BENCANA ALAM; MASIHKAN ALLAH DAPAT DIPERCAYA?
Benny Obon
Mahasiswa STF Ledalero
Tanggal 30 September yang lalu gempa bumi mengguncang Padang Pariaman Sumatera Barat. Orang pun berlomba-lomba menyebut nama Allah. Ada juga yang mempertanyakan kasih Allah, bahkan mengutuk Allah. Lalu, masihkah Allah dapat dipercaya? Pertanyaan ini kerap dilontarkan banyak pihak dalam realitas seperti ini. Kiranya tulisan ini dapat memberikan jawaban atas pertanyaan tersebut.
Dunia Ciptaan Allah
Dunia dan segala isinya adalah ciptaan Allah. Artinya, Allah sendiri yang menjadikannya sesuai kehendakNya tanpa bantuan pihak lain dan tanpa sesuatu apapun yang menentukan hasil ciptaanNya. Allah itu baik, sehingga kehendak dan hasil ciptaanNya juga baik. Tidak ada hubungan alamiah yang langsung di mana dunia/alam ciptaanNya keluar dari Allah. Alam/bumi ciptaan Allah tidak berkodrat Ilahi, tetapi bersifat duniawi. Allah adalah dasar eksistensi seluruh ciptaan dan Dia mengasihinya.
Namun, dalam realitas bencana alam kasih Allah dipertanyakan. Untuk itu ada tiga hal yang perlu dilihat. Pertama, Allah bersifat transenden. Artinya, Allah bukan suatu unsur dari dunia itu sendiri, dan dalam arti tertentu dunia bersifat otonom. Dengan demikian tidak semua sesuatu dalam dunia dikehendaki Allah, tetapi bergerak menurut hukum yang terkandung di dalamnya. Karena itu bumi mempunyai aturan dan hukum-hukumnya sendiri. Sehingga gempa bumi di Pariaman terjadi sesuai hukum alam.
Kita tidak dapat meniadakan atau menghapus hukum alam tersebut. Tetapi Allah menganugerahkan manusia akal budi/intelek untuk mempelajari pelbagai gejala dan fenomenanya. Dengan demikian kita dapat berusaha melindungi diri dari ancaman gempa. Misalnya, kita dapat menghasilkan teknologi deteksi gempa. Teknologi tersebut akan memberitahu kita saat datangnya gempa, sehingga kita dapat sedini mungkin menghindarinya.
Kedua, malum dan privatio boni. Malum/keburukan merupakan sesuatu yang menyebabkan orang merasa menderita. Sedangkan bonum sesuatu yang diharapkan, keadaan terpenuhinya keinginan manusia. Kita menggunakan malum untuk dikontraskan dengan bonum/kebaikan. Maka, malum merupakan sesuatu yang membuat kita merasa adanya kekurangan dari sesuatu yang semestinya ada.
Gempa bumi merupakan realitas buruk yang dialami manusia. Keburukan tersebut dilihat sebagai suatu kekurangan kebaikan – privatio boni, pada bumi yang semestinya ada tetapi de fakto tidak ada. Di sini kita menjelaskan secara paradoks kenyataan tersebut.
Menurut Leibniz dan Kant, bencana alam merupakan suatu keburukan metafisik – malum metafisicum. Artinya ia melampaui penjelasan fisis dan moral. Ia terletak pada struktur dasar keterbatasan manusia dan dunia.
Allah menciptakan dunia baik adanya. Karena itu ia bersifat baik. Tetapi kekurangan kebaikan pada bumi, seperti gempa di Pariaman membuat kita melihatnya buruk. Keburukan bersifat negatif dan merusakkan. Dengan demikian ia tidak dapat dimengerti dalam dirinya sendiri, tetapi dimengerti bahwa adanya privatio pada kebaikan tersebut.
Karena itu keburukan/gempa bumi bukan unsur integral dalam dunia/alam semesta. Sehingga Allah tidak menciptakan keburukan/bencana alam di dunia, karena keburukan bukan unsur yang positif berada. Tetapi Allah menciptakan dunia sedemikian, sehingga ada kemungkinan yang terjadi pada bumi yaitu privatio kebaikan.
Ketiga, manusia turut berperan mendatangkan bencana alam. Misalnya banjir bandang di Jakarta disebabkan oleh campur tangan manusia. Masalah banjir telah menjadi fenomena yang biasa di Jakarta. Hal ini disebabkan karena menggundulnya hutan-hutan dilereng gunung yang merupakan hulu sungai-sungai besar yang melewati kota Jakarta.
Kini lereng-lerang gunung tersebut dihiasi dengan vila-vila megah milik para pejabat. Akibatnya hutan tidak mampu lagi menahan dan meresap air ketika musim hujan, sehingga terjadilah banjir bandang. Ini yang disebut malum morale.
Gempa bumi/bencana di Pariaman dan di beberapa tempat lainnya membawa pesan bagi kita. Pertama, bencana alam/gempa memberikan pelajaran bagi manusia akan eksistensinya yang rapuh. Keberadaan manusia di dunia hanya sementara, sehingga kita perlu menciptakan relasi yang baik dengan sesama, alam dan Tuhan. Bencana alam juga menjadi semacam terapi kaget bagi manusia yang semakin tidak menghargai nilai-nilai kemanusiaan. Bencana alam mengingatkan kita bahwa kita sama dihadapan kematian, entah itu presiden, gubernur maupun rakyat.
Kedua, saat menunjukkan rasa persaudaraan dan semangat nasionalisme. Bencana alam menghalangi perjuangan individu-individu dalam negara. Melalui bencana, rasa persaudaraan dan belaskasihan di antara sesama dengan sendirinya muncul. Bantuan-bantuan kemanusiaan berupa bahan makanan, obat-obatan, pakaian dengan sendirinya mengalir. Di sinilah rasa persaudaraan kita diwujudkan.
Bencana alam juga melampaui ideologi pelbagai kelompok. Kita tidak lagi memperhatikan agama, suku, etnis, orang suci-orang berdosa, orang beragama-kaum ateis dan sebagainya. Bencana alam membongkar pelbagai sekat yang memisahkan yang satu dengan yang lainnya. Tidak ada lagi pengkotak-kotakan perjuangan. Tetapi kita hanya merasa sebagai bangsa yang senasib dan sepenanggungan. Di sinilah semangat nasionalisme kita ditunjukkan.*
Mahasiswa STF Ledalero
Tanggal 30 September yang lalu gempa bumi mengguncang Padang Pariaman Sumatera Barat. Orang pun berlomba-lomba menyebut nama Allah. Ada juga yang mempertanyakan kasih Allah, bahkan mengutuk Allah. Lalu, masihkah Allah dapat dipercaya? Pertanyaan ini kerap dilontarkan banyak pihak dalam realitas seperti ini. Kiranya tulisan ini dapat memberikan jawaban atas pertanyaan tersebut.
Dunia Ciptaan Allah
Dunia dan segala isinya adalah ciptaan Allah. Artinya, Allah sendiri yang menjadikannya sesuai kehendakNya tanpa bantuan pihak lain dan tanpa sesuatu apapun yang menentukan hasil ciptaanNya. Allah itu baik, sehingga kehendak dan hasil ciptaanNya juga baik. Tidak ada hubungan alamiah yang langsung di mana dunia/alam ciptaanNya keluar dari Allah. Alam/bumi ciptaan Allah tidak berkodrat Ilahi, tetapi bersifat duniawi. Allah adalah dasar eksistensi seluruh ciptaan dan Dia mengasihinya.
Namun, dalam realitas bencana alam kasih Allah dipertanyakan. Untuk itu ada tiga hal yang perlu dilihat. Pertama, Allah bersifat transenden. Artinya, Allah bukan suatu unsur dari dunia itu sendiri, dan dalam arti tertentu dunia bersifat otonom. Dengan demikian tidak semua sesuatu dalam dunia dikehendaki Allah, tetapi bergerak menurut hukum yang terkandung di dalamnya. Karena itu bumi mempunyai aturan dan hukum-hukumnya sendiri. Sehingga gempa bumi di Pariaman terjadi sesuai hukum alam.
Kita tidak dapat meniadakan atau menghapus hukum alam tersebut. Tetapi Allah menganugerahkan manusia akal budi/intelek untuk mempelajari pelbagai gejala dan fenomenanya. Dengan demikian kita dapat berusaha melindungi diri dari ancaman gempa. Misalnya, kita dapat menghasilkan teknologi deteksi gempa. Teknologi tersebut akan memberitahu kita saat datangnya gempa, sehingga kita dapat sedini mungkin menghindarinya.
Kedua, malum dan privatio boni. Malum/keburukan merupakan sesuatu yang menyebabkan orang merasa menderita. Sedangkan bonum sesuatu yang diharapkan, keadaan terpenuhinya keinginan manusia. Kita menggunakan malum untuk dikontraskan dengan bonum/kebaikan. Maka, malum merupakan sesuatu yang membuat kita merasa adanya kekurangan dari sesuatu yang semestinya ada.
Gempa bumi merupakan realitas buruk yang dialami manusia. Keburukan tersebut dilihat sebagai suatu kekurangan kebaikan – privatio boni, pada bumi yang semestinya ada tetapi de fakto tidak ada. Di sini kita menjelaskan secara paradoks kenyataan tersebut.
Menurut Leibniz dan Kant, bencana alam merupakan suatu keburukan metafisik – malum metafisicum. Artinya ia melampaui penjelasan fisis dan moral. Ia terletak pada struktur dasar keterbatasan manusia dan dunia.
Allah menciptakan dunia baik adanya. Karena itu ia bersifat baik. Tetapi kekurangan kebaikan pada bumi, seperti gempa di Pariaman membuat kita melihatnya buruk. Keburukan bersifat negatif dan merusakkan. Dengan demikian ia tidak dapat dimengerti dalam dirinya sendiri, tetapi dimengerti bahwa adanya privatio pada kebaikan tersebut.
Karena itu keburukan/gempa bumi bukan unsur integral dalam dunia/alam semesta. Sehingga Allah tidak menciptakan keburukan/bencana alam di dunia, karena keburukan bukan unsur yang positif berada. Tetapi Allah menciptakan dunia sedemikian, sehingga ada kemungkinan yang terjadi pada bumi yaitu privatio kebaikan.
Ketiga, manusia turut berperan mendatangkan bencana alam. Misalnya banjir bandang di Jakarta disebabkan oleh campur tangan manusia. Masalah banjir telah menjadi fenomena yang biasa di Jakarta. Hal ini disebabkan karena menggundulnya hutan-hutan dilereng gunung yang merupakan hulu sungai-sungai besar yang melewati kota Jakarta.
Kini lereng-lerang gunung tersebut dihiasi dengan vila-vila megah milik para pejabat. Akibatnya hutan tidak mampu lagi menahan dan meresap air ketika musim hujan, sehingga terjadilah banjir bandang. Ini yang disebut malum morale.
Gempa bumi/bencana di Pariaman dan di beberapa tempat lainnya membawa pesan bagi kita. Pertama, bencana alam/gempa memberikan pelajaran bagi manusia akan eksistensinya yang rapuh. Keberadaan manusia di dunia hanya sementara, sehingga kita perlu menciptakan relasi yang baik dengan sesama, alam dan Tuhan. Bencana alam juga menjadi semacam terapi kaget bagi manusia yang semakin tidak menghargai nilai-nilai kemanusiaan. Bencana alam mengingatkan kita bahwa kita sama dihadapan kematian, entah itu presiden, gubernur maupun rakyat.
Kedua, saat menunjukkan rasa persaudaraan dan semangat nasionalisme. Bencana alam menghalangi perjuangan individu-individu dalam negara. Melalui bencana, rasa persaudaraan dan belaskasihan di antara sesama dengan sendirinya muncul. Bantuan-bantuan kemanusiaan berupa bahan makanan, obat-obatan, pakaian dengan sendirinya mengalir. Di sinilah rasa persaudaraan kita diwujudkan.
Bencana alam juga melampaui ideologi pelbagai kelompok. Kita tidak lagi memperhatikan agama, suku, etnis, orang suci-orang berdosa, orang beragama-kaum ateis dan sebagainya. Bencana alam membongkar pelbagai sekat yang memisahkan yang satu dengan yang lainnya. Tidak ada lagi pengkotak-kotakan perjuangan. Tetapi kita hanya merasa sebagai bangsa yang senasib dan sepenanggungan. Di sinilah semangat nasionalisme kita ditunjukkan.*
0 komentar:
Posting Komentar