Adakah Toleransi di Indonesia?
Oleh Benny Obon
sumber Pos Kupang, Selasa, 21 September 2010 | 00:52 WIB
FENOMENA tindakan kekerasan kembali terjadi di negeri kita, tepatnya pada hari Minggu, 12/9/2010. Kalau beberapa tahun lalu yang menjadi korbannya adalah kelompok/sekte Ahmadyah, maka kali ini giliran jemaat Gereja HKBP yang menjadi sasarannya. Kekerasan dan konflik horizontal telah menjadi pemandangan dan tontonan yang biasa di Indonesia. Kekerasan seolah telah menjadi budaya bangsa kita. Ia muncul dengan variasi dan motif yang berbeda dengan sifatnya yang katastropik.
Tindak kekerasan terhadap umat beragama seperti yang dialami oleh sekte Ahmadyah dan jemaat Gereja HKBP Ciketing, Bekasi kerap terjadi di Indonesia. Mulai dari larangan untuk mendirikan rumah ibadat, larangan berkumpul dan mengadakan ibadat. Tindakan kekerasan tersebut melunturkan semangat juang dan cita-cita bangsa Indonesia untuk menciptakan kehidupan bermasyarakat yang harmonis dan bertoleransi.
Pengalaman tindak kekerasan dan konflik horizontal yang terjadi di tanah air selama ini setidaknya dapat menunjukkan rapuhnya bangunan hidup bersama di antara umat beriman. Toleransi antarumat beragama yang selalu didengung-dengungkan selama ini seolah-olah hanya sebuah verbalisme dan formalisme belaka di hadapan kenyataan tindak kekerasan yang kerap terjadi. Lalu, masih adakah toleransi yang tersisa di negara kita?
Fenomena tindak kekerasan yang terjadi di tanah air dapat dilihat sebagai sesuatu yang mengancam dan membahayakan kehidupan bersama. Maka, usaha yang mungkin dipikirkan pada masa yang akan datang bukan soal bagaimana menciptakan kehidupan yang lebih baik dengan memperbaiki aspek ekonomi tetapi bagaimana kita/orang berusaha menghindar menjadi korban kekerasan.
Robert D Kaplan, seorang Senior Fellow pada New American Foundation, dalam bukunya The Coming of Anarchy antara lain menjelaskan bahwa berbagai tindakan kekerasan dan anarki yang terjadi di mana-mana merupakan suatu ancaman terbesar pada kehidupan manusia yang akan datang. Tindak kekerasan bisa dilakukan oleh siapa saja dan dengan motif apa saja.
Tindak kekerasan berakar kuat pada filsafat subyek yang dibangun oleh Descartes. Paradigma Cogito Ergo Sum-nya menempatkan subyek di atas segalanya. Kebenaran pun dilihat hanya ada dan terletak pada subyek yang berpikir. Segala realitas lain di luar diri disangkal. Karena itu seorang/sekelompok orang menjadikan dirinya sebagai satu-satunya sumber kebenaran dan melihat yang lain sebagai yang berbeda dan mesti dilenyapkan. Pola pikir seperti ini, hemat saya, telah merasuki masyarakat Indonesia. Sehingga berbagai fenomena kekerasan marak terjadi. Pola pikir seperti ini menutup kemungkinan pada sebuah diskursus dan membuka peluang ke arah represi dan pemaksaan kehendak terhadap kelompok lain.
Pola pikir yang dibangun oleh filsafat subyek Descartes menegasi segala pluralitas dalam negara. Padahal Hannah Arendt dengan tegas mengatakan bahwa pluralitas merupakan prasyarat bagi tindakan manusia. Bahwa manusia mesti bekerja, berkarya dan bertindak bersama orang lain. Dan, apa pun bentuknya, kekerasan tetap merupakan negasi atas faktum pluralitas.
Kritik Arah Misi Gereja dan Dakwah Islam
Fenomena kekerasan dan ketidakadilan terhadap umat beragama di Indonesia, hemat saya, menunjukkan rapuhnya toleransi dan dialog antaragama. Kalau selama ini senjata toleransi yang dibangun melalui dialog antaragama kurang representan dan kurang memberikan hasil maksimal, maka arah misi/dakwah hendaknya diubah. Menurut saya, dialog antaragama yang dibangun selama ini hanya terjadi pada tataran atas dan kurang menyentuh masyarakat/umat akar rumput. Segala pembicaraan/diskursus yang dihasilkan dalam dialog hanya menjadi pegangan kalangan atas.
Dialog mengandaikan pihak-pihak yang terlibat di dalamnya mempunyai daya rasionalitas yang mendekati setara. Artinya, sama-sama memiliki pemahaman, visi dan misi yang sama. Karena itu dialog hanya terjadi di antara para pemimpin agama. Dialog karena itu bersifat elitis. Segala keputusan yang dihasilkan pun bersifat elitis dan cenderung konseptual.
Kekerasan dan ketidakadilan seperti yang dialami jemaat gereja HKBP tersebut mesti memberikan nilai tersendiri bagi semua umat beragama untuk mengubah haluan misi. Saatnya kita mengubah arah misi/dakwah. Tindak kekerasan dan ketidakadilan tersebut, hemat saya, terjadi karena kurangnya pemahaman akan umat agama lain. Karena itu tugas yang paling mendesak adalah menjadikan umat agama lain 'setengah Kristen dan setengah Islam'. Artinya, misi/dakwah mesti dapat membuat kaum agama lain memahami dan mengerti tentang agamanya (sebagai tujuan internal) dan memahami umat agama lain (sebagai tujuan eksternal). Pengertian dan pemahaman akan satu sama lain tersebut membuat kita saling menghormati dan mencintai sesama umat antaragama. Dengan demikian relasi yang dibangun adalah relasi berdasarkan cinta dan saling pemahaman.
sumber Pos Kupang, Selasa, 21 September 2010 | 00:52 WIB
FENOMENA tindakan kekerasan kembali terjadi di negeri kita, tepatnya pada hari Minggu, 12/9/2010. Kalau beberapa tahun lalu yang menjadi korbannya adalah kelompok/sekte Ahmadyah, maka kali ini giliran jemaat Gereja HKBP yang menjadi sasarannya. Kekerasan dan konflik horizontal telah menjadi pemandangan dan tontonan yang biasa di Indonesia. Kekerasan seolah telah menjadi budaya bangsa kita. Ia muncul dengan variasi dan motif yang berbeda dengan sifatnya yang katastropik.
Tindak kekerasan terhadap umat beragama seperti yang dialami oleh sekte Ahmadyah dan jemaat Gereja HKBP Ciketing, Bekasi kerap terjadi di Indonesia. Mulai dari larangan untuk mendirikan rumah ibadat, larangan berkumpul dan mengadakan ibadat. Tindakan kekerasan tersebut melunturkan semangat juang dan cita-cita bangsa Indonesia untuk menciptakan kehidupan bermasyarakat yang harmonis dan bertoleransi.
Pengalaman tindak kekerasan dan konflik horizontal yang terjadi di tanah air selama ini setidaknya dapat menunjukkan rapuhnya bangunan hidup bersama di antara umat beriman. Toleransi antarumat beragama yang selalu didengung-dengungkan selama ini seolah-olah hanya sebuah verbalisme dan formalisme belaka di hadapan kenyataan tindak kekerasan yang kerap terjadi. Lalu, masih adakah toleransi yang tersisa di negara kita?
Fenomena tindak kekerasan yang terjadi di tanah air dapat dilihat sebagai sesuatu yang mengancam dan membahayakan kehidupan bersama. Maka, usaha yang mungkin dipikirkan pada masa yang akan datang bukan soal bagaimana menciptakan kehidupan yang lebih baik dengan memperbaiki aspek ekonomi tetapi bagaimana kita/orang berusaha menghindar menjadi korban kekerasan.
Robert D Kaplan, seorang Senior Fellow pada New American Foundation, dalam bukunya The Coming of Anarchy antara lain menjelaskan bahwa berbagai tindakan kekerasan dan anarki yang terjadi di mana-mana merupakan suatu ancaman terbesar pada kehidupan manusia yang akan datang. Tindak kekerasan bisa dilakukan oleh siapa saja dan dengan motif apa saja.
Tindak kekerasan berakar kuat pada filsafat subyek yang dibangun oleh Descartes. Paradigma Cogito Ergo Sum-nya menempatkan subyek di atas segalanya. Kebenaran pun dilihat hanya ada dan terletak pada subyek yang berpikir. Segala realitas lain di luar diri disangkal. Karena itu seorang/sekelompok orang menjadikan dirinya sebagai satu-satunya sumber kebenaran dan melihat yang lain sebagai yang berbeda dan mesti dilenyapkan. Pola pikir seperti ini, hemat saya, telah merasuki masyarakat Indonesia. Sehingga berbagai fenomena kekerasan marak terjadi. Pola pikir seperti ini menutup kemungkinan pada sebuah diskursus dan membuka peluang ke arah represi dan pemaksaan kehendak terhadap kelompok lain.
Pola pikir yang dibangun oleh filsafat subyek Descartes menegasi segala pluralitas dalam negara. Padahal Hannah Arendt dengan tegas mengatakan bahwa pluralitas merupakan prasyarat bagi tindakan manusia. Bahwa manusia mesti bekerja, berkarya dan bertindak bersama orang lain. Dan, apa pun bentuknya, kekerasan tetap merupakan negasi atas faktum pluralitas.
Kritik Arah Misi Gereja dan Dakwah Islam
Fenomena kekerasan dan ketidakadilan terhadap umat beragama di Indonesia, hemat saya, menunjukkan rapuhnya toleransi dan dialog antaragama. Kalau selama ini senjata toleransi yang dibangun melalui dialog antaragama kurang representan dan kurang memberikan hasil maksimal, maka arah misi/dakwah hendaknya diubah. Menurut saya, dialog antaragama yang dibangun selama ini hanya terjadi pada tataran atas dan kurang menyentuh masyarakat/umat akar rumput. Segala pembicaraan/diskursus yang dihasilkan dalam dialog hanya menjadi pegangan kalangan atas.
Dialog mengandaikan pihak-pihak yang terlibat di dalamnya mempunyai daya rasionalitas yang mendekati setara. Artinya, sama-sama memiliki pemahaman, visi dan misi yang sama. Karena itu dialog hanya terjadi di antara para pemimpin agama. Dialog karena itu bersifat elitis. Segala keputusan yang dihasilkan pun bersifat elitis dan cenderung konseptual.
Kekerasan dan ketidakadilan seperti yang dialami jemaat gereja HKBP tersebut mesti memberikan nilai tersendiri bagi semua umat beragama untuk mengubah haluan misi. Saatnya kita mengubah arah misi/dakwah. Tindak kekerasan dan ketidakadilan tersebut, hemat saya, terjadi karena kurangnya pemahaman akan umat agama lain. Karena itu tugas yang paling mendesak adalah menjadikan umat agama lain 'setengah Kristen dan setengah Islam'. Artinya, misi/dakwah mesti dapat membuat kaum agama lain memahami dan mengerti tentang agamanya (sebagai tujuan internal) dan memahami umat agama lain (sebagai tujuan eksternal). Pengertian dan pemahaman akan satu sama lain tersebut membuat kita saling menghormati dan mencintai sesama umat antaragama. Dengan demikian relasi yang dibangun adalah relasi berdasarkan cinta dan saling pemahaman.
0 komentar:
Posting Komentar