Hari Minggu Misi

SEMINARI TINGGI LEDALERO RAYAKAN
HARI MINGGU MISI SEDUNIA DI KEWAPANTE
Benny Obon
Mahasiswa STF Ledalero

Pada hari Minggu tanggal 19 Oktober yang lalu komunitas Seminari Tinggi St. Paulus Ledalero merayakan hari Minggu Misi sedunia yang ke-82 bersama umat paroki Kewapante. Kegiatan ini dilaksanakan sebagai bukti kepedulian pihak Seminari Ledalero akan realitas misi dewasa ini. Kegiatan misi bukan hanya menjadi tanggung jawab para biarawan/ti melainkan menjadi tugas yang fundamental bagi seluruh umat katolik yang sudah dibaptis. Setiap umat yang dibaptis merupakan pengemban tanggung jawab akan misi mewartakan Injil.
Umat kita umumnya masih berada pada tahap pemikiran bahwa kegiatan misi hanya menjadi tugas para misionaris dan misi itu sendiri hanya berasal dari para pastor Eropa/Amerika. Oleh sebab itu mereka hanya menerima apa yang diwartakan oleh para misionaris tersebut. Kini jumlah para misionaris asing di derah kita sudah berkurang dan inilah saatnya tugas itu diserahkan kepada kita.
Kehadiran para Frater dan suster dari beberapa biara di tengah umat paroki Kewapante mau mendekatkan misi kepada umat serentak mendekatkan umat kepada misi dalam mewartakan Injil. Sub tema “Celakalah aku jika tidak mewartakan Injil (1 Kor 9:16)” merupakan penjabaran dari tema umum hari Minggu misi sedunia (Menjadi Pelayan dan Rasul Yesus Kristus). Sub tema ini sengaja diangkat untuk menyadari umat bahwa kegiatan misi sebenarnya tidak terlepas dari kehidupan umat sehari-hari kemana saja mereka pergi.
Tugas misi selalu ada di pundak umat karena misi adalah panggilan kodrati manusia. Ini mau menunjukkan bahwa kita semua adalah misionaris zaman ini. Hari Minggu misi menjadi kesempatan bagi umat untuk mengetahui dan sadar bahwa kita dipanggil untuk menjadi pelayan dan rasul.
Kegiatan misi menjadi panggilan kodrati karena merupakan sesuatu yang dasariah/fundamental yang selalu melekat dan menyatu dalam diri kita. Itu berarti kita tidak dapat disebut sebagai orang Kristen kalau tidak mewartakan Injil karena kita dibaptis untuk menjadi misionaris. Tugas kerasulan bukan hanya menjadi tugas St. Paulus, tetapi merupakan tugas seluruh umat dan kesadaran akan tugas kerasulan sudah ada sejak para Rasul.
Para Frater yang mengiringi koor dalam perayanaan misa tersebut memberi nuansa semangat baru dan menggugah kesadaran umat akan realitas misi. Umat yang hadir dalam ekaristi tersebut juga turut menikmati hasil pameran para Frater dan suster. Umat merasa kagum dan tertarik akan beberapa pameran tentang karya misi beberapa para misionaris di luar negeri.
Mereka juga dapat membeli peralatan rohani yang disiapkan pada pameren tersebut dengan harga yang murah. Umat menikmati hasil pameran sambil menikmati lagu-lagu hiburan yang dibawakan oleh kelompok acoustic all Ledalero. Kegiatan ini diharapkan dapat menggugah kesadaran umat untuk menjadikan dirinya sebagai misionaris baru di tengah dunia yang semakin mengglobal.

0 komentar:

Harapan untuk Pilgub NTT

PILGUB: MOMENT MENCARI FIGUR PEMBAHARU

Benny Obon
Belajar pada STF Ledalero-anggota KMKL
Anggota KMK Ledalero

Tahun ini daerah kita akan mengalami moment penting yaitu pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah (gubernur dan wakil gubernur) secara langsung. Tema-tema seputar calon dan visi-misi pasangan calon pun menjadi bahan perbincangan di masyarakat. Pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah secara langsung adalah suatu hal yang baru, dalam mana rakyat sendiri yang menentukan secara langsung siapa yang dianggap pantas untuk menjadi pemimpin.
Undang-Undang No. 22 tahun 2004 menegaskan legitimasi hukum atas pemilihan kepala daerah secara langsung. Kini perwujudan demokrasi kerakyatan dalam skala lokal tertuang melalui proses pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah secara langsung oleh rakyat. Pemilihan kepala daerah secara langsung ini merupakan satu indikator perubahan sistem ketatanegaraan dan tanda kemajuan sistem demokrasi di negeri kita. Pemilihan kepala daerah secara langsung merupakan suatu moment yang tepat bagi rakyat untuk mencari figur pembaharu yang akan membawa daerah kita bebas dari masalah korupsi dan penyakit kemiskinan yang sudah mewabah. Rakyat menjadi kunci kesuksesan para calon.
Hal ini sesuai dengan pendapat John Locke (1632-1704) yang melihat rakyat sebagai mahkota yang memegang kekuasaan tertinggi dalam negara. Dan bagi Locke pemilu merupakan dasar institusional untuk menciptakan akuntabilitas mereka yang memimpin. Dasar akuntabilitas inilah yang diharapkan dari seorang figur pembaharu. Dan sesungguhnya pemilihan kepala daerah secara langsung lebih luas dilihat sebagai sarana pencapaian rasionalitas politik kerakyatan. Sebuah sarana pencapaian yang menandakan perluasan horizon pemahaman dan pemaknaan rakyat akan politik tidak lagi dilihat sebagai instrumen di tangan penguasa dalam mencari dukungan dan mempertahankan status quo. Rasionalitas politik yang dicapai melalui pemilihan kepala daerah secara langsung merupakan aktualisasi pelimpahan kedaulatan rakyat.
Lahirnya banyak kontestan pilkadal NTT dengan berbagai program yang berorientasi populis sering membingungkan rakyat, apalagi terbatasnya waktu sosialisasi, kurangnya pendidikan politik dan pembodohan politik dalam kampanye. Untuk mengatasi hal ini ada dua point yang perlu diperhatikan oleh rakyat. Pertama, rakyat perlu mengenal apa itu pilkadal dan untuk apa pilkadal itu dilaksanakan. Ini merupakan pengetahuan dasar atau filsafat di balik pilkadal. Pilkadal tidak sekadar sebagai ritual demokrasi tetapi menyangkut hubungan antara basic human rights dan hak memilih. Kedua, menentukan pilihan partai dan wakil legislatif yaitu gambaran jelas profil partai dan calon yang diusung partai itu. Rakyat juga perlu mengenal track record calon bersangkutan apakah ia cacat hukum dan bagaimana keberpihakannya pada rakyat. Rakyat harus kritis dan rasional.
Pilkadal sebagai perwujudan demokrasi tidak sekadar sebuah tanda kemajuan ketatanegaraan tetapi lebih sebagai partisipasi rakyat dalam menentukan figur pembaharu. Oleh sebab itu rakyat harus lebih kritis sebelum menentukan pilihannya. Agar rakyat kritis ada tiga hal yang harus diperhatikan. Pertama, rakyat perlu mempertanyakan apa persoalan yang sedang dihadapi daerah kita. Di sini rakyat perlu melihat fakta sosial yang ada, ini disebut tahap kodifikasi. Misalnya, korupsi yang telah membudaya dalam struktur birokrasi kita. Kedua, setelah melihat fakta sosial itu lalu kita bertanya mengapa persoalan korupsi itu muncul. Ini disebut tahap dekodifikasi, tahap analisis atas persoalan. Misalnya, kendati sudah dibentuk Komisi Pemberantas Korupsi (KPK), namun tetap saja korupsi merajalela. Ketiga, mempertanyakan bagaimana jalan keluar atas persoalan (korupsi) itu. Ini adalah tahap praksis, tahap pemecahan masalah. Misalnya, pilkadal harus menghasilkan figur pembaharu yang mempunyai komitmen kuat untuk memberantas penyakit korupsi ini.
Partisipasi aktif rakyat dalam pilkadal gubernur yang demokratis sangat penting. Di sini rakyat mempunyai hak untuk menentukan calon yang mempunyai akuntabilitas yang mampu mengubah wajah daerah kita. Maka kita perlu memotret pasangan yang berpotensi untuk menjadi orang nomor satu di daerah kita. Untuk itu ada baiknya pasangan yang akan berlaga secara khusus ”mereka” (cagub dan cawagub) yang pernah ”mengarsiteki” NTT pada periode sebelumnya perlu mengukur diri sejauh mana mereka sebagai pasangan yang berpotensi sudah membangun rasa kepercayaan rakyat kepada mereka. Menurut John E Barbuto dan Daniel W Wheeler ukuran itu menyangkut sejauh mana rakyat memberikan rasa percaya terhadap tujuh ukuran servant leadership terhadap mereka.
Pertama, Rasa percaya rakyat tentang semangat altruisme para calon, semangat mengorbankan interes pribadi untuk kemaslahatan dan kebaikan rakyat banyak. Misalnya, kalau ada penderitaan rakyat seperti bencana tanah longsor di Manggarai beberapa waktu lalu, sejauh mana ”mereka” mengorbankan kepentingan diri dan hadir di tengah penderita/korban. Dengan ini masyarakat mengenal dan menaruh kepercayaan kepada mereka.
Kedua, rasa percaya rakyat kepada ”mereka” tentang apakah ”mereka” mempunyai ketulusan hati untuk mendengar suara rakyat sekaligus menghargainya. Misalnya, ketika harga BBM naik masyarakat mulai bersuara, sejauh mana ”mereka” menaruh perhatian terhadap persoalan itu.
Ketiga, rasa percaya menyangkut apakah ”mereka” mengerti jika sesuatu secara spesifik menimpa rakyat dan bagaimana kejadian itu mempengaruhi kehidupan. Misalnya, masalah yang dihadapi oleh TKI yang mendapat perlakuan kasar dari majikannya di luar negeri. Sejauh mana ”mereka” mampu menaruh perhatian terhadap persoalan itu.
Keempat, sejauh mana rakyat datang mengadu dan menggantungkan harapan kepada ”mereka” jika sebuah peristiwa traumatis menimpa rakyat. Misalnya, jika korban kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) datang, sejauh mana ”mereka” melakukan sesuatu yang nyata dan penuh keberanian memecahkan masalah traumatis yang dialami orang tersebut.
Kelima, sejauh mana rasa percaya akan kemampuan ”mereka” mengantisipasi masa depan dengan segala konsekuensinya. Misalnya, melihat perekonomian daerah kita yang semakin terpuruk yang berujung pada masalah kemiskinan dan pengangguran. Apa usaha ”mereka” dalam menciptakan terobosan baru untuk mengatasi kemiskinan dan pengangguran yang dapat mengubah wajah daerah kita.
Keenam, sejauh mana rakyat yakin akan kesiapan dan keterampilan organisatoris ”mereka”, apakah ”mereka” mampu membawa perubahan positif bagi daerah kita. Misalnya, kalau daerah kita identik dengan lahan basah untuk korupsi, sejauh mana ”mereka” mampu menangkap para koruptor dan mengembalikan citra NTT yang bersih dari korupsi seefektif mungkin.
Ketujuh, sejauh mana rakyat percaya bahwa ”mereka” memiliki good will dan komitmen untuk mengembangkan dan memberdayakan rakyat melalui jalur dunia pendidikan atau sektor lainnya. Misalnya, kita melihat fakta sosial bahwa ruang pengangguran di daerah kita tidak hanya dihuni oleh orang yang tidak berpendidikan tetapi juga oleh mereka yang berijazah dan spesifikasi khusus. Kenyataan ini menunjukkan dunia pendidikan kita belum mampu mencetak orang yang kreatif dan inovatif membuka lapangan kerja sendiri. Di sini kita dapat melihat sejauh mana usaha ”mereka” mengatasi masalah ini.
Beberapa hal di atas sekaligus menjadi nilai-nilai kepemimpinan yang bersifat melayani. Dengan melihat ketujuh ukuran di atas rakyat mempunyai modal untuk memotret dan memilih figur yang tepat yang mampu membaharui NTT sehingga citra daerah kita yang identik dengan kemiskinan dapat berubah.*

0 komentar:

Independensi KPU

KPU DAN INDEPENDENSINYA


Benny Obon
Lahir di Todo - Manggarai
Sekarang Belajar pada STFK Ledalero
Anggota KMK Ledalero

Harian Pos Kupang tanggal 7 Mei 2008 yang lalu menurunkan berita tentang keputusan KPU NTT menghentikan sementara kegiatan Pilgub. Keputusan tersebut diambil setelah didemo massa pendukung paket Amsal dan Harkat pasca penetapan pasangan yang lolos ke arena pertarungan Pilgub. Keputusan KPU tersebut setidaknya membawa dampak bagi rakyat yaitu rakyat akan bertanya tentang esensi demokrasi itu sendiri. Betapa tidak rakyat yang masih belajar berdemokrasi yang tertuang dalam pilkada menjadi heran dengan kebijakan ini. Seiring dengan itu akan timbul pertanyaan: akankah Pilgub NTT berlangsung sesuai hakikat dan esensi pilkada itu sendiri atau justru membawa suatu perpecahan dalam masyarakat.
Pengalaman membuktikan bahwa berbagai gejolak dan konflik massa turut mewarnai proses pilkada. Hal ini terjadi karena ketidakpuasan massa baik terhadap mekanisme penjaringan calon, pelaksanaan maupun terhadap hasil pilkada. Tindakan serupa nampak dalam berbagai aksi massa seperti aksi penyegelan KPUD di Padang Pariaman, Kendari dan Kepulauan Aru, pengrusakan dan pembakaran kantor KPUD di Binjai. Aksi protes dilakukan pula oleh massa pendukung paket Yosua terhadap KPUD Kabupaten Sikka beberapa waktu lalu. Bahkan sampai pada tindakan yang lebih katastropik seperti pengeboman kantor KPUD di Kepulauan Sula, Maluku Utara.
Tindakan-tindakan di atas menjadi catatan kelam sejarah perjalanan pilkada di negeri kita. Mungkin fakta-fakta seperti inilah yang menjadi alasan Hasym Muzadi (ketua PBNU) mengatakan sebaiknya pilkadal dihapus (PK,26 Januari 2008).
Aksi protes massa pendukung paket Amsal dan Harkat di atas adalah tanda apresiasi dan respek rakyat atas praktik pilkada. Aksi massa di atas merupakan tanda kemajuan praktik demokrasi dalam aras lokal. Artinya, sudah menjadi tanda kedaulatan rakyat yang mana rakyat menjadi pusat gravitasi dari keseluruhan aktivitas politik.
Independensi KPU
KPU merupakan penyelenggara pilgub. Sebagai lembaga penyelenggara KPU harus sungguh-sungguh independen. Independensi ini baik dalam hubungan dengan parpol maupun dengan pemerintah. Betapapun apiknya sistem dan mekanisme yang ditetapkan, namun apabila tidak didukung oleh independensi pada tataran praktik, pilkada pada gilirannya justru menciptakan masalah yang membawa citra negatif terhadap pilkada. Pilkada pun dinilai gagal dan menorehkan sejarah yang kelam.
KPU sebagai lembaga independen harus benar-benar menunjukkan citranya yang baik kepada masyarakat. Citra yang baik ini ditunjukkan lewat mekanisme kerja yang sungguh-sungguh bebas dari kepentingan politis dan sesuai dengan prosedur hukum yang berlaku.
KPU sebagai lembaga independen juga hendaknya bekerja sama dengan Panwas agar tercipta suatu koordinasi yang baik. Hubungan kerja sama antara keduanya dapat menciptakan iklim independensi yang baik, sehingga KPU benar-benar menunjukkan citranya yang baik di tengah masyarakat. Untuk menjaga integritasnya KPU perlu mempunyai sikap tertentu dalam menuju Pilgub yang bermutu dan bermartabat.
Ritus Pilgub akan sukses bila disikapi dengan baik. KPU sebagai penyelenggara Pilgub perlu mempunyai modal agar dapat menjalankan tugasnya dengan baik. Pertama, tegas dan teguh pada pendirian. Independensi KPU akan nampak bila ia tegas dalam prinsip. Kalau sudah diputuskan batas akhir penyerahan perbaikan administrasi tanggal 28 April 2008 (PK, 7 Mei 2008), itu berarti lewat dari tanggal tersebut dinyatakan gugur. Seperti yang dilakukan oleh paket Gaul yang terungkap bahwa dokumen tersebut baru diserahkan pada tanggal 29 April 2008. Itu berarti paket Gaul sudah terlambat menyerahkan dokumennya. Kita bisa melihat KPU tidak tegas dalam mengambil keputusan. KPU juga mesti teguh pada pendirian dan tidak terpengaruh oleh pihak luar. Keputusan KPU memberhentikan sementara kegiatan Pilgub merupakan tanda lembaga ini dipengaruhi oleh aksi massa paket yang gagal. Kedua, adil dan tidak diskriminatif. KPU secara jelas melakukan tindakan diskriminatif dalam pengambilan keputusannya. Sesudah batas akhir perbaikan dokumen tanggal 28 April 2008, KPU NTT tidak lagi menerima dokumen/berkas paket-paket bakal calon. Namun diketahui bahwa paket Gaul baru menyerahkan dokumen pada tanggal 29 April 2008 (PK 7 Mei 2008), dan meloloskan paket tersebut. Kenyataan ini menunjukkan KPU secara terang-terangan bertindak diskriminasi terhadap paket tertentu. Ketiga, transparan. KPU mesti terbuka menjelaskan kepada masyarakat terkait diakomodirya pasangan calon yang didaftar oleh parpol yang tidak memenuhi syarat 15 persen. KPU NTT tentu mempunyai alasan mengakomodir pasangan yang belum memenuhi syarat tersebut. Keempat, bertanggung jawab. KPU harus bertanggung jawab atas setiap keputusan yang diambil dan perlu mempertimbangkan konsekuensi yang akan terjadi. Sejak penetapan pasangan calon gubernur berbagai aksi protes bermunculan, yang berpengaruh pada keputusan KPU menghentikan sementara kegiatan Pilgub. Hal ini mungkin tidak perlu terjadi manakala KPU sudah secara sungguh-sungguh mengikuti aturan yang sudah ditetapkan. Penetapan calon yang maju dalam Pilgub tentu diambil sesuai aturan yang berlaku sehingga kegiatan pilgub tidak perlu diberhentikan. Pilgub akan sukses jika lembaga independensi (KPU) benar-benar menunjukkan eksistensinya sebagai lembaga independen yang terpercaya.*










0 komentar:

Kemiskinan di NTT

ATASI KEMISKINAN DENGAN OPTIMALISASI PENDIDIKAN
DAN BALAI LATIHAN KERJA (BLK)
Benny Obon
Sekarang belajar pada STF Ledalero – Maumere
Anggota KMKL tinggal di wisma Mikhael

Rupanya tidak sulit menjelaskan konsep kemiskinan untuk kita orang NTT, karena masalah kemiskinan bukanlah hal yang baru dalam ranah kehidupan kita. Kemiskinan akan selalu menjadi sahabat kita selagi kita hidup, berada dan berpredikat sebagai orang NTT. Inilah satu alasan yang membuat masyarakat kita mudah menjelaskan ide kemiskinan tersebut. Entah sampai kapan kita menyandang predikat tersebut tidak ada yang tahu karena secara praktis kita sudah mengalaminya sejak propinsi kepulauan ini terbentuk. Pada tataran luas (baca: nasional) kita sudah mengalaminya selama 62 tahun. Usia 62 tahun bukanlah usia yang relatif muda. Kalau kita asosiasikan dengan usia manusia, umumnya kita berkembang dari usia nol tahun dan mencapai titik kulminasi pada usia 40 tahun yaitu usia produktif. Setelah itu siklus berbanding terbalik yaitu bergerak turun dalam arti tidak produktif lagi.
Usia 62 tahun bukanlah usia muda. Dalam perjalanannya daerah kita tentu mempunyai banyak program pembangunan yang bernuansa populis dalam memberantas penyakit kemiskinan yang sudah mewabah dalam masyarakat kita. Rupanya waktu 62 tahun belum cukup dan mungkin daerah kita masih berada pada masa puber pada usia negara kita yang ke-62 tahun ini. Berbagai program dalam mengatasi penyakit kemiskinan pun rupanya masih bersifat puber dan bernuansa keinfantilan karena secara praktis pembangunan yang sudah dijalankan tidak berhasil mengobati penyakit kemiskinan tersebut.
Daerah kita tentu membutuhkan satu pil yang tepat untuk mengobati penyakit kemiskinan ini. Pil inilah yang menjadi topik dalam dialog publik tentang pengentasan kemiskinan melalui penciptaan tenaga kerja yang dilaksanakan pda tanggal 20 November 2007 yang lalu di aula Infokom NTT (PK 21/11/2007). Kegiatan ini digelar untuk mencari pil yang tepat dalam mengatasi kemiskinan di daerah kita dengan penciptaan tenaga kerja yang handal. Pertanyaan bagi kita, bagaimana usaha kita untuk menciptakan pil tenaga kerja tersebut.
Adalah sangat tepat panitia (baca: Pemerintah) memilih tema “Mengentas Kemiskinan melalui Penciptaan Tenaga Kerja”. Inilah strategi baru yang diambil yang kiranya dapat membawa pencerahan dalam mengatasi kemiskinan di daerah kita. Kalau selama ini pemerintah berusaha mengatasi kemiskinan dengan membuka lapangan pekerjaan baru dan hasilnya kurang memuaskan kiranya langkah yang baru ini menjadi pilihan yang tepat dalam mengatasi kemiskinan dan pengangguran di NTT. Solusi mengatasi kemiskinan dengan membuka lapangan kerja dinilai kurang efektif karena pendidikan tenaga kerja tidak sesuai dengan lapangan kerja yang disediakan. Di sini pemerintah mencoba menawarkan satu solusi baru dalam mengatasi kemiskinan dengan optimalsisasi pendidikan dan balai latihan kerja (BLK) untuk menciptakan tenaga kerja yang handal.
Inilah bukti kepedulian pemerintah dalam menanggapi fenomena yang terjadi dalam masyarakat. Pemerintah selalu melihat dengan teliti dan membaca tanda-tanda zaman dengan baik agar bisa menerapkan model-model kebijakan baru yang selalu segar sesuai dengan perubahan zaman. Zaman yang terus berubah menuntut kita untuk mengikuti segala bentuk dan tuntutannya. Kebijakan baru yang diambil di sini yaitu optimalisasi pendidikan dan balai latihan kerja (BLK).
Ada dua hal yang dapat kita petik dari dialog publik tersebut. Pertama, dari 4.260.294 jiwa penduduk NTT angkatan kerjanya sekitar 79,45 persen. Dari persentase itu angkatan kerja di daerah kita masih di dominasi oleh tenaga kerja dengan tingkat pendidikan sekolah dasar (SD). Ini menunjukkan adanya dominasi angkatan kerja yang berpendidikan rendah.
Angkatan kerja yang dimaksud adalah penduduk yang mampu dan bersedia melakukan pekerjaan. Kata ‘mampu’ di sini merujuk pada tiga hal. Pertama, mampu secara fisik yaitu sudah cukup umur dan tidak mempunyai caat fisik yang menghilangkan kemampuan untuk melakukan pekerjaan. Kedua, mampu secara mental yaitu mempunyai mental yang sehat dan tidak mempunyai kelainan atau penyakit psikis yang tidak memungkinkannya untuk melakukan pekerjaan yang normal. Ketiga, mampu secara yuridis, yaitu tidak kehilangan kebebasan untuk memiliki dan melakukan pekerjaan.
Kedua, jumlah pengangguran di NTT selalu meningkat. Pengangguran di sini ada dua jenis yaitu pengangguran yang terbuka dan tertutup. Pengangguran terbuka adalah mereka yang sama sekali tidak mempunyai pekerjaan, sedangkan pengangguran yang tertutup yaitu mereka yang mempunyai pekerjaan tidak tetap. Kita mesti membedakan term penganggur, pengangguran dan setengah mengangggur. Term penganggur merujuk pada mereka yang mampu bekerja tetapi tidak mempunyai pekerjaan. Pengangguran merupakan keadaan orang yang sedang menganggur. Dalam pengertian ekonomi makro pengangguran yaitu sebagian dari angkatan kerja yang tidak mempunyai pekerjaan. Sedangkan setengah penganggur yaitu mereka yang bekerja sepanjang waktu kerja normal yang tersedia, tetapi penggunaan waktu tersebut tidak efektif. Kadang-kadang mereka yang melakukan pekerjaan yang lebih rendah atau berbeda dari pendidikan yang dimilikinya dikategorikan sebagai setengah penganggur. Paul M. Horvits dalam Monetery Policy and Financial System menjelaskan bahwa pengangguran bukan saja merupakan masalah mikro melainkan lebih menyangkut masalah makro yang tidak saja merupakan pemboroasan sumber daya manusia tetapi juga menghambat laju pertumbuhan ekonomi.
Masyarakat NTT sepertinya berada pada kolam kemiskinan yang menambah panjang deret pengangguran di daerah kita. Solusi mengurangi pengangguran dengan memberikan pekerjaan bukanlah satu langkah yang tepat karena jumlah pengangguran di daerah kita terus menigngkat. Kemiskianan dan pengangguran struktural di NTT hanya dapat diatasi dengan pembangunan sosial ekonomi secara sadar,efektif, dan optimal diarahkan kepada penciptaan tenaga kerja, penggunaan tenaga kerja yang produktif dan numeratif. Penciptaan tenaga kerja harus menjadi bagian integral dalam pembangunan daerah. Demikian pula pendidikan dan pembinaan tenaga kerja harus menjadi bagian tak terpisahkan dari perencanaan pembangunan yang menyeluruh.
Ada beberapa faktor penyebab kemiskinan di daerah kita. Pertama, rendahnya kualitas pendidikan. Kualitas pendidikan sangat menentukan dalam pembangunan. Proyeksi persentase angkatan kerja yang didominasi oleh tenaga kerja berpendidikan rendah di atas menunjukkan bahwa pendidikan di derah kita belum maju. Rendahnya tingkat pendidikan juga sangat mempengaruhi upah tenaga kerja. Pendidikan mempengaruhi kompetensi dan kompetensi tenaga kerja sangat mempengaruhi upah yang mereka terima.
Kedua, jumlah pengangguran yang semakin meningkat. Pertambahan penduduk seiring dengan pertambahan tenaga kerja yang tidak seimbang dengan kemajuan pendidikan menambah panjang deret pengangguran di daerah kita. Ironisnya ruang pengangguran tersebut tidak hanya dihuni oleh tenaga kerja berpendidikan rendah tetapi juga oleh mereka yang mempunyai spesifikasi khusus. Kasus seperti ini dapat kita lihat dalam setiap kesempatan tes CPNSD. Misalnya, formasi CPNSD untuk propinsi NTT tahun ini disediakan untuk 4000 orang dan yang mendaftarkan diri ada 10.000 orang. Keenam ribu orang yang tidak mendapat peluang tahun ini akan menjadi penghuni baru yang menambah sesak ruang pengangguran di derah kita.
Ketiga, mentalitas para pemimpin kita yang tidak berhati nurani yang nampak dalam berbagai kasus korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) yang terjadi. Ironisnya pemerintah ber-KKN di tengah realitas masyarakat NTT yang miskin. Realitas masyarakat kita sangat kontras dengan keadaan para pejabat. Sangat disayangkan masyarakat kurang diperhatikan sementara para pejabat kita asyik bermain judi (Kompas 5/12/2005). Para pejabat kita lebih memilih menutup mata terhadap realitas kemiskinan yang terus mencekik masyarakat malah berekreasi di tengah realitas yang kontras ini. Mental seperti ini menjadi biang munculnya berbagai kasus korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) di NTT. Tidak heran kalau badan pemeriksa keuangan (BPK) semester II tahun 2006 menemukan dana pemerintah yang tidak jelas penggunaannya sebesar Rp 791,88 M 9iPK 5/4/2007).
Untuk mengatasi masalah kemiskinan di derah kita ada beberapa langkah yang perlu dilakukan. Pertama, tingkatkan sektor pendidikan. Melihat persentase angkatan kerja di daerah kita yang didominasi oleh tenaga kerja berpendidikan rendah, maka kita mesti meningkatkan mutu pendidikan. Perhatian kita hendaknya lebih difokuskan pada sektor ini karena melalui pendidikan dapat dilahirkan pribadi-pribadi dengan profesi tertentu. Parameter kemajuan sebuah lembaga pendidikan di sini dilihat dari produktivitas output yang dihasilkan dengan spesialisai tertentu. Lembaga-lembaga pendidikan menjadi tempat mendidik dan menciptakan tenaga-tenaga kerja yang handal.
Kedua, membuka dan mengintensifkan balai-balai latihan kerja (BLK). Akhir-akhir ini banyak balai latihan kerja dibuka. Pembukaan balai latihan kerja seperti ini sangat mendukung para tenaga kerja untuk mengembangkan profesinya. Di sini tenaga kerja mengenyam pendidikan nonformal dengan sasaran pada pendidikan keahlian dan keterampilan khusus. Pendidikan nonformal seperti ini dapat dijangkau oleh masyarakat kecil. Balai latihan kerja di sini sangat penting untuk penyerapan tenaga kerja di kemudian hari. Kalau usaha ini terwujud, maka masalah pengangguran di NTT dapat diatasi sehingga masslah penangkapan dan penggagalan TKW/L untuk keluar negeri tidak akan terjadi.
Balai latihan kerja memungkinkan tenaga kerja untuk mengembangakan usaha kecil dan menengah (UKM). Struktur masyarakat kita yang didominasi oleh tenaga kerja berpendidikan rendah membuat pilihan untuk melakukan kegiatan ekonomi tidaklah banyak. Salah satu pilar untuk melakukan kegiatan ekonomi adalah dengan mengembangkan usaha ekonomi kecil dan menengah yang menjadi tumpuan bagi sebagian tenaga kerja. Usaha kecil menengah banyak dilakukan oleh tenaga kerja karena jumlah modal yang relatif kecil dan tidak membutuhkan tenaga kerja berpendidikan tinggi. Dengan ini jumlah UKM akan menjadi sangat besar dan dapat mendonorkan penyerapan tenaga kerja sehingga dapat mengurangi jumlah pengangguran. Berhadapan dengan usaha ini, maka pemerintah diharapkan dapat memberikan izin usaha kepada mayarakat. Dengan demikian usaha mengatasi kemiskinan dengan optimalsasi pendidikan dan balai latihan kerja (BLK) dapat berhasil.




0 komentar:

Pemuda dan Kultur Kematian

KAUM MUDA MAUMERE BERTEKAD MEMERANGI
KULTUR KEMATIAN

Benny Obon
Mahasiswa Sekolah Tinggi Filsafat Ledalero

Segenap kaum dan utusan dari beberapa Sekolah Menengah Atas, dan Universitas di kabupaten Sikka bergabung dengan mahasiswa STFK Ledalero dalam seminar setengah hari yang bertempat di Aula St. Thomas Seminari Tinggi Ledalero. Seminar yang bertema “Kaum Muda dan Kultur Kematian” tersebut dilaksanakan oleh STFK Ledalero dengan mengundang dua orang pembicara: Charly Baba Nong yang bekerja di kantor Keuskupan Maumere dan Lucky Rainer yang berprofesi sebagai manager radio Sonia FM Maumere.
Seminar tersebut dilaksanakan dalam rangka menyongsong hari Sumpah Pemuda yang ke-80. Pada tanggal 28 Oktober 1928 kaum muda Indonesia berkumpul di Gedung Katholieke Jongenlingen Bond (KJB), Lapangan Banteng untuk menyatakan tekad sebagai satu bangsa dan bahasa. Dalam pertemuan tersebut mereka menekankan bahwa ada lima faktor yang bisa memperkuat persatuan Indonesia yaitu sejarah, bahasa, hukum adat, pendidikan, dan kemauan.
Seminar tersebut mau meneruskan semangat kaum muda pendahulu kita sekaligus menegaskan bahwa kaum muda perlu bangkit untuk menghadapi musuh bersama yang oleh almarhum Paus Yohanes Paulus II menyebutnya sebagai budaya kematian. Budaya kematian datang dari era globalisasi yang muncul dalam ketidakberdayaan, putus asa, pesimisme, upaya menghindari kenyataan, bunuh diri karena tidak menemukan jalan keluar dari kemelut hidup, budaya tidak lagi melihat makna kerja keras, budaya mengkonsumsi obat-obat terlarang (ganja, narkoba, ekstasi), dan budaya terjerat dalam pelbagai macam kelompok dan tidak mau bersatu. Budaya kematian ini bisa menyeret siapa saja yang tidak kritis menghadapinya.
Di hadapan budaya kematian ini kaum muda perlu bangkit dan sungguh-sungguh bersatu menyerukan kesatuan yang sungguh-sungguh; satu tanah air, satu bangsa, satu bahasa. Tanah air kaum muda adalah bumi riil yang menjadi pijakan yang cenderung terkubur dan terpecah-pecah. Bangsa kaum muda adalah semua yang mengelilinginya yang menginginkan kebangkitan dan solidaritas kesatuan. Bahasa kaum muda adalah jiwa yang mempersatukan dan ungkapan yang mendorong maju dan kekuatan yang memampukan untuk mencapai tujuan. Tujuan tersebut adalah pengeliminasian budaya kematian dan penegakkan budaya kehidupan.
Budaya kematian adalah kebalikan dari budaya kehidupan. Budaya kehidupan itu sendiri tidak boleh ditafsir sebagai upaya untuk menghindari tindakan yang mendatangkan kematian. Tetapi, lebih dilihat secara positif sebagai kepedulian bahkan sebagai komitmen penuh dedikasi untuk menyelamatkan kehidupan terutama mereka yang lemah dan tidak bisa membela diri sendiri.
Sebelum bergerak menuju pengeliminasian budaya kematian, kaum muda mesti jeli membaca realitas dan tantangannya mesti dirumuskan secara tepat, demikian pun langkah dalam menghadapinya perlu dirumuskan secara rinci.
Kalau budaya kematian sudah diciptakan bersama, maka pengeliminasiannya melalui budaya kehidupan perlu dilakukan bersama. Justru di sinilah makna Kebangkitan Nasional yang sudah dicanangkan 100 tahun yang lalu dan makna sumpah pemuda yang sudah diucapkan 20 tahun kemudian oleh para pendahulu kita.
Kebudayaan dari segi yang fundamental masih terus berkembang sejalan dengan perkembangan kehidupan manusia. Dan berbicara tentang budaya atau kehidupan manusia mengandaikan proses yang selalu adn tetap berkembang dengan segala perubahannya. Oleh sebab itu, seminar ini diharapkan dapat membangkitakan minat kaum muda untuk bangkit dalam kesatuan landas pijak, dan kesatuan tubuh di atas landas yang satu itulah yang dijiwai oleh semangat nasionalisme humanistis dan kesatuan daya juang melawan musuh bersama yang disebut budaya kematian kematian (culture of daeth).

0 komentar: