebut tidak terbendung, sehingga mereka berhasil ‘mengadili’ ketua DPRD Sumut hingga tewas. Aksi massa tersebut merupakan suatu ekspresi kebebasan dari masyarakat.
Demokrasi yang menekankan kebebasan bagi masyarakat menimbulkan multi tafsir dan aksi brutal masyarakat Sumut tersebut terjadi karena salah penafsiran atas konsep demokrasi. Demokrasi yang bermuara pada kebaikan dan kesejahteraan masyarakat justeru dimengerti dan diaplikasikan secara salah. Di sini terjadi salah kaprah.
Aksi massa tersebut juga dapat merupakan sebuah ledakan dan luapan dari demokrasi yang sempat terkubur selama 32 tahun. Selama rezim orde baru, segala bentuk protes dan aksi massa hampir tidak ada. Hal ini disebabkan karena kuatnya cengkeraman kuku politik Soeharto. Orde baru berkiprah dengan key word yang membuat orang tunduk dibawahnya. Setiap orang yang berani atau mencoba untuk berani bersuara akan diamankan dengan kata ajaib tersebut, sehingga tak jarang banyak orang yang ‘hilang’ tak tahu jejaknya. Singkatnya orang terdiam dihadapan kuasa Soeharto.
Pada masa Soeharto demokrasi mengalami mati suri. Segala aktivitas yang merupakan perwujudan demokrasi perlahan-lahan disimpan dan ditimbun dalam nurani masyarakat. Timbunan aktivitas demokrasi tersebut makin lama makin banyak dan padat, pada gilirannya menjadi seperti sebuah bom yang siap meledak. Selama 32 tahun timbunan tersebut tentu sudah memenuhi tangki nurani masyarakat.
Ketika rezim Soeharto tumbang dan bendera demokrasi kembali berkibar dengan tiang yang terpancang di bumi Indonesia, maka bom tersebut meledak yang nyata dalam berbagai aksi massa yang terjadi hampir di seluruh wilayah Indonesia. Aksi massa tersebut merupakan bagian dari aktivitas masyarakat untuk belajar berdemokrasi. Demokrasi sebagai suatu proses belajar, itu berarti ia selalu dipelajari dan pembelajaran tersebut tidak akan pernah berhenti.
Dalam hubungan dengan kasus kematian ketua DPRD Sumut, masyarakat sedang belajar berdemokrasi, tetapi pembelajaran tersebut mengalami salah kaprah dengan aksi massa yang tidak terkendali. Salah kaprah tersebut merupakan akibat dari kebebasan yang tidak bertanggung jawab. Aksi brutal mayarakat Sumut telah mereduksi esensi demokrasi menjadi demo-crazy – demokrasi gila. Peristiwa yang terjadi di Sumatera utara mesti menjadi pelajaran bagi kita semua agar tidak berbuat hal-hal serupa, sehingga kita dapat menunjukkan jati diri sebagai masyarakat yang dewasa dalam berdemokrasi.*

1 komentar:

Agil asshofie mengatakan...

masih bingung dengan demokrasi kita, sejak dahulu sudah berbeda2.. pak sukarno mengiginkan sebuah demokrasi terpimpin, suharto beda lagi, entahlah... membingungkan.... sebuah sistem yang di salahgunakan oleh para pejabat