POLITIK DAN MORALITAS

(Catatan atas buku Politik antara Legalitas dan Moralitas)

Benny Obon
Kru KMK & kelompok diskusi Filsafat Ledalero

Politik sejatinya bersifat mulia. Namun, menjadi kotor ketika dijadikan alat untuk merebut kekuasaan. Karena itu politik mesti mengedapankan moralitas agar menjadi wadah yang legal dalam memperoleh kekuasaan.
Politik lahir dari suatu masyarakat yang plural, karena pada dasarnya manusia adalah zoon politicon (Aristoteles) – makhluk sosial. Dan manusia selalu ada bersama, sehingga membutuhkan satu institusi untuk mengikat dan mempersatukan segala idealisme. Untuk itu dibentuklah negara.
Menurut Aristoteles, in se-nya manusia bersifat politik dan perwujudan diri manusia hanya dilakukan dalam negara. Negara dibentuk agar masyarakat memperoleh keadilan dalam berbagai bidang kehidupan bernegara.
Dengan terbentuknya negara, maka setiap orang berada di bawah suatu institusi bersama dalamnya segala diskursus dapat berjalan. Negara sebagai tempat masyarakat menjalankan kehidupan, dalamnya dibutuhkan komunikasi agar kehidupan bernegara dapat berjalan. Komunikasi mengandaikan pluralitas (Hannah Arendt), karena tidak mungkin ada dialog kalau manusia hanya seorang diri. Oleh karena itu, faktum pluralitas tersebut menjadi dasar politik, bahwa aktivitas berpolitik hanya terjadi dalam kehidupan bersama.
Faktum pluralitas dan pluralisme sebagai etika politik merupakan titik tolak dalam politik itu sendiri. Dalam kehidupan bernegara tidak semua komunikasi berjalan lancar. Sangat mungkin terjadi konflik. Konflik merupakan ciri kehidupan dalam masyarakat plural. Karena itu, konflik merupakan hal yang sudah tentu ada dalam kehidupan bernegara. Kehidupan sosial akan berjalan lancar hanya kalau tidak ada konflik. Menurut Habermas, untuk meredam konflik dalam masyarakat yang plural itu perlu ada kesepahaman dasar bersama, sehingga diperlukan komunikasi (teori rasionalitas komunikatif).
Dua teori politik modern sebagai jalan keluar atas realitas pluralitas tersebut. Pertama, Liberalisme Politik John Rawls. Di sini Rawls memberikan jawaban atas faktum pluralitas masyarakat modern. Hal ini mendorong masyarakat modern menciptakan suatu orientasi tentang arti hidup sebagai masyarakat dalam satu negara, sehingga tercipta kehidupan bernegara yang aman dan damai.
Rawls menjelaskan, pluralisme adalah etika politik yang mengajarkan bahwa kemajemukan tidak boleh ditiadakan tetapi harus dipertahankan. Fakta menunjukkan pluralitas itu justru menciptakan konflik sosial politik hingga penghancuran massal. Di sinilah pluralisme itu menciptakan tugas baru bagi politik.
Menurut Rawls, pluralisme merupakan suatu prasyarat bagi masyarakat modern yang tidak mungkin disingkirkan. Pluralitas agama, suku dan kebudayaan hanya bisa dihancurkan dengan kekerasan, intoleransi dan regim totalitarian. Akan tetapi masyarakat modern sadar bahwa kekerasan, intoleransi dan totalitarisme bukanlah gambaran masyarakat yang memiliki peradaban. Karena itu, negara yang menghormati pluralisme adalah negara yang menghargai HAM. Penghormatan terhadap HAM menjadi mungkin hanya dengan adanya pengakuan dan penghormatan terhadap pluralisme.
Kedua, rasionalitas komunikatif Jüergen Habermas. Kehidupan bersama dalam suatu negara selalu berkembang seiring kemajuan berpikir manusia. Globalisasi yang menandai masyarakat era modern merupakan hal yang tidak bisa disangkal.
Globalisasi dalam masyarakat plural berujung pada lahirnya konflik etnis, agama dan budaya, seperti yang kerap terjadi di Indonesia. Konflik-konflik yang merebak di berbagai daerah selama ini tidak lain sebagai akibat dari perbedaan etnis, agama dan budaya. Ketika masing-masing pihak merasa bahwa agama dan budayanya sebagai yang paling benar, maka yang lain harus disingkirkan. Hal ini menjadi sebab konflik yang selalu mengancam kesatuan bangsa. Globalisme yang menandai masyarakat modern akhirnya menunjukkan dirinya sebagai masyarakat kekerasan.
Lalu bagaimana kita menghadapi kenyataan konflik multi aspek itu? Apakah kita masih bertahan dan berpegang pada toleransi yang kita agung-agungkan selama ini?
Menurut Habermas, ajaran toleransi tidak lagi mencukupi untuk memecahkan persoalan-persoalan tersebut. Masyarakat modern memerlukan sebuah etika yang mesti bersifat universal. Untuk itu diperlukan kesepahaman dasar bersama yang hanya bisa dicapai melalui komunikasi. Karena itu, Habermas menawarkan teori rasionalitas komunikatif sebagai jawaban atasnya. Rasionalitas komunikatif berorientasi pada saling pemahaman.
Rasionalitas komunikatif akan menghasilkan konsensus. Bahwa masyarakat perlu berdiskusi dan berdebat untuk mencapai suatu konsensus bersama. Segala norma, aturan-aturan dan tata kehidupan bersama dalam negara harus melalui diskursus. Diskursus bukan bermaksud menyeragamkan segala perbedaan yang ada, melainkan untuk mencapai suatu konsensus bersama agar setiap perbedaan tidak menjadi benih munculnya konflik. Rasionalitas komunikatif itu sendiri bersifat formal dan prosedural karena hanya membangun suatu hubungan dialektis antara universalitas dan partikularitas, antara absolutas dan relativitas budaya.
Melalui teorinya tersebut Habermas menjelaskan bahwa agama bisa berdialog dengan sekularisasi untuk mengatasi konflik antara budaya, agama dan ideologi untuk menciptakan perdamaian global. Menurutnya ada dua kemungkinan yang terjadi di sini, Pertama, agama dalam masyarakat modern akan lenyap dan posisinya akan digantikan oleh sains dan ideologi kemajuan masyarakat modern itu sendiri.
Kedua, sekularisasi dan modernitas dianggap sebagai musuh agama karena ia telah melahirkan kejahatan-kejahatan moral. Para pelaku teroris 11 September 2001 bertolak dari pemahaman seperti ini tentang sekularisasi dan ingin membangun kembali moralitas agama dengan kekerasan. Karena itu, Habermas menganjurkan sebuah jalan tengah yang ia sebut common sense yang rasional dan demokratis. Artinya, iman yang terungkap dalam agama mesti diterjemahkan dalam bahasa ilmu sekular. Dengan demikian iman terbuka terhadap setiap bentuk analisis kritis-rasional. Habermas tidak menghendaki penyingkiran makna religius yang potensial secara sekuler, tetapi coba menerjemahkannya ke dalam konsep modern.
Berbagai problem seperti kemiskinan global, ketidakadilan dan kriminalitas transnasional merupakan sisi gelap globalisasi. Untuk menjawab problem-problem tersebut kita membutuhkan HAM yang hanya bisa didiskursuskan dalam masyarakat diskursus. Kalau tidak, maka konsep HAM yang lahir dari konteks sejarah Eropa sulit diuniversalkan, karena bagaimanapun setiap masyarakat memiliki pandangan moral dan hukum sendiri. Dalam tataran ini HAM dapat dilihat dari dua sisi. Pertama, HAM sebagai moral. Artinya konsep HAM itu hanyalah kewajiban moral untuk mengakui adanya persamaan hak setiap pribadi dengan berpedoman pada asas timbal-balik.
Kedua, HAM sebagai hukum. Artinya konsep HAM itu pertama-tama diratifikasi oleh suatu negara kemudian baru dirumuskan penerapan dan pelaksanaannya dalam bahasa hukum positif. Itu berarti, HAM dijalankan tidak lagi hanya berdasarkan asas timbal-balik tetapi berdasarkan peraturan hukum positif dengan segala sanksi hukumnya. Dalam positivisasi HAM ini terdapat nilai partikular HAM karena hukum positif itu hanya berlaku untuk suatu negara tertentu.
Dalam praktiknya, HAM sering dilanggar. Dimana-mana terjadi kasus pelanggaran HAM. Misalnya peristiwa Mei 1998. Pelanggaran HAM kebebasan agama juga sering terjadi dalam masyarakat yang tidak begitu tegas memisahkan agama dan negara. Misalnya, kasus Ahmadiyah.
Pluralisme berbicara tentang faktum pluralitas dalam negara dan sifat normatif fakta pluralitas tersebut. Kita mengharapkan agar realitas pluralitas tetap eksis dan mesti dilihat sebagai bagian dari yang lain dalam kebersamaan.*

0 komentar:

Kekerasan Agama Tanda Kecerdasan Sosial Lemah

Benny Obon
Ketua News Letter STFK Ledalero

Kekerasan beragama kembali terjadi di Indonesia. Kali ini yang menjadi sasarannya adalah Jemaah Ahmadiyah di Cikeusik – Pandeglang dan gereja di Temanggung. Serangan di Cikeusik menewaskan 3 orang. Aksi main hakim sendiri tersebut menjadi tontonan yang memuakkan bagi seluruh masyarakat Indonesia.
Penyerangan terhadap kelompok umat beragama bukanlah hal yang baru di negeri yang mengakui diri melindungi warga negaranya ini dengan jaminan konstitusional. Aksi penyerangan tersebut merupakan tindakan kekerasan yang sepatutnya tidak perlu terjadi seandainya masyarakat Indonesia tahu menghargai martabat dan eksistensi manusia. Menghargai martabat manusia melampaui sekat baik agama, suku maupun ras. Artinya, kita menghargai manusia bukan karena ia sesama Muslim, Kristen atau sesama etnis Tionghoa misalnya, melainkan karena secara ontologis manusia mempunyai martabat.
Penyerangan terhadap Jemaah Ahmadiyah dan gereja di Temanggung tersebut dapat menunjukkan masyarakat tidak mempunyai hati nurani untuk mengakui eksistensi orang lain. Hal ini membuat masyarakat cenderung berpikir fragmentatif. Cara pandang seperti ini membuat kita tidak mengakui keberadaan yang lain di luar diri atau kelompok kita. Kita hanya melihat agama kita misalnya sebagai satu-satunya sumber kebenaran, karena itu yang lain dimusnahkan.
Mengakui yang lain di luar diri kita berarti memberikan respek dan rasa hormat terhadap orang lain atas cara hidup, mengakui hak-hak dan kewajibannya dan terutama mengakui bahwa mereka sederajad dengan kita serta bagian dari diri kita. Karena itu, kalau kita menghargai diri sendiri berarti kita serentak menghargai orang lain di luar diri kita.
Hemat penulis kekerasan beragama yang terjadi di tanah air selama ini setidaknya menunjukkan beberapa hal. Pertama, ada upaya pembiaran terjadinya kekerasan terhadap umat beragama oleh negara. Negara melalui konstitusi menjamin setiap warganya untuk dapat menjalankan hak-hak dan kewajibannya. Namun, pelbagai tindak kekerasan terhadap agama yang kerap terjadi belakangan ini menunjukkan negara membiarkan kekerasan tersebut ada. Karena itu, tidak heran kalau kita menyaksikan bahwa kekerasan terhadap umat beragama di Indonesia selalu meningkat. Inilah ironi besar di negeri kita.
Surat Keputusan Bersama (SKB) tiga Menteri pada bulan Juni 2008 selalu dijadikan pembenar atas segala tindak kekerasan terhadap Jemaah Ahmadiyah di Indonesia. Karena itu, pemerintah perlu meninjau kembali kalau perlu mencabut SKB tiga Menteri tersebut. Sebenarnya seruan peninjauan kembali SKB tiga Menteri tersebut sudah sering dilakukan oleh pelbagai elemen masyarakat, namun pemerintah tidak menggubrisnya. Rupanya pemerintah menginginkan adanya tindak kekerasan beragama berskala luas. Jalan keluar dengan dialog bukan langkah yang tepat lagi, karena terbukti tidak membawa hasil yang baik bagi toleransi hidup antarumat beragama di Indonesia.
Kedua, lemahnya penangan keamanan dari pihak kepolisian. Kepolisian sebagai lembaga negara bertujuan untuk memberikan perlindungan dan rasa aman terhadap warga negara. Namun, pengalaman tindak kekerasan terhadap Jemaah Ahmadiyah di Cikeusik menunjukkan pihak kepolisian gagal menjadi lembaga yang memberikan perlindungan bagi warga negara. Informasi akan adanya penyerangan terhadap Jemaah Ahmadiyah di Cikeusik sudah diketahui oleh Jemaah Ahmadiyah dan oleh pihak kepolisian. Itu berarti pihak kepolisian sudah tahu akan adanya penyerangan tersebut, sehingga pihak kepolisian bisa mengambil langkah antisipasi pencegahan dini. Namun, pihak kepolisian hanya mengutus beberapa orang polisi, alhasil polisi tidak dapat menahan massa penyerang karena jumlahnya lebih banyak dari polisi. Polisi pun menjadi penonton setia. Pertanyaannya, mengapa pihak kepolisian hanya mengutus beberapa orang anggotanya ke sana? Kalau hanya mau menjadi penonton tanpa ada rasa belaskasihan untuk menolong korban yang ramai-ramai digebuk massa penyerang, polisi tidak perlu ada di sana.
Pihak kepolisian mesti belajar dari kasus penyerangan terhadap umat beragama lain yang pernah terjadi di beberapa daerah selama ini. Massa penyerang selalu lebih besar dan sulit dihentikan karena mereka sudah dibakar amarah. Karena itu, pihak kepolisian perlu mengambil langkah antisipatif dengan mengirim polisi sebanyak mungkin, sehingga tidak terjadi konflik apalagi sampai jatuh korban.
Ketiga, lemahnya kecerdasan sosial (social intelligence) masyarakat Indonesia. Kecerdasan sosial berhubungan dengan aspek sosialitas. Kecerdasan sosial akan teruji kalau kita berani keluar dari diri sendiri untuk bergaul dan hidup bersama orang lain dalam masyarakat. Kecerdasan sosial meniadakan pola pikir ‘kita’ dan ‘mereka’. Pola pikir seperti ini membuat kita menciptakan sekat dalam berrelasi. Orang lain dilihat sebagai ‘mereka’ yang bukan ‘kita’, sehingga orang lain mesti disingkirkan. Karena itu, kita perlu mendekonstruksi pola pikir tersebut dan harus mendefinisikan diri kita sendiri dalam diri orang lain pun sebaliknya, dan bersama membangun Indonesia ke arah yang lebih baik seturut cita-cita UUD 1945.*

0 komentar:

MEMBANGUN NASIONALISME KAUM MUDA

(Bagian 1)

Benny Obon


Tulisan ini disari dari seminar Sumpah Pemuda yang dibawakan oleh Dr. Budi Kleden di STFK Ledalero tentang “Membangun Nasionalisme Kaum Muda”. Dewasa ini nasionalisme dalam diri kaum muda mulai luntur. Nasionalisme yang merupakan perasaan dan sikap yang menunjukkan ikatan seseorang pada bangsanya mulai menghilang oleh globalisasi dan primordialisme. Karena itu, diskursus tentang nasionalisme mesti menjadi tema yang mendesak dibicarakan dalam memperingati Hari Sumpah Pemuda tahun ini. Hal ini penting sebab tampaknya semangat kebangsaan semakin luntur oleh berbagai sikap dan praktik hidup dalam bidang politik, ekonomi, religius, munculnya terorisme, produk perundang-undangan dan konflik antaragama.
Banyak orang mengatakan; perlu berbicara tentang nasionalisme karena memperhatikan perilaku anak muda yang lebih ditentukan oleh pengaruh global daripada pertimbangan kebangsaan. Namun, persoalan kebangsaan atau masalah seputar semangat nasionalisme bukan hanya dapat diamati pada diri kaum muda.
Pertanyaan mendasar seputar nasionalisme adalah apakah masih diperlukan nasionalisme/kebangsaan pada zaman global?
Ada beberapa kenyataan yang menimbulkan pertanyaan serius peran semangat kebangsaan. Pertama, arus pertukaran manusia yang semakin tinggi yang melahirkan manusia-manusia yang tidak jelas lagi orientasi kebangsaannya yang lahir dari orangtua campuran di sebuah negara asing, dibesarkan dalam lingkungan berbudaya baru. Kedua, sejumlah peristiwa bencana alam yang terjadi beberapa waktu terakhir melahirkan solidaritas dunia. Ketiga, aksi-aksi solidaritas tersebut tidak jarang memiliki kekuatan jauh lebih besar daripada solidaritas yang ditunjukkan oleh orang-orang dari bangsa sendiri. Keempat, dunia global adalah dunia pasar. Globalisasi terjadi karena didukung oleh kepentingan ekonomi.
Kelima, kekuatan-kekuatan ekonomi besar mencari sumber daya alam dan sumber tenaga yang banyak dan murah, serentak membutuhkan pasar yang luas dan berdaya beli. Keenam, perekonomian kita tidak berada sepenuhnya dalam tangan dan komando kita. Ketujuh, nilai tukar uang kita ditentukan oleh reaksi pasar dunia terhadap kondisi alam dan politik yang terjadi di negara kita. Kedelapan, agen globalisasi yang penting; agama-agama dunia, penyeragaman ajaran, struktur. Kesembilan, sentralisasi kekuasaan agama, doktrin, politik personalia, terorisme. Kesepuluh, agama bisa menjadi satu kekuatan melawan globalisasi, tetapi dengan menggunakan sarana global dan menggalang kekuatan global.
Kendati menghadapi tantangan serius dari globalisasi, semangat nasionalisme tetap sangat penting dipertahankan. Karena, tercebur ke dalam dunia global tanpa pegangan pada kelompok seperti bangsa, seorang akan hilang, tidak memiliki identitas, karena itu tidak bisa dikenal dan tidak kenal diri. Dan, dunia yang global memerlukan kontribusi dari berbagai elemen, termasuk dari bangsa-bangsa agar globalisasi tidak berakhir dengan penyeragaman yang memiskinkan. Karena itu, kebangsaan menanamkan nilai dan memperkuat rasa percaya diri agar dapat masuk ke dalam dunia global.
Persoalan lain yang membahayakan nasionalisme adalah semangat primordialisme. Beberapa persoalan seperti, otonomi daerah sebagai satu strategi politik untuk memberikan ruang artikulasi kepentingan dan optimalisasi potensi daerah secara mencolok telah turut memenjarakan para warga dalam semangat primordial. Otonomi daerah sama dengan putera daerah. Baik atau buruk di tanah sendiri, dan orang sendiri. Ekstensi pandangan yang terbentuk dalam era globalisasi terbentur pada tendensi untuk hanya mengutamakan orang sendiri.
Secara sangat jelas sikap primordial ditunjukkan dalam momentum pemilihan umum yang menentukan pilihan politik berdasarkan ikatan primordial; satu daerah dan satu agama. Orang tidak mempertimbangkan memilih seseorang untuk apa, melainkan memilih seseorang dari mana.
Tidak jarang, ikatan kita sebagai umat satu agama menjadi sangat dominan, sehingga kita mengabaikan ikatan lain yang juga penting seperti ikatan kebangsaan. ‘Kekitaan’ kita sebagai bangsa ditaklukkan oleh ‘kekamian’ dalam satu kelompok agama; hidup dalam kecurigaan yang laten terhadap sesama warga penganut agama lain.
Karena itu, pelbagai praktik KKN marak terjadi karena mengutamakan diri, keluarga dan kelompoknya di atas kepentingan bangsa. Negara dan bangsa adalah urusan keluarga, sehingga KKN merupakan pengkhianatan terhadap nasionalisme. (bersambung).


MEMBANGUN NASIONALISME KAUM MUDA
(Bagian 2/habis)

Lalu, apakah masih pantas berbicara tentang nasionalisme? Nasionalisme/kebangsaan bukanlah satu bentuk penyembahan berhala terhadap bangsa sendiri. Tidak mengharuskan kita untuk membuat pernyataan right or wrong is my country. Kesalahan bangsa harus diakui dan dikritisi. Nasionalisme tidak boleh menjadi tameng untuk menutup segala kebobrokan dalam negara dan bangsa sendiri.
Kebangsaan adalah tanggung jawab terhadap manusia yang ada di dalam bangsa. Itu berarti sama dengan tanggung jawab terhadap kemanusiaan pada umumnya. Sebab itu, nilai utama yang mesti diletakkan dalam bingkai nasionalisme adalah kemanusiaan. Untuk itu, kaum muda perlu didorong dan diberanikan untuk memiliki kepekaan dan tanggung jawab terhadap kemanusiaan.
Globalisasi bukanlah setan, bukan pula malaikat. Dia pun bukan hanya sesuatu yang tak terelakkan dan karena itu menjadi semacam nasib. Globalisasi mengandung banyak tantangan dan peluang di dalamnya.
Kaum muda perlu terbuka terhadap nilai-nilai baru. Kita tidak hanya menerima kebudayaan baru, tetapi juga melacak nilai-nilai baru yang ada dalam kebudayaan lain. Satu hal yang sangat mendesak di sini adalah persoalan lingkungan hidup. Dalam konteks bangsa kita sendiri terkesan bahwa lingkungan masih belum diagendakan sebagai masalah yang mendesak. Kaum muda yang terlibat dalam arus informasi global dapat menjadi pendorong kesadaran bangsa ke arah yang lebih bertanggung jawab terhadap keutuhan ciptaan.
Kebudayaan kita juga bukan tanpa cela, tetapi juga bukan hanya cela. Kita tidak mendewakan kebudayaan kita, karena masih ada banyak kekurangan dan kepincangan di dalamnya. Sikap mendewakan kebudayaan sendiri bukanlah sikap yang dewasa. Tetapi juga kita tidak menyimpannya dalam museum, sebab dia masih sangat kaya dan bermanfaat bagi kita dan orang lain.
Ada dua keutamaan dan kebijaksanaan dalam kebudayaan dan pengalaman kita sebagai bangsa yang justru sangat diperlukan dunia sekarang ini. Pertama, Semangat kebangsaan yang mengatasi berbagai belenggu primordial dapat menjadikan bangsa ini sekolah pembelajaran hidup dalam toleransi. Kedua, kebijaksanaan hidup yang memperhatikan kedaulatan alam.
Cita-cita nasionalisme tidak bermaksud membuat kita terkurung dalam diri sendiri, melainkan agar kita dapat menempatkan diri sejajar dengan bangsa-bangsa lain (Sutan Takdir Alisjahbana). Karena itu kaum muda mesti menjadi pemain dalam percaturan ekonomi, sosial dan politik global. Untuk itu perlu pendidikan yang bermutu. Kita perlu memenuhi standard pengetahuan, nilai dan ketrampilan global untuk dapat ikut dalam persaingan global.
Karena itu, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan oleh kaum muda dalam membangun nasionalisme, membiasakan diri dengan pola pikir kritis-mandiri dan memperluas sikap kritis mandiri; peka terhadap dan mengenal budaya populer kaum muda; memperkuat masyarakat pada tingkat lokal agar berani melawan penggadaian wilayah dan budaya lokal oleh para pemimpin politik kepada pengusaha; meningkatkan penghargaan terhadap kekayaan budaya sendiri dengan mendalami filosofinya dan memperkenalkannya melalui berbagai media; meningkatkan penghargaan terhadap kekayaan budaya sendiri dengan mendalami filosofinya dan memperkenalkannya melalui berbagai media. (selesai)*

Feature ini dijadikan opini pada harian PK

0 komentar: