Kemiskinan di NTT

ATASI KEMISKINAN DENGAN OPTIMALISASI PENDIDIKAN
DAN BALAI LATIHAN KERJA (BLK)
Benny Obon
Sekarang belajar pada STF Ledalero – Maumere
Anggota KMKL tinggal di wisma Mikhael

Rupanya tidak sulit menjelaskan konsep kemiskinan untuk kita orang NTT, karena masalah kemiskinan bukanlah hal yang baru dalam ranah kehidupan kita. Kemiskinan akan selalu menjadi sahabat kita selagi kita hidup, berada dan berpredikat sebagai orang NTT. Inilah satu alasan yang membuat masyarakat kita mudah menjelaskan ide kemiskinan tersebut. Entah sampai kapan kita menyandang predikat tersebut tidak ada yang tahu karena secara praktis kita sudah mengalaminya sejak propinsi kepulauan ini terbentuk. Pada tataran luas (baca: nasional) kita sudah mengalaminya selama 62 tahun. Usia 62 tahun bukanlah usia yang relatif muda. Kalau kita asosiasikan dengan usia manusia, umumnya kita berkembang dari usia nol tahun dan mencapai titik kulminasi pada usia 40 tahun yaitu usia produktif. Setelah itu siklus berbanding terbalik yaitu bergerak turun dalam arti tidak produktif lagi.
Usia 62 tahun bukanlah usia muda. Dalam perjalanannya daerah kita tentu mempunyai banyak program pembangunan yang bernuansa populis dalam memberantas penyakit kemiskinan yang sudah mewabah dalam masyarakat kita. Rupanya waktu 62 tahun belum cukup dan mungkin daerah kita masih berada pada masa puber pada usia negara kita yang ke-62 tahun ini. Berbagai program dalam mengatasi penyakit kemiskinan pun rupanya masih bersifat puber dan bernuansa keinfantilan karena secara praktis pembangunan yang sudah dijalankan tidak berhasil mengobati penyakit kemiskinan tersebut.
Daerah kita tentu membutuhkan satu pil yang tepat untuk mengobati penyakit kemiskinan ini. Pil inilah yang menjadi topik dalam dialog publik tentang pengentasan kemiskinan melalui penciptaan tenaga kerja yang dilaksanakan pda tanggal 20 November 2007 yang lalu di aula Infokom NTT (PK 21/11/2007). Kegiatan ini digelar untuk mencari pil yang tepat dalam mengatasi kemiskinan di daerah kita dengan penciptaan tenaga kerja yang handal. Pertanyaan bagi kita, bagaimana usaha kita untuk menciptakan pil tenaga kerja tersebut.
Adalah sangat tepat panitia (baca: Pemerintah) memilih tema “Mengentas Kemiskinan melalui Penciptaan Tenaga Kerja”. Inilah strategi baru yang diambil yang kiranya dapat membawa pencerahan dalam mengatasi kemiskinan di daerah kita. Kalau selama ini pemerintah berusaha mengatasi kemiskinan dengan membuka lapangan pekerjaan baru dan hasilnya kurang memuaskan kiranya langkah yang baru ini menjadi pilihan yang tepat dalam mengatasi kemiskinan dan pengangguran di NTT. Solusi mengatasi kemiskinan dengan membuka lapangan kerja dinilai kurang efektif karena pendidikan tenaga kerja tidak sesuai dengan lapangan kerja yang disediakan. Di sini pemerintah mencoba menawarkan satu solusi baru dalam mengatasi kemiskinan dengan optimalsisasi pendidikan dan balai latihan kerja (BLK) untuk menciptakan tenaga kerja yang handal.
Inilah bukti kepedulian pemerintah dalam menanggapi fenomena yang terjadi dalam masyarakat. Pemerintah selalu melihat dengan teliti dan membaca tanda-tanda zaman dengan baik agar bisa menerapkan model-model kebijakan baru yang selalu segar sesuai dengan perubahan zaman. Zaman yang terus berubah menuntut kita untuk mengikuti segala bentuk dan tuntutannya. Kebijakan baru yang diambil di sini yaitu optimalisasi pendidikan dan balai latihan kerja (BLK).
Ada dua hal yang dapat kita petik dari dialog publik tersebut. Pertama, dari 4.260.294 jiwa penduduk NTT angkatan kerjanya sekitar 79,45 persen. Dari persentase itu angkatan kerja di daerah kita masih di dominasi oleh tenaga kerja dengan tingkat pendidikan sekolah dasar (SD). Ini menunjukkan adanya dominasi angkatan kerja yang berpendidikan rendah.
Angkatan kerja yang dimaksud adalah penduduk yang mampu dan bersedia melakukan pekerjaan. Kata ‘mampu’ di sini merujuk pada tiga hal. Pertama, mampu secara fisik yaitu sudah cukup umur dan tidak mempunyai caat fisik yang menghilangkan kemampuan untuk melakukan pekerjaan. Kedua, mampu secara mental yaitu mempunyai mental yang sehat dan tidak mempunyai kelainan atau penyakit psikis yang tidak memungkinkannya untuk melakukan pekerjaan yang normal. Ketiga, mampu secara yuridis, yaitu tidak kehilangan kebebasan untuk memiliki dan melakukan pekerjaan.
Kedua, jumlah pengangguran di NTT selalu meningkat. Pengangguran di sini ada dua jenis yaitu pengangguran yang terbuka dan tertutup. Pengangguran terbuka adalah mereka yang sama sekali tidak mempunyai pekerjaan, sedangkan pengangguran yang tertutup yaitu mereka yang mempunyai pekerjaan tidak tetap. Kita mesti membedakan term penganggur, pengangguran dan setengah mengangggur. Term penganggur merujuk pada mereka yang mampu bekerja tetapi tidak mempunyai pekerjaan. Pengangguran merupakan keadaan orang yang sedang menganggur. Dalam pengertian ekonomi makro pengangguran yaitu sebagian dari angkatan kerja yang tidak mempunyai pekerjaan. Sedangkan setengah penganggur yaitu mereka yang bekerja sepanjang waktu kerja normal yang tersedia, tetapi penggunaan waktu tersebut tidak efektif. Kadang-kadang mereka yang melakukan pekerjaan yang lebih rendah atau berbeda dari pendidikan yang dimilikinya dikategorikan sebagai setengah penganggur. Paul M. Horvits dalam Monetery Policy and Financial System menjelaskan bahwa pengangguran bukan saja merupakan masalah mikro melainkan lebih menyangkut masalah makro yang tidak saja merupakan pemboroasan sumber daya manusia tetapi juga menghambat laju pertumbuhan ekonomi.
Masyarakat NTT sepertinya berada pada kolam kemiskinan yang menambah panjang deret pengangguran di daerah kita. Solusi mengurangi pengangguran dengan memberikan pekerjaan bukanlah satu langkah yang tepat karena jumlah pengangguran di daerah kita terus menigngkat. Kemiskianan dan pengangguran struktural di NTT hanya dapat diatasi dengan pembangunan sosial ekonomi secara sadar,efektif, dan optimal diarahkan kepada penciptaan tenaga kerja, penggunaan tenaga kerja yang produktif dan numeratif. Penciptaan tenaga kerja harus menjadi bagian integral dalam pembangunan daerah. Demikian pula pendidikan dan pembinaan tenaga kerja harus menjadi bagian tak terpisahkan dari perencanaan pembangunan yang menyeluruh.
Ada beberapa faktor penyebab kemiskinan di daerah kita. Pertama, rendahnya kualitas pendidikan. Kualitas pendidikan sangat menentukan dalam pembangunan. Proyeksi persentase angkatan kerja yang didominasi oleh tenaga kerja berpendidikan rendah di atas menunjukkan bahwa pendidikan di derah kita belum maju. Rendahnya tingkat pendidikan juga sangat mempengaruhi upah tenaga kerja. Pendidikan mempengaruhi kompetensi dan kompetensi tenaga kerja sangat mempengaruhi upah yang mereka terima.
Kedua, jumlah pengangguran yang semakin meningkat. Pertambahan penduduk seiring dengan pertambahan tenaga kerja yang tidak seimbang dengan kemajuan pendidikan menambah panjang deret pengangguran di daerah kita. Ironisnya ruang pengangguran tersebut tidak hanya dihuni oleh tenaga kerja berpendidikan rendah tetapi juga oleh mereka yang mempunyai spesifikasi khusus. Kasus seperti ini dapat kita lihat dalam setiap kesempatan tes CPNSD. Misalnya, formasi CPNSD untuk propinsi NTT tahun ini disediakan untuk 4000 orang dan yang mendaftarkan diri ada 10.000 orang. Keenam ribu orang yang tidak mendapat peluang tahun ini akan menjadi penghuni baru yang menambah sesak ruang pengangguran di derah kita.
Ketiga, mentalitas para pemimpin kita yang tidak berhati nurani yang nampak dalam berbagai kasus korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) yang terjadi. Ironisnya pemerintah ber-KKN di tengah realitas masyarakat NTT yang miskin. Realitas masyarakat kita sangat kontras dengan keadaan para pejabat. Sangat disayangkan masyarakat kurang diperhatikan sementara para pejabat kita asyik bermain judi (Kompas 5/12/2005). Para pejabat kita lebih memilih menutup mata terhadap realitas kemiskinan yang terus mencekik masyarakat malah berekreasi di tengah realitas yang kontras ini. Mental seperti ini menjadi biang munculnya berbagai kasus korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) di NTT. Tidak heran kalau badan pemeriksa keuangan (BPK) semester II tahun 2006 menemukan dana pemerintah yang tidak jelas penggunaannya sebesar Rp 791,88 M 9iPK 5/4/2007).
Untuk mengatasi masalah kemiskinan di derah kita ada beberapa langkah yang perlu dilakukan. Pertama, tingkatkan sektor pendidikan. Melihat persentase angkatan kerja di daerah kita yang didominasi oleh tenaga kerja berpendidikan rendah, maka kita mesti meningkatkan mutu pendidikan. Perhatian kita hendaknya lebih difokuskan pada sektor ini karena melalui pendidikan dapat dilahirkan pribadi-pribadi dengan profesi tertentu. Parameter kemajuan sebuah lembaga pendidikan di sini dilihat dari produktivitas output yang dihasilkan dengan spesialisai tertentu. Lembaga-lembaga pendidikan menjadi tempat mendidik dan menciptakan tenaga-tenaga kerja yang handal.
Kedua, membuka dan mengintensifkan balai-balai latihan kerja (BLK). Akhir-akhir ini banyak balai latihan kerja dibuka. Pembukaan balai latihan kerja seperti ini sangat mendukung para tenaga kerja untuk mengembangkan profesinya. Di sini tenaga kerja mengenyam pendidikan nonformal dengan sasaran pada pendidikan keahlian dan keterampilan khusus. Pendidikan nonformal seperti ini dapat dijangkau oleh masyarakat kecil. Balai latihan kerja di sini sangat penting untuk penyerapan tenaga kerja di kemudian hari. Kalau usaha ini terwujud, maka masalah pengangguran di NTT dapat diatasi sehingga masslah penangkapan dan penggagalan TKW/L untuk keluar negeri tidak akan terjadi.
Balai latihan kerja memungkinkan tenaga kerja untuk mengembangakan usaha kecil dan menengah (UKM). Struktur masyarakat kita yang didominasi oleh tenaga kerja berpendidikan rendah membuat pilihan untuk melakukan kegiatan ekonomi tidaklah banyak. Salah satu pilar untuk melakukan kegiatan ekonomi adalah dengan mengembangkan usaha ekonomi kecil dan menengah yang menjadi tumpuan bagi sebagian tenaga kerja. Usaha kecil menengah banyak dilakukan oleh tenaga kerja karena jumlah modal yang relatif kecil dan tidak membutuhkan tenaga kerja berpendidikan tinggi. Dengan ini jumlah UKM akan menjadi sangat besar dan dapat mendonorkan penyerapan tenaga kerja sehingga dapat mengurangi jumlah pengangguran. Berhadapan dengan usaha ini, maka pemerintah diharapkan dapat memberikan izin usaha kepada mayarakat. Dengan demikian usaha mengatasi kemiskinan dengan optimalsasi pendidikan dan balai latihan kerja (BLK) dapat berhasil.




0 komentar: