Reshuffle Kabinet dan Pragmatisme Politik

Benny Obon
Ketua News Letter STF Ledalero – Maumere NTT

Membaca konstelasi politik pascapengambilan keputusan hak angket mafia pajak mengingatkan saya akan kisruh partai koalisi pascapengambilan keputusan hak angket bank Century tahun lalu. Waktu itu terjadi saling serang dan menyalahkan antara para politisi partai koalisi yang bermuara pada rencana reshuffle kabinet. Sejumlah elit partai Demokrat waktu itu menginginkan agar presiden SBY mengambil tindakan tegas mendepak partai Golkar, PKS dan PPP dari barisan koalisi. Namun, reshuffle kabinet tidak jadi dilaksanakan.
Kisruh kembali terjadi antarpartai koalisi dan kali ini partai Golkar dan PKS melakukan manuver politik yang berseberangan dengan partai Demokrat seperti yang pernah mereka lakukan sebelumnya. Manuver politik kedua partai tersebut membuat berang sejumlah elit partai Demokrat, tidak ketinggalan presiden SBY sendiri sebagai pemimpin barisan partai koalisi. Saling serang antara politisi pun tidak terhindarkan dan memaksa presiden SBY angkat bicara. Presiden SBY sendiri mengatakan agar para politisi menghentikan sikap saling serang dan saling menyalahkan karena tidak enak ditonton publik.
Konon tindakan partai Golkar dan PKS tersebut membuat presiden SBY menggulirkan wacana reshuffle kabinet. Kedua partai yang membelot dari barisan koalisi tersebut kabarnya akan didepak dari koalisi. Partai Golkar pun siap keluar dari barisan partai koalisi dan dengan tegas mengatakan siap menjadi partai oposisi. Sikap Golkar tersebut tentu mendapat pujian dari banyak pihak, bahwa partai politik harus gentle dalam mengambil sikap. Golkar berusaha meyakinkan publik bahwa mereka teguh dalam pendiriannya untuk keluar dari partai koalisi.
Langkah partai Golkar tersebut membuat SBY memilih alternatif lain pengganti partai tersebut. Untuk itu SBY melakukan tawaran kepada Partai Gerindra untuk bergabung menjadi partai koalisi pasalnya Gerindra mempunyai pilihan sikap yang sama dengan partai Demokrat menolak hak angket mafia pajak. Partai Gerindra pun menerima pinangan Demokrat tersebut dan menyiapkan 3 nama untuk menjadi menteri dalam Kabinet Indonesia Bersatu jilid II.
Namun, belakangan Golkar berbalik dan tetap bertahan dalam barisan partai koalisi. Sikap partai dibawah pimpinan Aburizal Bakrie tersebut benar-benar membingungkan masyarakat dan menunjukkan Golkar tidak mempunyai pilihan politik yang jelas. Untuk meyakinkan publik, Golkar menegaskan akan menjadi partai oposisi, namun sikap Golkar tersebut berbalik di belakang layar ketika Golkar bertemu dengan Demokrat. Golkar benar-benar tidak punya taji. Sikap Golkar yang memilih bertahan dan partai Demokrat yang mempertahankan Golkar tersebut membuat malu partai Gerindra. Partai Demokrat rupanya hanya menjadikan Gerindra sebagai alat untuk mengancam Golkar dan PKS. Partai Golkar sebenarnya takut kehilangan kursi dalam kementerian, sementara Demokrat sendiri takut kehilangan suara di parlemen. Jadi, sikap Golkar dan Demokrat tersebut syarat akan kepentingan.
Kini rencana reshuffle kabinet tidak jadi dilaksanakan. Hemat saya wacana reshuffle kabinet tersebut hanya satu cara presiden SBY untuk menakut-nakuti PKS dan Golkar (serta partai koalisi lainnya). Padahal sejumlah pihak mengharapkan agar presiden SBY mengambil tindakan tegas mengeluarkan kkedua partai tersebut dari keanggotannya sebagai partai koalisi. Inilah realitas politik di negeri kita. Semuanya syarat dengan kalkulasi untung-rugi dan inilah bisnis dalam politik.

Pragmatisme Politik
Sikap partai Golkar, PKS dan Demokrat tersebut sebenarnya hanya mau menunjukkan partai tersebut haus akan kekuasaan. Mereka berkoalisi hanya untuk memperoleh jatah kekuasaan (menteri). Lihat saja, dari 33 kursi kementerian, 17 orang menterinya berasal dari partai koalisi yang terdiri dari partai Demokrat, PKB, PAN, PPP, Golkar dan PKS. Inilah sifat pragmatisme dari partai koalisi.
Koalisi partai yang dipimpin oleh SBY tersebut bersifat sangat cair. Artinya, partai politik anggota koalisi tidak taat dan bisa mempunyai pendapat yang berbeda. Idealnya, antarpartai koalisi ada kesamaan persepsi, ada kesamaan pilihan politik dan kesamaan cara pandang atas suatu masalah, sehingga mereka bersatu dalam mengambil suatu kebijakan. Namun, koalisi partai politik dalam Kabinet Indonesia Bersatu jilid II justru terbalik. Antarpartai koalisi itu sendiri selalu terjadi perbedaan pendapat seperti yang ditunjukkan oleh partai Demokrat, Golkar dan PKS. Fenomena ini menunjukkan koalisi tersebut bersifat pragmatis yang hanya bertujuan untuk memperoleh kekuasaan. Partai politik pun berkoalisi dengan memperhitungkan berapa jatah kursi menteri yang akan didapat. Sikap pragmatisme tersebut membuat pemerintah dan partai politik lupa akan fungsinya melayani masyarakat, tetapi hanya fokus pada usaha membagi-bagi kekuasaan.
Sikap pragmatisme tersebut disebabkan tidak lain karena sistem koalisi yang dibangun oleh pemerintah. Idealnya, koalisi hanya terjadi antarpartai yang mempunyai kemiripan ideologi. Misalnya, koalisi antarpartai politik yang berideologi nasionalis maupun berideologi agama. Dengan itu, koalisi tersebut akan bertahan lama dan akan tetap bersinergi. Ikatan antarpartainya juga sangat kuat dan sulit untuk pecah. Namun, yang terjadi dalam Kabinet Indonesia Bersatu jilid II, koalisi antarpartai politik justru dibangun antara partai politik yang mempunyai ideologi yang berbeda. Akibatnya, antara partai koalisi selalu terjadi perbedaan pilihan politik dan koalisi pun selalu terancam pecah. Inilah model koalisi partai politik yang bersifat pragmatis yang haus akan kekuasaan. Akankah koalisi partai politik pimpinan SBY tetap bertahan? Kita nantikan bersama.*

0 komentar:

POTRET KEKERASAN TERHADAP PEREMPUAN

(Membaca Film ‘Atas Nama’)

Benny Obon
Ketua News Letter STFK Ledalero

Fenomena kekerasan terhadap perempuan marak terjadi di Indonesia. Ia muncul dalam berbagai modus yang berujung pada peminggiran dan pengabaian hak-hak kaum perempuan. Fenomena kekerasan terhadap perempuan di negara kita dilegitimasi oleh Undang-Undang atau Perda yang membuat perempuan menjadi sasaran kekerasan. Jadi, pemerintah melalui Perda-Perda turut mendukung adanya praktik kekerasan. Dan menurut filsuf Iris Marion Young, peminggiran terhadap kaum perempuan dapat dilihat sebagai puncak dari kekerasan.
Potret fenomena kekerasan terhadap kaum perempuan di Indonesia dapat kita saksikan dalam sebuah laporan pemantauan Komnas Perempuan. Komnas Perempuan menurunkan laporannya tersebut dalam bentuk sebuah rekaman visual (film) yang bertajuk “Atas Nama Otonomi Daerah: Pelembagaan Diskriminasi Dalam Tatanan Negara Bangsa”. Laporan tersebut merupakan hasil pemantauan Komnas Perempuan atas tindak kekerasan terhadap kaum perempuan di 16 Kabupaten/Kota yang tersebar di 7 provinsi yaitu Nanggroe Aceh Darussalam, Jawa Barat, Banten, Nusa Tenggara Barat, Sulawesi Selatan, Kalimantan Selatan dan D.I. Yogyakarta. Komnas Perempuan secara khusus membuat pemantauan pada beberapa daerah tersebut karena praktik dan potensi tindak kekerasan terhadap kaum perempuan pada beberapa daerah tersebut sangat tinggi. Tidak berarti bahwa daerah lain bebas dari praktik kekerasan terhadap kaum perempuan.
Laporan pemantauan Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan yang dilakukan pada tahun 2009 tersebut menunjukkan setidaknya ada 154 kebijakan daerah yang diskriminatif. Dari 154 kebijakan daerah tersebut ada pola yang hampir sama di dalamnya yaitu penggunaan simbol-simbol agama dan alasan moralitas sebagai dasar pemikiran dalam merumuskan kebijakan tersebut. Memang bahwa praktik politik pencitraan berbasis agama dan moral di Indonesia dewasa ini sangat kuat dan menjadi langkah yang efektif untuk memenangkan pertarungan politik. Karena itu, pelbagai Perda yang diskriminatif pun lahir di mana-mana. Perda tersebut dikatakan diskriminatif karena kebijakan tersebut melahirkan pembedaan, pembatasan, dan pengabaian, khususnya terhadap perempuan dan kelompok minoritas, sehingga mereka tidak dapat menikmati hak-haknya sebagaimana dijamin oleh konstitusi.
Laporan hasil pemantauan Komnas perempuan tersebut setidaknya mempunyai empat tujuan, pertama, menyebarluaskan temuan pemantauan Komnas Perempuan kepada seluruh masyarakat Indonesia, agar bisa membangkitkan kesadaran kaum perempuan akan adanya praktik kekerasan terhadap mereka. Kedua,membuka wawasan dan kesadaran kaum laki-laki akan sifat kelelakiannya yang membuat ia selalu melihat perempuan sebagai pihak yang dapat dieksploitasi. Ketiga, membangkitkan kesadaran pemerintah untuk mengakomodasi hak-hak kaum perempuan, sehingga dapat menghasilkan Undang-Undang atau Perda yang tidak mendiskriminasi kaum perempuan. Keempat, memelihara dan mengembangkan demokrasi yang merupakan bagian dari cita-cita bangsa Indonesia.
Film “Atas Nama” melukiskan persoalan yang dihadapi Indonesia dalam upaya memastikan setiap warga negara untuk menikmati hak-hak asasinya secara utuh seperti yang dijamin dalam UUD 1945. Persoalan tersebut adalah praktik politik pencitraan berbasis politisasi identitas dalam pertarungan politik dalam sistem otonomi daerah. Persoalan tersebut diangkat melalui pengalaman kaum perempuan yang menjadi korban diskriminasi, pembatasan, penyeragaman, diskriminasi dan kekerasan karena kebijakan negara di tingkat lokal. Pelbagai kebijakan tersebut dibuat atas nama otonomi daerah, kehendak (baca; tirani) mayoritas, ajaran agama dan moralitas.

Tiga Kisah
Film “Atas Nama” mengangkat tiga kisah berbeda yang mempunyai hubungan satu sama lain. Pertama, kasus Tangerang: Peraturan Daerah tentang Larangan Prostitusi. Komnas Perempuan mengangkat pengalaman ibu Lilis Lisdawati seorang karyawan sebuah restoran yang tengah hamil dua bulan. Pada malam hari 27 Februari 2006 Lilis ditangkap oleh petugas saat sedang menunggu kendaraan umum pulang ke rumahnya setelah bekerja di restoran. Ia dituduh melanggar Perda Tangerang No. 8 Tahun 2005 tentang Larangan Pelacuran. Perda tersebut multitafsir dan dapat menimbulkan salah kaprah di lapangan. Pasal 4 ayat 1 Perda tersebut menyebutkan bahwa, “Setiap orang yang sikap atau perilakunya mencurigakan yang menimbulkan anggapan bahwa ia adalah pelacur dilarang berada di jalan-jalan umum, di lapangan-lapangan, …”. Karena itu, para petugas bisa menangkap seseorang (terutama perempuan) hanya karena kecurigaan bahwa dia adalah pekerja seks komersial (PSK). Lilis tetap ditahan dan keluarganya ditolak oleh warga sekitar, ia pun mengalami keguguran dan akhirnya meninggal dalam situasi depresi.
Kedua, kasus Aceh: Peraturan Daerah tentang Busana. Perda Aceh No. 11 Tahun 2002 berisi tentang Pelaksanaan Syariat Islam dalam bidang Aqidah, ibadah dan syariat Islam. Pelaksanaan aturan ini lebih tertuju kepada kaum perempuan. Peraturan ini diikuti oleh razia baik oleh institusi yang diberikan kewenangan yaitu Wilayatul Hisbah, maupun oleh anggota masyarakat. Perempuan yang melanggar dikenai sanksi seperti rambut digunting, disiram dengan cat, celana panjang dirobek dan kartu identitas ditahan. Di kalangan akademisi, ada dosen yang tidak mengizinkan mahasiswa masuk ruangan kuliah jika memakai celana panjang, karena menurut mereka itu bukan busana yang Islami dan bahkan ada bupati yang mengeluarkan larangan bercelana panjang bagi perempuan.
Ketiga, kasus Lombok: Kebijakan Daerah terkait Jemaah Ahmadiyah. Surat Keputusan Bersama (SKB) Menteri Agama, Menteri Dalam Negeri dan Jaksa Agung pada bulan Juni 2008 menjadi pembenar atas segala tindak kekerasan terhadap Jemaah Ahmadiyah di Lombok maupun di daerah lain di Indonesia. Aksi kekerasan terhadap Jemaah Ahmadiyah dilakukan dengan pengusiran, pembakaran dan pengrusakan rumah. Otoritas Lombok Timur mengeluarkan kebijakan yang melarang kegiatan Jemaah Ahmadiyah pada tahun 1983 yang ditegaskan kembali dalam Surat Edaran Bupati tahun 2002 dan Ahmadiyah dituding menodai agama Islam.
Fakta yang diangkat dalam film “Atas Nama” menjadi potret buram implementasi UU No. 32 Tahun 2002 tentang Pemerintahan Daerah. Otonomi daerah memungkinkan pemerintah daerah melahirkan Perda yang berpotensi memunculkan tindak kekeraan terhadap kaum perempuan. Karena itu, melalui film ini kita diajak untuk memikirkan langkah konkret yang dilakukan untuk mewujudkan perlindungan hak-hak konstitusional dan merawat demokrasi yang sedang bersemi di Indonesia.*

0 komentar: