MEMBANGUN NASIONALISME KAUM MUDA

(Bagian 1)

Benny Obon


Tulisan ini disari dari seminar Sumpah Pemuda yang dibawakan oleh Dr. Budi Kleden di STFK Ledalero tentang “Membangun Nasionalisme Kaum Muda”. Dewasa ini nasionalisme dalam diri kaum muda mulai luntur. Nasionalisme yang merupakan perasaan dan sikap yang menunjukkan ikatan seseorang pada bangsanya mulai menghilang oleh globalisasi dan primordialisme. Karena itu, diskursus tentang nasionalisme mesti menjadi tema yang mendesak dibicarakan dalam memperingati Hari Sumpah Pemuda tahun ini. Hal ini penting sebab tampaknya semangat kebangsaan semakin luntur oleh berbagai sikap dan praktik hidup dalam bidang politik, ekonomi, religius, munculnya terorisme, produk perundang-undangan dan konflik antaragama.
Banyak orang mengatakan; perlu berbicara tentang nasionalisme karena memperhatikan perilaku anak muda yang lebih ditentukan oleh pengaruh global daripada pertimbangan kebangsaan. Namun, persoalan kebangsaan atau masalah seputar semangat nasionalisme bukan hanya dapat diamati pada diri kaum muda.
Pertanyaan mendasar seputar nasionalisme adalah apakah masih diperlukan nasionalisme/kebangsaan pada zaman global?
Ada beberapa kenyataan yang menimbulkan pertanyaan serius peran semangat kebangsaan. Pertama, arus pertukaran manusia yang semakin tinggi yang melahirkan manusia-manusia yang tidak jelas lagi orientasi kebangsaannya yang lahir dari orangtua campuran di sebuah negara asing, dibesarkan dalam lingkungan berbudaya baru. Kedua, sejumlah peristiwa bencana alam yang terjadi beberapa waktu terakhir melahirkan solidaritas dunia. Ketiga, aksi-aksi solidaritas tersebut tidak jarang memiliki kekuatan jauh lebih besar daripada solidaritas yang ditunjukkan oleh orang-orang dari bangsa sendiri. Keempat, dunia global adalah dunia pasar. Globalisasi terjadi karena didukung oleh kepentingan ekonomi.
Kelima, kekuatan-kekuatan ekonomi besar mencari sumber daya alam dan sumber tenaga yang banyak dan murah, serentak membutuhkan pasar yang luas dan berdaya beli. Keenam, perekonomian kita tidak berada sepenuhnya dalam tangan dan komando kita. Ketujuh, nilai tukar uang kita ditentukan oleh reaksi pasar dunia terhadap kondisi alam dan politik yang terjadi di negara kita. Kedelapan, agen globalisasi yang penting; agama-agama dunia, penyeragaman ajaran, struktur. Kesembilan, sentralisasi kekuasaan agama, doktrin, politik personalia, terorisme. Kesepuluh, agama bisa menjadi satu kekuatan melawan globalisasi, tetapi dengan menggunakan sarana global dan menggalang kekuatan global.
Kendati menghadapi tantangan serius dari globalisasi, semangat nasionalisme tetap sangat penting dipertahankan. Karena, tercebur ke dalam dunia global tanpa pegangan pada kelompok seperti bangsa, seorang akan hilang, tidak memiliki identitas, karena itu tidak bisa dikenal dan tidak kenal diri. Dan, dunia yang global memerlukan kontribusi dari berbagai elemen, termasuk dari bangsa-bangsa agar globalisasi tidak berakhir dengan penyeragaman yang memiskinkan. Karena itu, kebangsaan menanamkan nilai dan memperkuat rasa percaya diri agar dapat masuk ke dalam dunia global.
Persoalan lain yang membahayakan nasionalisme adalah semangat primordialisme. Beberapa persoalan seperti, otonomi daerah sebagai satu strategi politik untuk memberikan ruang artikulasi kepentingan dan optimalisasi potensi daerah secara mencolok telah turut memenjarakan para warga dalam semangat primordial. Otonomi daerah sama dengan putera daerah. Baik atau buruk di tanah sendiri, dan orang sendiri. Ekstensi pandangan yang terbentuk dalam era globalisasi terbentur pada tendensi untuk hanya mengutamakan orang sendiri.
Secara sangat jelas sikap primordial ditunjukkan dalam momentum pemilihan umum yang menentukan pilihan politik berdasarkan ikatan primordial; satu daerah dan satu agama. Orang tidak mempertimbangkan memilih seseorang untuk apa, melainkan memilih seseorang dari mana.
Tidak jarang, ikatan kita sebagai umat satu agama menjadi sangat dominan, sehingga kita mengabaikan ikatan lain yang juga penting seperti ikatan kebangsaan. ‘Kekitaan’ kita sebagai bangsa ditaklukkan oleh ‘kekamian’ dalam satu kelompok agama; hidup dalam kecurigaan yang laten terhadap sesama warga penganut agama lain.
Karena itu, pelbagai praktik KKN marak terjadi karena mengutamakan diri, keluarga dan kelompoknya di atas kepentingan bangsa. Negara dan bangsa adalah urusan keluarga, sehingga KKN merupakan pengkhianatan terhadap nasionalisme. (bersambung).


MEMBANGUN NASIONALISME KAUM MUDA
(Bagian 2/habis)

Lalu, apakah masih pantas berbicara tentang nasionalisme? Nasionalisme/kebangsaan bukanlah satu bentuk penyembahan berhala terhadap bangsa sendiri. Tidak mengharuskan kita untuk membuat pernyataan right or wrong is my country. Kesalahan bangsa harus diakui dan dikritisi. Nasionalisme tidak boleh menjadi tameng untuk menutup segala kebobrokan dalam negara dan bangsa sendiri.
Kebangsaan adalah tanggung jawab terhadap manusia yang ada di dalam bangsa. Itu berarti sama dengan tanggung jawab terhadap kemanusiaan pada umumnya. Sebab itu, nilai utama yang mesti diletakkan dalam bingkai nasionalisme adalah kemanusiaan. Untuk itu, kaum muda perlu didorong dan diberanikan untuk memiliki kepekaan dan tanggung jawab terhadap kemanusiaan.
Globalisasi bukanlah setan, bukan pula malaikat. Dia pun bukan hanya sesuatu yang tak terelakkan dan karena itu menjadi semacam nasib. Globalisasi mengandung banyak tantangan dan peluang di dalamnya.
Kaum muda perlu terbuka terhadap nilai-nilai baru. Kita tidak hanya menerima kebudayaan baru, tetapi juga melacak nilai-nilai baru yang ada dalam kebudayaan lain. Satu hal yang sangat mendesak di sini adalah persoalan lingkungan hidup. Dalam konteks bangsa kita sendiri terkesan bahwa lingkungan masih belum diagendakan sebagai masalah yang mendesak. Kaum muda yang terlibat dalam arus informasi global dapat menjadi pendorong kesadaran bangsa ke arah yang lebih bertanggung jawab terhadap keutuhan ciptaan.
Kebudayaan kita juga bukan tanpa cela, tetapi juga bukan hanya cela. Kita tidak mendewakan kebudayaan kita, karena masih ada banyak kekurangan dan kepincangan di dalamnya. Sikap mendewakan kebudayaan sendiri bukanlah sikap yang dewasa. Tetapi juga kita tidak menyimpannya dalam museum, sebab dia masih sangat kaya dan bermanfaat bagi kita dan orang lain.
Ada dua keutamaan dan kebijaksanaan dalam kebudayaan dan pengalaman kita sebagai bangsa yang justru sangat diperlukan dunia sekarang ini. Pertama, Semangat kebangsaan yang mengatasi berbagai belenggu primordial dapat menjadikan bangsa ini sekolah pembelajaran hidup dalam toleransi. Kedua, kebijaksanaan hidup yang memperhatikan kedaulatan alam.
Cita-cita nasionalisme tidak bermaksud membuat kita terkurung dalam diri sendiri, melainkan agar kita dapat menempatkan diri sejajar dengan bangsa-bangsa lain (Sutan Takdir Alisjahbana). Karena itu kaum muda mesti menjadi pemain dalam percaturan ekonomi, sosial dan politik global. Untuk itu perlu pendidikan yang bermutu. Kita perlu memenuhi standard pengetahuan, nilai dan ketrampilan global untuk dapat ikut dalam persaingan global.
Karena itu, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan oleh kaum muda dalam membangun nasionalisme, membiasakan diri dengan pola pikir kritis-mandiri dan memperluas sikap kritis mandiri; peka terhadap dan mengenal budaya populer kaum muda; memperkuat masyarakat pada tingkat lokal agar berani melawan penggadaian wilayah dan budaya lokal oleh para pemimpin politik kepada pengusaha; meningkatkan penghargaan terhadap kekayaan budaya sendiri dengan mendalami filosofinya dan memperkenalkannya melalui berbagai media; meningkatkan penghargaan terhadap kekayaan budaya sendiri dengan mendalami filosofinya dan memperkenalkannya melalui berbagai media. (selesai)*

Feature ini dijadikan opini pada harian PK

0 komentar: