Kekerasan Agama Tanda Kecerdasan Sosial Lemah

Benny Obon
Ketua News Letter STFK Ledalero

Kekerasan beragama kembali terjadi di Indonesia. Kali ini yang menjadi sasarannya adalah Jemaah Ahmadiyah di Cikeusik – Pandeglang dan gereja di Temanggung. Serangan di Cikeusik menewaskan 3 orang. Aksi main hakim sendiri tersebut menjadi tontonan yang memuakkan bagi seluruh masyarakat Indonesia.
Penyerangan terhadap kelompok umat beragama bukanlah hal yang baru di negeri yang mengakui diri melindungi warga negaranya ini dengan jaminan konstitusional. Aksi penyerangan tersebut merupakan tindakan kekerasan yang sepatutnya tidak perlu terjadi seandainya masyarakat Indonesia tahu menghargai martabat dan eksistensi manusia. Menghargai martabat manusia melampaui sekat baik agama, suku maupun ras. Artinya, kita menghargai manusia bukan karena ia sesama Muslim, Kristen atau sesama etnis Tionghoa misalnya, melainkan karena secara ontologis manusia mempunyai martabat.
Penyerangan terhadap Jemaah Ahmadiyah dan gereja di Temanggung tersebut dapat menunjukkan masyarakat tidak mempunyai hati nurani untuk mengakui eksistensi orang lain. Hal ini membuat masyarakat cenderung berpikir fragmentatif. Cara pandang seperti ini membuat kita tidak mengakui keberadaan yang lain di luar diri atau kelompok kita. Kita hanya melihat agama kita misalnya sebagai satu-satunya sumber kebenaran, karena itu yang lain dimusnahkan.
Mengakui yang lain di luar diri kita berarti memberikan respek dan rasa hormat terhadap orang lain atas cara hidup, mengakui hak-hak dan kewajibannya dan terutama mengakui bahwa mereka sederajad dengan kita serta bagian dari diri kita. Karena itu, kalau kita menghargai diri sendiri berarti kita serentak menghargai orang lain di luar diri kita.
Hemat penulis kekerasan beragama yang terjadi di tanah air selama ini setidaknya menunjukkan beberapa hal. Pertama, ada upaya pembiaran terjadinya kekerasan terhadap umat beragama oleh negara. Negara melalui konstitusi menjamin setiap warganya untuk dapat menjalankan hak-hak dan kewajibannya. Namun, pelbagai tindak kekerasan terhadap agama yang kerap terjadi belakangan ini menunjukkan negara membiarkan kekerasan tersebut ada. Karena itu, tidak heran kalau kita menyaksikan bahwa kekerasan terhadap umat beragama di Indonesia selalu meningkat. Inilah ironi besar di negeri kita.
Surat Keputusan Bersama (SKB) tiga Menteri pada bulan Juni 2008 selalu dijadikan pembenar atas segala tindak kekerasan terhadap Jemaah Ahmadiyah di Indonesia. Karena itu, pemerintah perlu meninjau kembali kalau perlu mencabut SKB tiga Menteri tersebut. Sebenarnya seruan peninjauan kembali SKB tiga Menteri tersebut sudah sering dilakukan oleh pelbagai elemen masyarakat, namun pemerintah tidak menggubrisnya. Rupanya pemerintah menginginkan adanya tindak kekerasan beragama berskala luas. Jalan keluar dengan dialog bukan langkah yang tepat lagi, karena terbukti tidak membawa hasil yang baik bagi toleransi hidup antarumat beragama di Indonesia.
Kedua, lemahnya penangan keamanan dari pihak kepolisian. Kepolisian sebagai lembaga negara bertujuan untuk memberikan perlindungan dan rasa aman terhadap warga negara. Namun, pengalaman tindak kekerasan terhadap Jemaah Ahmadiyah di Cikeusik menunjukkan pihak kepolisian gagal menjadi lembaga yang memberikan perlindungan bagi warga negara. Informasi akan adanya penyerangan terhadap Jemaah Ahmadiyah di Cikeusik sudah diketahui oleh Jemaah Ahmadiyah dan oleh pihak kepolisian. Itu berarti pihak kepolisian sudah tahu akan adanya penyerangan tersebut, sehingga pihak kepolisian bisa mengambil langkah antisipasi pencegahan dini. Namun, pihak kepolisian hanya mengutus beberapa orang polisi, alhasil polisi tidak dapat menahan massa penyerang karena jumlahnya lebih banyak dari polisi. Polisi pun menjadi penonton setia. Pertanyaannya, mengapa pihak kepolisian hanya mengutus beberapa orang anggotanya ke sana? Kalau hanya mau menjadi penonton tanpa ada rasa belaskasihan untuk menolong korban yang ramai-ramai digebuk massa penyerang, polisi tidak perlu ada di sana.
Pihak kepolisian mesti belajar dari kasus penyerangan terhadap umat beragama lain yang pernah terjadi di beberapa daerah selama ini. Massa penyerang selalu lebih besar dan sulit dihentikan karena mereka sudah dibakar amarah. Karena itu, pihak kepolisian perlu mengambil langkah antisipatif dengan mengirim polisi sebanyak mungkin, sehingga tidak terjadi konflik apalagi sampai jatuh korban.
Ketiga, lemahnya kecerdasan sosial (social intelligence) masyarakat Indonesia. Kecerdasan sosial berhubungan dengan aspek sosialitas. Kecerdasan sosial akan teruji kalau kita berani keluar dari diri sendiri untuk bergaul dan hidup bersama orang lain dalam masyarakat. Kecerdasan sosial meniadakan pola pikir ‘kita’ dan ‘mereka’. Pola pikir seperti ini membuat kita menciptakan sekat dalam berrelasi. Orang lain dilihat sebagai ‘mereka’ yang bukan ‘kita’, sehingga orang lain mesti disingkirkan. Karena itu, kita perlu mendekonstruksi pola pikir tersebut dan harus mendefinisikan diri kita sendiri dalam diri orang lain pun sebaliknya, dan bersama membangun Indonesia ke arah yang lebih baik seturut cita-cita UUD 1945.*

0 komentar: