TERORISME DALAM KACA MATA JÜRGEN HABERMAS

Benny Obon

I. Pengantar
Serangan terhadap menara kembar world Trade Centre (WTC) USA pada 11 September 2001 telah melahirkan format baru hubungan politik dunia. Dunia seakan dikotak-kotakkan atas kaum liberalisme dan kaum fundamentalisme. Kaum liberalisme yang diwakili oleh negara-negara Eropa dan Amerika Serikat mengagung-agungkan kebebasan. Karenanya mereka berusaha menyebarluaskan paham tersebut dalam berbagai bentuk mulai dari bidang politik, ekonomi, pendidikan dan berbagai bidang lainnya. Mereka berpikir bahwa apa yang dihidupi dan dikonsepkan atau dilahirkan di Eropa atau Amerika dapat diterapkan di negara-negara lain (luar Eropa dan Amerika).
Sementara kaum fundamentalisme yang diwakili para teroris tetap berpegang teguh pada nilai-nilai budaya dan tradisi. Karenanya mereka tidak menginginkan atau menaru antipati terhadap berbagai kemajuan (modernitas) yang dimotori oleh negara-negara penganut paham liberal. Sikap resistensi yang kuat pada diri kaum fundamenalis pada gilirannya tidak dapat bertahan dengan berbagai kemajuan dalam berbagai bidang kehidupan baik politik, ekonomi, maupun pendidikan. Karena mereka tidak dapat menghindar dari pengaruh-pengaruhnya.
Berbagai kemajuan yang merupakan ekspansi gaya baru di era modern yang dilakukan oleh negara-negara liberal menimbulkan berbagai ekses. Berbagai persoalan tersebut muncul karena negara-negara liberal menguasai pasar ekonomi yang turut menyeret dan memaksa negara-negara yang belum berkembang untuk mengikuti manuver pasar ekonomi liberal (neoliberalisme ) tersebut.
Negara-negara yang belum siap untuk terjun ke dalam ekonomi liberal tersebut menjadi korban yang memunculkan sikap penolakan atas modernitas. Maka di sini terjadi benturan budaya dan peradaban yang melahirkan konflik-konflik bereskalasi tinggi.
Semakin menguatnya dominasi negara dunia pertama dalam bidang ekonomi, maka, negara-negara dalam dunia ketiga merasa teralienasi karena tidak mampu masuk dalam persaingan global seperti itu. Proses modernisasi ekonomi tersebut mengakibatkan tercabutnya masyarakat pada negara-negara dunia ketiga dari akar-akar identitas lokal yang telah ditanam sejak lama. Ketercabutan tersebut menyisakan ruang kosong yang kemudian diisi oleh identitas agama yang nyata dalam gerakan berlabelkan fundamentalisme.
Benturan peradaban tersebut berpuncak pada peristiwa penyerangan terhadap menara kembar WTC. Apa yang terlihat jelas bagi teroris (jihad) bahwa sebelum 11 September, yang menanggung akibat ekonomi dari sebuan anarki internasional yang tidak demokratis dan berada di luar jangkauan kedaulatan demokrasi adalah bahwa sementara banyak orang di dunia pertama mendapat keuntungan dari pasar bebas dalam bentuk kapital, tenaga kerja dan produk, pasar-pasar anarkis ini membiarkan sebagaian besar rakyat di dunia ketiga tidak terlindungi. Persoalan inilah yang menciptakan jurang antara dunia pertama (negara-negara Eropa dan Amerika) dengan negara-negara dunia ketiga (khususnya negara yang melahirkan terorisme). Dapat dikatakan bahwa penyerangan 11 September 2001 merupakan puncak kebencian para teroris terhadap Amerika.
Para teroris yang digawangi oleh Osama Bid Laden bertanggung jawab atas serangan tersebut dan serangan tersebut merupakan sebuah perwujudan ideologi eksplisit atas penolakan terhadap modernits dan sekularitas.
Peristiwa penyerangan ini meminta perhatian banyak pihak. Tidak sedikit diskusi terjadi untuk membahas penyebab serangan tersebut ataupun untuk meminta pendapat terhadap serangan bereskalasi tinggi tersebut. Hal tersebut juga tidak luput dari perhatian seorang filsuf politik besar abad ini, Juergen habermas.

2. Pemahaman Dasar tentang Terorisme
2.1. Pengantar
Di tengah hiruk pikuk kehidupan era globalisasi, diam-diam sebuah istilah mencuat ke permukaan dan menjelma bagai matahari yang selalu bersinar yang tidak dapat dihentikan. Istilah baru tersebut adalah terorisme. Istilah tersebut sontak menarik perhatian semua negara di dunia karena ekses yang ditimbulkannya begitu besar. Terorisme seakan menjadi momok globalisasi yang menakutkan. Ia laksana monster yang siap menerkam siapa saja yang diinginkannya.
Teror telah hadir dan menjelma dalam kehidupan masyarakat dan muncul sebagai virus ganas yang menakutkan yang sewaktu-waktu dan tidak dapat diduga bisa menjelmakan terjadinya prahara nasional dan global termasuk mewujudkan tragedi atas Hak Asasi Manusia (HAM). Begitu besarnya ekses yang ditimbulkan oleh terorisme, maka sangatlah perlu untuk memahami konsep dasar tentang terorisme. Terorisme erat kaitannya dengan jihad. Menurut ajaran kaum Muslim Jihad merupakan salah satu kewajiban pokok dalam keimanan Islam yang diembankan Tuhan pad setiap pundak kaum Muslim.

2.2. Arti
Kata teroris (pelaku) dan terorisme (aksi) berasal dari kata Latin terrere yang berarti membuat gemetar atau menggetarkan. Kata teror juga bisa menimbulkan kengerian. Pada dasarnya istilah terorisme merupakan sebuah konsep yang memiliki konotasi sensitif karena terorisme menyebabkan terjadinya pembunuhan dan penyengsaraan terhadap orang-orang yang tidak berdosa.
Pengertian terorisme untuk pertama kali dibahas dalam European Convention on the Suppression of Terrorism (ECST) di Eropa tahun 1977 terjadi perluasan paradigma arti dari Crimes againts State menjadi Crimes against Humanity. Crimes againts Humanity meliputi tindak pidana untuk menciptakan suatu keadaan yang mengakibatkan individu, golongan dan masyarakat umum ada dalam suasana teror.
2.2.1. Menurut Evans dan Murphy
Menurut mereka terorisme adalah penggunaan kekerasan yang disengaja, atau ancaman penggunaan kekerasan oleh sekelompok pelaku yang diarahkan pada sasaran-sasaran yang dimiliki atau dibawah tanggung jawab pihak yang diserang. Hal ini dimaksudkan untuk mengkomunikasikan kepada pihak yang diserang adanya ancaman atau tindakan yang lebih kejam lagi dimasa mendatang.

2.2.2. Menurut beberapa Lembaga
2.2.2.1. Us Central Inteligence Agency (CIA)
Central Inteligence Agency (CIA) mendefinisikan terorisme internasional adalah terorisme yang dilakukan dengan dukungan pemerintah atau organisasi asing dan atau diarahkan untuk melawan negara, lembaga atau pemerintah asing.
2.2.2.2. US Federal Bureau of Investigation (FBI)
Terorisme adalah penggunaan kekerasan tidak sah atau kekerasan atas seseorang atau harta untuk mengintimidasi sebuah pemerintah, penduduk sipil elemen-elemennya untuk mencapai tujuan sosial politik.
2.2.2.3. US Departemens of State and Defense
Terorisme adalah kekerasan bermotif politik dan dilakukan oleh agen negara atau sekelompok subnasional terhadap sasaran kelompok non kombatan. Biasanya dengan maksud untuk mempengaruhi audien. Terorisme internasional adalah terorisme yang melibatkan warga negara atau wilayah lebih dari satu negara.
2.2.2.4. Convention of the Organisation of Islamic Conference on Combating International Terorism, 1999
Terorisme adalah tindakan kekerasan atau ancaman tindakan kekerasan terlepas dari motif atau niat yang ada untuk menjalankan rencana tindak kejahatan dari motif atau niat yang ada untuk menjalakan rencana tindak kejahatan individu atau kolektif dengan tujuan menteror orang lain atau mangancam untuk mencelakakan mereka atau mengancam kehidupan, kehormatan, kebebasan, keamanan dan hak mereka atau mengeksploitasi lingkungan atau fasilitas atau harta benda pribadi atau publik, atau menguasainya dan merampasnya, membahayakan sumber nasional, atau fasilitas internasional, atau mengancam stabilitas, integritas teritorial, kesatuan politik kedaulatan negara-negara yang merdeka.
2.2.2.5. Terrorism Act, United Kingdom
Terorisme mengandung arti sebagai penggunaan atau ancaman tindakan dengan ciri-ciri; aksi yang melibatkan kekerasan serius terhadap seseorang, kerugian berat terhadap harta benda, membahayakan hidup seseorang, bukan kehidupan orang yang melakukan tindakan, menciptakan risiko serius bagi kesehatan atau keselamtan publik atau bagi orang tertentu yang didesain secara serius untuk campur tangan atau mengganggu sistem elektronik. Terorisme juga berarti penggunaan atau ancaman yang dibuat dengan tujuan politik, agama, atau ideologi.

3. Terorisme dan Juergen Habermas
Pascatragedi World Trade Center 11 September 2001, stigma terorisme kental disematkan pemerintah AS kepada jaringan Al Qaidah dengan Usama bin Laden sebagai tersangka utama tanpa melalui peradilan internasional. Presiden Amerika George W Bush pun bersama negara-negara Eropa menyerukan perang terhadap terorisme. Sementara Jürgen Habermas merasa Gundah dengan maklumat tersebut. Habermas menilai seruan perang terhadap terorisme salah, baik secara normatif maupun pragmatis. Ia merekonstruksi muatan politis terorisme sebagai suatu fungsi realisme tujuan-tujuannya sedemikian sehingga hanya secara retrospektif terorisme memperoleh muatan politisnya.
Menurut Habermas seruan perang terhadap teroris merupakan suatu kekeliruan besar secara normatif dan pragmatis. Secara normatif ia mengangkat penjahat tersebut ke status musuh perang dan secara pragmatis kita tidak dapat melancarkan perang terhadap sebuah jaringan jika istilah perang harus mempertahankan suatu arti tertentu yang mana pun.
Aksi teroris ke WTC yang menewaskan banyak orang menjadi tanda lahirnya masalah sosial yang baru di era modern. Di tengah kemajuan tekhnologi dan ilmu pengetahuan suatu fundamentalisme juga tumbuh. Dengan demikian keduanya ada berdampingan. Modernitas yang ditandai dengan kemajuan dalam bidang tekhnologi dan ilmu pengetahuan membawa relasi yang buruk dengan kaum fundamentalisme. Ketiadaan diskursus antara keduanya menimbulkan distorsi komunikasi yang berpuncak pada tragedi tersebut. Jürgen Habermas berpendapat, bahwa seluruh permasalahan sosial yang timbul diakibatkan oleh satu sebab yang sebenarnya sangat sederhana, yakni karena distorsi komunikasi, atau karena terjadinya “gangguan” terhadap proses komunikasi, sehingga yang tercipta bukanlah konsensus ataupun saling pengertian, melainkan prasangka dan kesalahpahaman. Oleh karena itu, solusi dari berbagai bentuk problem sosial adalah dengan menciptakan proses komunikasi yang bebas distorsi.
Peristiwa 11 September 2001 juga menunjukkan berakhirnya toleransi yang sejak lama diagung-agungkan. Dengan itu juga toleransi dalam agama-agama tidak berjalan. Menurut Habermas, paradigma ketidaktoleransian dalam agama yang terinkarnasi dalam fundamentalisme merupakan suatu fenomena yang secara eksklusif bersifat modern.
Aksi terorisme pada tanggal 11 September 2001 merupakan salah satu ungkapan nyata ketegangan antara iman dan pengetahuan, Glauben und Wissen, sebuah masyarakat atau dunia sekular. Iman dan Ilmu pengetahuan, agama dan sekularisasi seolah-olah merupakan dua kekuatan yang tidak pernah bertemu dan saling menghilangkan. Hal ini lahir dari pemahaman yang salah tentang sekularisasi. Habermas melihat dua model yang keliru dalam pemahaman tentang sekularisasi.
Model pertama ia namakan Verdrängungsmodell. Menurut paradigma ini, agama dalam masyarakat modern akan lenyap dan posisinya akan digantikan oleh ilmu pengetahuan dan ideologi kemajuan masyarakat modern. Model yang kedua dikenal sebagai Enteignungsmodell. Di sini, sekularisasi dan modernitas dianggap sebagai musuh agama kerena ia telah melahirkan kejahatan-kejahatan moral. Para pelaku aksi teroris 11 September 2001 bertolak dari pemahaman seperti ini tentang sekularisasi dan ingin membangun kembali “moralitas” agama dengan jalan kekerasan.
Cara membangun kembali citra moralitas yang hilang dalam diri kaum fundamentalis dengan jalan kekerasan bagaimanapun tidak dapat dibenarkan. Penggunaan cara demikian melanggar Hak Asasi Manusia (HAM), karena hak-hak asasi manusia tidak dapat dicabut dalam arti seseorang tidak dapat diberhentikan menjadi manusia. Tidak ada hukum universal yang melegalkan pembunuhan terhadap orang lain. Orang lain merupakan persona yang mesti dihargai bukan karena ia makhluk rasional melainkan juga karena mempunyai kodratnya yang mesti dihargai. Habermas menjelaskan bahwa tidak ada satu hal atau alasan apapun yang dapat melegalkan seseorang atau kita untuk memberikan kelonggaran untuk membunuh atau membuat orang lain menderita.
Aksi para teroris ke menara kembar yang merupakan lambang kebanggaan rakyat Amerika merupakan suatu aksi yang bersifat baru. Selain sebagai tindakan bunuh diri, aksi tersebut juga menjadikan para sanderanya sebagai senjata hidup. Hal yang baru dari serangan tersebut adalah bahwa kekuatan simbolis yang menjadi target-target para teroris. Mereka tidak hanya merobohkan bangunan World Trade Centre, tetapi juga menghancurkan sebuah ikon dalam gambaran rumah tangga bangsa Amerika. Selain itu kehadiran media-media juga menjadikan serangan itu sesuatu yang baru yang mentransformasikan kejadian lokal secara serempak manjadi peristiwa global. Di sini juga para teroris mempunyai ciri khas baru yaitu orang tidak pernah tahu siapa musuhnya. Osama Bin Laden sebagai pribadi mungkin hanya sebagai pemeran pengganti.
Serangan ke WTC juga merupakan hal yang baru, karena berbeda dari cara biasa yang sering digunakan oleh para Mujahidin. Cara lama kaum Mujahidin ini berupa bom syahid yang efektif dalam menghadapi bangsa Yahudi. Serangan ke WTC sebenarnya tidak terjadi seandainya pemerintah Amerika memiliki early warning system – sistem peringatan/keamanan dini dan informasi yang memadai. Dan, berbagai spekulasi mengenai berbagai macam teroris hanya menunjukkan ketidakmampuan pemerintah untuk menentukan besarnya bahaya. Orang tidak pernah tahu kalau akan ada bahaya. Sementara Osama Bin Laden terus-menerus memberi peringatan kepada Amerika, tetapi tidak pernah didengarkan. Imam Samudra mengutip pernyataan Osama Bin Laden:
“Amerika diberi peringatan untuk kesekian kalinya, tetapi mereka tidak mengindahkan peringatan tersebut. Maka dengan taufik Allah, Mujahidin berhasil melancarkan operasi istisyad yang gemilang. Dalam operasi itu kapal tempur penghancur milik Amerika Serikat USS Cole berhasil dihajar oleh kaum Mujahidin di laut ‘Adn. Ini merupakan tamparan yang amat menyakitkan bagi tentara Amerika.

Ketidakpedulian akan peringatan Osama Bin Laden tersebut menimbulkan kerugian yang besar bagi bangsa Amerika, baik berupa kerugian fisik maupun psikologis. Serangan ke WTC menimbulkan suatu trauma religius bagi bangsa Amerika. Artinya bangsa Amerika mempunyai ketakutan tersendiri terhadap agama Islam. Fobia terhadap agama Islam tidak terlepas dari sepak terjang kaum teroris yang adalah kaum fundamentalis dari agama Islam itu sendiri. Oleh karena itu teroris erat kaitannya dengan Islam. Fundamentalisme yang berkiprah dengan bendera kekerasan juga turut membawa ketakutan terhadap dunia luas, serentak merusak citra agama Islam di mata dunia.
Fundamentalisme yang mencirikan gerakan kaum teroris tidak mengenal kompromi. Hal ini disebabkan karena suatu ketakutan akan tercabutnya gaya-gaya hidup kaum tradisional. Ketakutan tersebut tidak lain akibat dari ekspansi investasi asing yang langsung yang didominasi oleh negara-negara Eropa. Dengan posisi Amerika sebagai garda depan dalam pembangunan ekonomi, politik, teknologi, dan kemiliteran dilihat sebagai suatu pelecehan terhadap kepercayaan diri negara-negara Arab. Sementara negara-negara Arab diam-diam menjadikan Amerika sebagai model yang diam-diam dikagumi. Sikap defensif ini juga merupakan cara untuk menarik diri dari sumber-sumber spiritual yang menggerakkkan satu potensi yang tampaknya sudah menghilang darinya dalam melawan kekuatan sekularisasi Barat. Rasa ketarcabutan ini membangkitkan semangat untuk melawan dengan cara-cara yang tidak manusiawi.
Fundamentalisme yang berkembang dalam agam Islam dewasa ini mengandung muatan politis. Bahwa sejumlah orang yang menjadi pahlawan dalam perang syahid melawan Barat merupakan orang-orang nasionalis sekuler. Ketidakpuasan akan rezim penguasa membawa mereka pada suatu sikap yang radikal (fundamental).
Fundamentalisme dengan jalan kekerasan seperti ini pernah terjadi di Mesir. Anwar Sadat yang pada saat itu menjadi Presiden Mesir dibunuh oleh empat orang anggota sebuah kelompok rahasia fundamentalis Islam. Anwar Sadat mempraktikan sistem hukum, sistem pengadilan, masyarakat dan kebudayaan Barat dalam negara. Oleh karena itu ia dianggap kafir dan dibunuh. Di sini mereka bertindak menurut hukum Islam (sebagai sesuatu yang baik) untuk membunuh Anwar. Tindakan tersebut merupakan kewajiban bagi setiap kaum Muslim sesuai hukum di mana setiap kaum muslim meninggalkan yang tidak baik dan melakukan yang baik. Dalam pembagian hukum Syar’iyyah hukum ini adalah hukum yang pertama yaitu Wajib.
Fundamentalisme Islam yang nyata dalam tindakan jihad dan teror tidak hanya dilakukan terhadap kalangan Barat (bukan Islam), tetapi juga untuk kalangan Islam sendiri. Misalnya, peristiwa pembunuhan terhadap Anwar Sadat tersebut. Inilah yang disebut melawan musuh dalam Islam sendiri, dan inilah yang pada masa modern dikembangkan menjadi doktrin mengenai perang pemberontakan dan revolusioner sebagai suatu kewajiban keagamaan dan suatu bentuk jihad. Hal ini tidak bisa dipisahkan dari akarnya pada masa lampau.
Terorisme nasional seperti ini berkembang dan memancar keluar ke dunia luas (global). Teror global tersebut mencapai puncaknya dalam serangan 11 September. Teror global ini memiliki sifat khusus pemberontakan tanpa daya melawan musuh yang tidak dapat dikalahkan secara pragmatis. Dampak teror seperti ini adalah menimbulkan ketakutan bagi masyarakat dan juga pemerintah.

4. Penutup
Sepak terjang para teroris tidak dapat dibaca/diramal secara akurat. Ia tampil dalam berbagai wujud yang menakutkan. Ia muncul bagai virus yang cepat tersebar dan sulit terdeteksi. Peristiwa penyerangan 11 September 2001 ke WTC merupakan suatu prestasi terbesar kaum teroris, di mana mereka tidak hanya meruntuhkan simbol dominasi ekonomi Amerika, tetapi juga meruntuhkan ikon gambaran rumah tangga Amerika.
Peristiwa penyerangan tersebut juga sekaligus menjadi puncak benturan peradaban antara Barat dan Islam. Barat yang selalu menginvasi dunia Arab dengan berbagai cara baik ekonomi, maupun politik dianggap sebagai sesuatu yang dapat mengancam. Dunia Arab pun menaruh sikap defensif terhadap sepak terjang Barat tersebut. Sikap defensif ini sebagai satu strategi agar tidak tercabut dari akar-akar spiritualitasnya.
Jürgen Habermas berpendapat, bahwa seluruh permasalahan sosial yang timbul atas nama Teroris tidak lain disebabkan oleh distorsi komunikasi, atau karena terjadinya “gangguan” terhadap proses komunikasi, sehingga yang tercipta bukanlah konsensus ataupun kesaling pengertian, melainkan prasangka dan kesalahpahaman. Kesalahpahaman ini tidak bisa diselesaikan melalui diskursus, karena diskursus tidak dapat terjadi dengan para teroris.



Kepustakaan:
Borradori, Giovanna. Filsafat Dalam Masa Teror Dialog dengan Juergen Habermas dan Jacques Derrida. Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2003.
Ceufin, Frans, SVD (ed.). Hak-Hak Asasi Manusia Pendasaran Filsafat Hukum dan Politik. Maumere: Ledalero, 2007.
Lewis, Bernard. Bahasa Politik Islam.Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama: 1994.
P. Huntington, Samuel. Benturan Antarperadaban dan Masa Depan Politik Dunia. Yogyakarta: Qalam, 2003.
R. Barber, Benjamin. Jihad Vs Mc World. Surabaya: Pustaka Promethea, 2002.
Samudra, Imam. Aku Melawan Teroris. Solo: Jazera, 2004.
Wahid, Abdul, et.al. Kejahatan Terorisme Perspektif Agama, HAM dan Hukum. Bandung: Refika Aditama, 2004.
Wibowo, I. Dan Wahono, Francis. (ed.). Neoliberalisme. Yogyakarta: Cindelaras Pustaka Rakyat Cerdas, 2003.
Obon, Bennediktus. “Mengenal Islam Secara Kaffah dan Sejarah Perkembangannya”. Karya Ilmiah, Seminari Menengah Yohanes Paulus II Labuan Bajo, 2005.
http://rezaantonius.multiply.com/journal/item/41, diakses pada tanggal 21 Maret 2009 pukul 10.00 am.
Otto Gusti, dalam http://islamlib.com/id/artikel/agama-ilmu-pengetahuan-dan-commonsense/, diakses pada tanggal 21 Maret 2009 pukul 10.00 am.

0 komentar: