Anggota DPR Juga Adalah Rakyat

Benny Obon
Ketua Bidang News Letter STFK Ledalero

Belakangan ini kita disuguhkan dengan beragam berita menarik dari konteks nasional. Salah satu di antaranya adalah soal rencana pembangunan gedung baru DPR. Rencana pembangunan gedung baru DPR tersebut akan menelan biaya yang sangat mahal yaitu Rp 1,6 triliun. Protes dan unjuk rasa menolak rencana tersebut pun bermunculan. Namun, ketua DPR Marzuki Alie menegaskan rencana pembangunan gedung baru DPR tersebut tidak dapat dihentikan (Kompas,3/9/2010).
Rencana pembangunan gedung baru DPR tersebut bergulir di tengah situasi masyarakat kita yang terjerat oleh masalah kemiskinan dan masalah korupsi yang terus merajalela. Anehnya, rencana pembangunan gedung baru DPR yang akan dilengkapi dengan tempat rekreasi, tempat spa, kolam renang dan restoran tersebut muncul dalam situasi kontras seperti ini. Anggota DPR ingin bersukaria di atas kesengsaraan masyarakat. Sungguh bertolak belakang. Kalau dana Rp 1,6 triliun tersebut digunakan untuk memperbaiki kesejahteraan masyarakat Indonesia, maka setidaknya banyak rakyat miskin yang akan tertolong. Pertanyaannya, apakah rencana pembangunan gedung baru DPR tersebut kebutuhan rakyat atau kebutuhan kaum elit (DPR)?
Pada dasarnya, anggota DPR dipilih oleh rakyat dan mereka juga adalah rakyat. Sebagai rakyat anggota DPR semestinya berempati dengan rakyat untuk ikut merasakan situasi yang mereka alami. Anggota DPR mesti berpihak pada kebutuhan rakyat dan berjuang untuk kesejahteraan rakyat. Anggota DPR dipilih oleh rakyat sebagai wakilnya untuk memperjuangkan kesejahteraan rakyat.
Dalam ilmu ekonomi, anggota DPR bisa dilihat sebagai sebuah bank, sebuah tabungan bagi kehidupan masa depan rakyat. Masyarakat menabung kepercayaannya kepada ‘bank DPR’ sebagai penjamin masa tuanya. Simpanan rakyat tersebut adalah investasi untuk kesejahteraan mereka. Sebagai bank, DPR menjadi wadah penampung aspirasi rakyat. Bank atau DPR di sini hanya bisa ada dan hidup karena kepercayaan dari rakyat. Artinya, rakyat menaruh harapan dan kepercayaan pada bank tersebut sehingga mereka bisa menyimpan harta (uang)nya di bank tersebut. Kalau tidak bank tersebut tidak akan berjalan dan akan mati.
Demikian pun halnya dengan anggota DPR. Mereka adalah investasi rakyat, tempat rakyat menggantungkan harapannya. Untuk itu dari DPR dibutuhkan suatu sikap dan komitmen yang kuat untuk menjaga kepercayaan rakyat. Artinya, DPR mesti menyadari bahwa mereka adalah wakil rakyat. Sebagai wakil rakyat mereka mesti membela kepentingan rakyat dan bekerja untuk kesejahteraan rakyat. Anggota DPR mesti tetap berpegang pada akarnya sendiri. Dan akar dari anggota DPR tidak lain adalah rakyat.
Namun, konsep rakyat sebagai akar dari DPR belum mengena untuk DPR kita di Indonesia. Karena, kalau rakyat yang adalah akar sudah digerogoti oleh pelbagai penyakit sosial seperti kemiskinan, maka DPR mesti membantu mencari jalan keluarnya yang terbaik. Namun, lain halnya dengan kita di Indonesia, kendati akar atau rakyat sudah terkena penyakit, anggota DPR tetap berjaya, bahkan mereka berusaha semakin kreatif untuk menciptakan jurang dengan rakyat.
Konsep anggota DPR juga adalah rakyat mengandung pengertian, bahwa di satu sisi mereka adalah lembaga yang mendapat legitimasi hukum yang bertugas untuk menyusun Undang-Undang. DPR di sini dilihat sebagai lembaga legislatif. Dalamnya mereka mempunyai kedudukan dan hak istimewa yang tidak sama dengan rakyat biasa. Produk Undang-Undang yang dihasilkannya pun mempunyai kekuatan hukum dan berlaku untuk seluruh warga negara.
Namun, di sisi lain mereka adalah rakyat biasa yang semestinya ikut merasakan situasi yang dialami oleh rakyat. Anggota DPR mesti memiliki politik empati dan menghadirkan diri di tengah masyarakat untuk mendengar segala aspirasi masyarakat. Misalnya, dalam hubungan dengan rencana pembangunan gedung baru DPR tersebut, anggota DPR mesti mendengarkan suara rakyat. Bahwa kenyataannya rakyat sangat menolaknya. Dengan demikian DPR pun bisa mengikuti suara rakyat tersebut untuk membatalkan rencana pembangunan gedung baru DPR yang serba mewah itu.

Penentu Keputusan
Setidaknya ada dua pihak yang menjadi penentu lolos tidaknya rencana pembangunan gedung baru DPR tersebut, yaitu DPR (legislatif) dan Presiden (eksekutif). DPR sebagai badan legislatif mempunyai hak untuk mengajukan rencana pembangunan gedung baru DPR tersebut. Karena itu, mereka juga bisa menggunakan haknya untuk memutuskan tetap menjalankan rencana tersebut atau tidak. Artinya, DPR mempunyai kewenangan yang sangat besar untuk memutuskan rencana pembangunan gedung baru DPR tersebut. Entahkan mereka mau melanjutkannya di tengah situasi kemiskinan yang membelenggu masyarakat atau tidak.
Selain DPR, Presiden juga bisa membatalkan atau meloloskan rencana pembangunan gedung baru DPR tersebut. Presiden bisa menggunakan kewenangannya untuk meloloskan atau membatalkan rencana tersebut. Kita berharap agar kedua lembaga tersebut benar-benar berpihak kepada rakyat untuk tidak meloloskan rencana tersebut. Dan sambil menanti keputusan akhir soal rencana tersebut, kita/rakyat hendaknya bergandengan tangan menyatakan sikap penolakan kita atas rencana yang tidak pro rakyat tersebut.*

0 komentar:

Adakah Toleransi di Indonesia?

Oleh Benny Obon
sumber Pos Kupang, Selasa, 21 September 2010 | 00:52 WIB
FENOMENA tindakan kekerasan kembali terjadi di negeri kita, tepatnya pada hari Minggu, 12/9/2010. Kalau beberapa tahun lalu yang menjadi korbannya adalah kelompok/sekte Ahmadyah, maka kali ini giliran jemaat Gereja HKBP yang menjadi sasarannya. Kekerasan dan konflik horizontal telah menjadi pemandangan dan tontonan yang biasa di Indonesia. Kekerasan seolah telah menjadi budaya bangsa kita. Ia muncul dengan variasi dan motif yang berbeda dengan sifatnya yang katastropik.

Tindak kekerasan terhadap umat beragama seperti yang dialami oleh sekte Ahmadyah dan jemaat Gereja HKBP Ciketing, Bekasi kerap terjadi di Indonesia. Mulai dari larangan untuk mendirikan rumah ibadat, larangan berkumpul dan mengadakan ibadat. Tindakan kekerasan tersebut melunturkan semangat juang dan cita-cita bangsa Indonesia untuk menciptakan kehidupan bermasyarakat yang harmonis dan bertoleransi.


Pengalaman tindak kekerasan dan konflik horizontal yang terjadi di tanah air selama ini setidaknya dapat menunjukkan rapuhnya bangunan hidup bersama di antara umat beriman. Toleransi antarumat beragama yang selalu didengung-dengungkan selama ini seolah-olah hanya sebuah verbalisme dan formalisme belaka di hadapan kenyataan tindak kekerasan yang kerap terjadi. Lalu, masih adakah toleransi yang tersisa di negara kita?

Fenomena tindak kekerasan yang terjadi di tanah air dapat dilihat sebagai sesuatu yang mengancam dan membahayakan kehidupan bersama. Maka, usaha yang mungkin dipikirkan pada masa yang akan datang bukan soal bagaimana menciptakan kehidupan yang lebih baik dengan memperbaiki aspek ekonomi tetapi bagaimana kita/orang berusaha menghindar menjadi korban kekerasan.

Robert D Kaplan, seorang Senior Fellow pada New American Foundation, dalam bukunya The Coming of Anarchy antara lain menjelaskan bahwa berbagai tindakan kekerasan dan anarki yang terjadi di mana-mana merupakan suatu ancaman terbesar pada kehidupan manusia yang akan datang. Tindak kekerasan bisa dilakukan oleh siapa saja dan dengan motif apa saja.

Tindak kekerasan berakar kuat pada filsafat subyek yang dibangun oleh Descartes. Paradigma Cogito Ergo Sum-nya menempatkan subyek di atas segalanya. Kebenaran pun dilihat hanya ada dan terletak pada subyek yang berpikir. Segala realitas lain di luar diri disangkal. Karena itu seorang/sekelompok orang menjadikan dirinya sebagai satu-satunya sumber kebenaran dan melihat yang lain sebagai yang berbeda dan mesti dilenyapkan. Pola pikir seperti ini, hemat saya, telah merasuki masyarakat Indonesia. Sehingga berbagai fenomena kekerasan marak terjadi. Pola pikir seperti ini menutup kemungkinan pada sebuah diskursus dan membuka peluang ke arah represi dan pemaksaan kehendak terhadap kelompok lain.

Pola pikir yang dibangun oleh filsafat subyek Descartes menegasi segala pluralitas dalam negara. Padahal Hannah Arendt dengan tegas mengatakan bahwa pluralitas merupakan prasyarat bagi tindakan manusia. Bahwa manusia mesti bekerja, berkarya dan bertindak bersama orang lain. Dan, apa pun bentuknya, kekerasan tetap merupakan negasi atas faktum pluralitas.


Kritik Arah Misi Gereja dan Dakwah Islam

Fenomena kekerasan dan ketidakadilan terhadap umat beragama di Indonesia, hemat saya, menunjukkan rapuhnya toleransi dan dialog antaragama. Kalau selama ini senjata toleransi yang dibangun melalui dialog antaragama kurang representan dan kurang memberikan hasil maksimal, maka arah misi/dakwah hendaknya diubah. Menurut saya, dialog antaragama yang dibangun selama ini hanya terjadi pada tataran atas dan kurang menyentuh masyarakat/umat akar rumput. Segala pembicaraan/diskursus yang dihasilkan dalam dialog hanya menjadi pegangan kalangan atas.

Dialog mengandaikan pihak-pihak yang terlibat di dalamnya mempunyai daya rasionalitas yang mendekati setara. Artinya, sama-sama memiliki pemahaman, visi dan misi yang sama. Karena itu dialog hanya terjadi di antara para pemimpin agama. Dialog karena itu bersifat elitis. Segala keputusan yang dihasilkan pun bersifat elitis dan cenderung konseptual.

Kekerasan dan ketidakadilan seperti yang dialami jemaat gereja HKBP tersebut mesti memberikan nilai tersendiri bagi semua umat beragama untuk mengubah haluan misi. Saatnya kita mengubah arah misi/dakwah. Tindak kekerasan dan ketidakadilan tersebut, hemat saya, terjadi karena kurangnya pemahaman akan umat agama lain. Karena itu tugas yang paling mendesak adalah menjadikan umat agama lain 'setengah Kristen dan setengah Islam'. Artinya, misi/dakwah mesti dapat membuat kaum agama lain memahami dan mengerti tentang agamanya (sebagai tujuan internal) dan memahami umat agama lain (sebagai tujuan eksternal). Pengertian dan pemahaman akan satu sama lain tersebut membuat kita saling menghormati dan mencintai sesama umat antaragama. Dengan demikian relasi yang dibangun adalah relasi berdasarkan cinta dan saling pemahaman.

0 komentar: