Iklan Politik Vs Etika Politik

Benny Obon
Mahasiswa Sekolah Tinggi Filsafat Ledalero
Kru KMK_Ledalero – tinggal di wisma St. Rafael
Peminat sastra dan kaligrafi Arab

Waktu pelaksanaan pemilu legislatif semakin mendekati hari-H. Berbagai persiapan untuk penyelenggaraan pesta demokrasi tersebut sudah mulai terlihat. Dimana-mana para calon anggota legislatif sibuk dengan silaturahmi politik. Berbagai baliho mulai terlihat di sepanjang jalan, pada tiang-tiang listrik, pada pohon-pohon, tak ketinggalan stiker-stiker yang berserakan di jalan raya, bahkan ada caleg yang tidak memasang baliho tetapi memilih lebih sering berdiri (parkir) di jalan raya – baliho hidup, supaya dikenal orang. Namun, di atas semuanya itu satu hal yang tidak luput dari perhatian kita adalah soal iklan politik yang menguasai hampir seluruh media massa di negara kita.
Sejak runtuhnya rezim Soeharto, bendera politik sudah kembali ke tangan rakyat. Politik yang menekankan kebebasan menjadikan rakyat berlomba-lomba dalam berpolitik. Satu hal yang sangat kita rasakan yaitu banyaknya partai politik yang terbentuk. Partai politik sebagai kendaraan politik ramai ‘didatangi’ oleh mereka yang ingin menjadi wakil rakyat. Semakin banyaknya orang yang ingin duduk dalam lembaga legislatif menjadikan rakyat sebagai rebutan para calon anggota legislatif. Oleh sebab itu mereka bertarung untuk merebut suara rakyat dalam memperoleh kursi pada lembaga tersebut.
Salah satu upaya untuk merebut suara rakyat adalah dengan cara memperkenalkan diri sebanyak-banyaknya kepada rakyat melalui media massa baik elektronik (televisi) maupun cetak (surat kabar). Hampir setiap saat beberapa saluran televisi di negara kita saat ini selalu dihiasi oleh iklan politik yang menampilkan beberapa calon anggota legisltif entah itu pusat maupun daerah, begitupun media massa cetak. Misalnya, beberapa edisi belakangan ini pada harian Pos Kupang dan Flores Pos selalu terdapat foto para caleg dengan segala visi dan misinya. Inilah fenomena yang disebut iklan politik yang lebih mementingkan politik citra.
Iklan politik ini sangat kuat pada era demokrasi (saat ini) dengan sistem pemilihan langsung yang sangat mengandalkan politik citra dari para kandidat. Pengalaman selama ini menunjukkan dalam arena pertarungan pemilu legislatif, pilkada atau pun pilpres kalah menangnya seorang kandidat (sangat) bergantung pada pencitraan dirinya di mata publik. Hal ini ditunjukkan oleh para kandidat presiden pada Pemilu 2004 di mana mereka menciptakan budaya politik baru di Indonesia yakni budaya politik populis. Contoh lain dari dunia televisi yaitu gubernur DKI (Fauzi Bowo-Prijanto) yang mempunyai diurasi waktu iklan yang banyak dan kemudian berhasil menjadi gubernur DKI. Dalam ranah NTT misalnya, Fren berhasil menjadi gubernur (salah satunya) karena memasang iklan sebanyak-banyaknya pada surat kabar dengan segala visi dan misinya. Fenomena ini kembali ditunjukkan pada pemilihan anggota DPR, DPRDI, DPRDII bahkan untuk pemilihan presiden dan wakil presiden yang akan segara kita hadapi. Dilihat dari gencarnya iklan politik dari para kandidat di media massa ini, maka moto-moto seperti bersama kita bisa, demi rakyat aku maju, mari kita bangun NTT, menjadi sesuatu yang lazim di tengah masyarakat.
Pemasangan iklan politik di media massa menimbulkan soal tersendiri karena memiliki beberapa kelemahan. Pertama, iklan politik kurang mengandung unsur pendidikan politik bagi masyarakat. Politik tidak lagi sebagai ruang partisipasi berdemokrasi bagi masyarakat, tetapi menjadi ruang untuk menjual visi dan misi kepada masyarakat. Media massa sebagai sarana untuk memperoleh informasi hendaknya memberikan pendidikan politik bagi masyarakat, dengannya rakyat mengetahui apa itu politik. Dengan demikian rakyat dapat berpartisipasi secara aktif dalam berpolitik, bukan menipu masyarakat dengan visi dan misi yang sangat populis.
Kedua, iklan politik kurang memperhatikan fungsi iklan dalam setiap kegiatan politik. Pada dasarnya iklan pada media massa bertujuan untuk memberikan informasi kepada masyarakat. Namun fungsi iklan tersebut direduksi dengan adanya iklan politik yang menekankan politik citra. Esensi iklan yang informatif mesti memberikan informasi seputar politik. Misalnya menghadapi pemilu legislatif yang tinggal beberapa hari lagi, media massa mesti menjadi ruang sosialisasi pemilu kepada masyarakat bagaimana cara mencontreng yang benar. Apalagi sistem pemilu legislatif kali ini dinilai terlalu rumit ditambah kurangnya sosialisasi dari pihak KPU. Setiap iklan politik juga mesti dapat mendorong dan menggugah kesadaran masyarakat untuk benar-benar menggunakan hak politiknya, dan mengatasi kemungkinan Golput. Umumnya masyarakat kita sudah pintar membaca setiap akrobat politik para caleg karena mereka sudah sering ditipu oleh janji-janji yang menggiurkan. Hal ini menimbulkan apastisme politik yang membuat masyarakat lebih memilih untuk Golput. Oleh sebab itu iklan politik mesti dapat memberikan kesadaran berpolitik kepada masyarakat (sebagai seorang warga negara).
Ketiga, iklan politik bertendensi pada budaya konsumerisme seperti pada pemilu 2004 yang lebih ditentukan oleh kombinasi, akumulatif dari seberapa banyak dana kampanye yang dimiliki dan seberapa hebat sebuah tim sukses menyusun pesan-pesan yang emosional yang menjadikannya sebagai selebritas politik.
Keempat, iklan politik mengabaikan kehebatan mesin-mesin politik. Pengabaian ini diprediksi tergerus oleh pesona citra individu. Akibatnya iklan, poster, lagu dan lain-lain yang terpasang dimana-mana (dan relatif baru) merupakan suatu komunikasi tanpa substansi. Mereka lebih merupakan political marketing daripada political communication. Bahayanya suka cita janji besar-besar tanpa detail membuat semua perasaan bergejolak karena semua ada, apa pun bisa, ekspektasi menjadi melambung jauh begitu tinggi di tengah politik citra, apalagi dengan jarak yang terasa begitu jauh antara janji-janji nan indah dengan kenyataan kerasnya kehidupan rakyat.
Kelima, iklan politik melanggar etika politik. Dari sudut etika politik, seharusnya yang menjadi perhatian utama iklan politik adalah memberi pemilih suatu sudut pandang yang disampaikan oleh partai politik atau seorang kandidat untuk memperluas cakrawala berpolitik masyarakat. Tetapi yang sering terjadi adalah komersialisasi politik tanpa mengindahkan etika politik. Iklan politik hanya bertolak dari ada tidaknya uang untuk biaya iklan, dan tidak memperhatikan moralitas dalam berpolitik. Misalnya pemanfaatan teknologi untuk memanipulasi diri demi tampilan palsu atau teknik editing, penyuntingan, berupa penambahan atau pengaturan naskah atau pengubahan dan penyusunan kembali suatu adegan untuk menciptakan impresi palsu, dramatisasi visual, penampilan, make-up, warna rambut, kilauan senyum. Manipulasi teknologis tersebut menghalangi kemampuan informed electorate untuk membuat pilihan rasional. Di sini seni yang adalah pancaran dari keindahan direduksi ke dalam berbagai iklan politik (pada foto-foto para caleg).
Dari beberapa kelemahan tersebut, dapat dilihat bahwa demokrasi sebagai sarana berpolitik direduksi oleh adanya komersialisasi politik berwujud iklan. Dengan demikian kesempatan untuk mengemukakan gagasan didominasi oleh mereka yang memiliki dana yang cukup besar. Tak heran pada Pemilu 2004 baik pemilihan legislatif maupun pemilihan presiden, hanya mereka yang memiliki dana yang cukup besar yang dapat membeli durasi iklan di Tv sehingga dapat muncul sesering mungkin, sementara mereka yang bermodal sedikit hanya bisa menonton dan mendengarkan visi misi lawan.
Iklan politik dan money politics mempunyai hubungan erat. Keduanya sama-sama bermain uang, dan pada tataran esensi, money politics dan iklan politik sama, dalam arti penyampaian gagasannya ditentukan oleh seberapa banyak uang di dalam kasnya. Sedangkan yang membedakan antara keduanya adalah legalitas di bidang hukum, dalam arti mereka menggunakan uang sendiri untuk biaya iklan politik tersebut.
Dari Survei Nielsen Media Research, menunjukkan selama masa kampanye Pemilu 2004, PDI-P dan Partai Golkar adalah partai yang paling banyak beriklan. PDI-P sendiri mengeluarkan dana Rp 39,25 miliar untuk satu bulan kampanye, sedangkan Partai Golkar membelanjakan Rp 21,75 miliar, belum lagi dana pembuatan iklan, belum termasuk iklan di radio, pemasangan baliho, spanduk, poster dan lain lain. Untuk saat ini partai yang paling sering muncul dalam iklan Tv adalah PKS, Gerindra, Golkar (juga menghiasi halaman-halaman utama pada internet) dan Demokrat. Maka, kita bisa bayangkan berapa banyak dana yang harus disiapkan oleh kandidat atau parpol untuk memenangkan suatu Pemilu.
Kebutuhan akan biaya iklan politik yang tidak sedikit ini mau tidak mau memaksa setiap parpol maupun kandidat untuk bekerja ekstra keras dalam memenuhi kas mereka demi mendapatkan durasi atau pun ruang pada media elektronik maupun cetak. Hal ini tidak menutup kemungkinan mereka melakukan kolusi dengan para pemilik media massa. Maka sangat sulit bagi parpol maupun kandidat untuk memperjuangkan kepentingan rakyat yang selalu didengungkannya pada saat berkampanye, karena yang paling utama bagi mereka adalah membela kepentingan kroni-kroninya tersebut.
Pada pemilu legislatif dan pemilihan presiden 2009 yang tinggal beberapa saat lagi, belanja untuk iklan politik diperkirakan akan meningkat dibandingkan dengan belanja iklan politik menjelang Pemilu 2004. Belanja iklan politik ini sudah mulai terlihat dengan munculnya para tokoh yang memaparkan visi dan misinya, terlepas dari apa pesan yang disampaikannya, namun biaya yang harus dikeluarkannya untuk iklan tersebut tidaklah sedikit. Misalnya dana yang digunakan untuk beriklan tersebut dibelanjakan untuk memperbaiki bangunan SD yang kini banyak yang rusak di beberapa daerah di NTT karena bencana angin kencang belakangan ini. Atau dana tersebut digunakan untuk membeli susu bagi para balita di daerah kita, maka tak akan ada cerita balita yang mengalami gizi buruk, atau dana tersebut digunakan untuk memberi bea siswa kepada murid yang tidak mampu.
Sungguh ironis di tengah kondisi kesulitan ekonomi yang dialami oleh sebagian masyarakat kita, di satu sisi ada pihak yang mengatasnamakan pembela dan pengayom rakyat miskin, menggunakan uangnya yang apabila penghasilan seluruh rakyat miskin selama sebulan di Indonesia dikumpulkan, tak akan mampu menyaingi biaya yang dikeluarkan untuk politik pencitraan tersebut. Memang memasang iklan di media massa bukan merupakan sebuah tindakan kriminal, namun tetap melanggar etika dalam berpolitik. Politik sebagai artikulasi kebebasan mesti membebaskan masyarakat, dan media massa sebagai diskursus ruang publik (mengutip Juergen Habermas, bdk. Public Sphere) mesti netral dan membela kepentingan umum demi kesejahteraan bersama. Dengan demikian politik dapat membebaskan rakyat.*

0 komentar: