FILSAFAT DAN KONTEKS SOSIAL

Benny Obon
Kru KMK_Ledalero – Pemerhati sastra dan Kaligrafi Arab

Setiap perjalanan manusia/sesuatu selalu melewati waktu. Ia selalu bergerak dalam dimensi ruang dan waktu (tertentu). Seluruh dinamika hidup selalu terjadi dalam waktu. Peralihan waktu adalah suatu pergerakan sejarah yang selalu meninggalkan bekas. Dalam setiap bekas-bekas inilah kisah-kisah perjalanan diabadikan. Karena itu merenung tentang perjalanan (suatu lembaga) berarti juga merenung tentang waktu.
Pada tanggal 20 Mei kemarin Sekolah Tinggi Filsafat Katolik (STFK) Ledalero memasuki usia yang ke-40 tahun. Sebuah usia yang panjang dan patut direfleksikan serta disyukuri bersama. Bila diasosiasikan dengan manusia, usia 40 tahun merupakan usia yang panjang, suatu usia di mana seseorang matang dalam segala hal. Usia 40 tahun bagi manusia juga merupakan usia kesuksesan dalam karier.
Demikian pun halnya dengan STFK Ledalero. Usia panca windu ini merupakan suatu rahmat dalamnya ia bergerak dan terus mewujudkan diri menuju visi-misinya dalam membangun masyarakat melalui pendidikan. Dalam perjalanannya tersebut berbagai pengalaman, baik pengalaman jatuh dan bangun sudah tentu menghiasi pentas sejarah STFK Ledalero. Berbagai pengalaman tersebut menjadi batu pijak dan landasan dalam perjalanan STFK Ledalero sehingga lembaga pendidikan ini dapat berdiri kokoh. Pengalaman-pengalaman inilah yang mesti selalu direfleksikan dan direnungkan dalam mengembangkan STFK Ledalero ke depan. Berbagai pengalaman yang turut menghiasi lembaran sejarah STFK Ledalero menjadi sejarah kolektif (bagi para alumni) yang selalu dikenang.

Filsafat dan Realitas
STFK Ledalero merupakan lembaga pendidikan filsafat yang mendidik mahasiswa untuk mengenal realitas. Filsafat sebagai suatu pergumulan untuk mencari kebenaran tidak terlepas dari realitas. Kebenaran itu ada dalam realitas, oleh karena itu ia mesti digali. Penggalian di sini tentu melalui pertanyaan-pertanyaan. Pertanyaan-pertanyaan akan membuka horizon berpikir kita kepada intuisi dan esensi kebenaran itu sendiri.
Kebenaran menjadi tujuan pencarian dalam filsafat. Oleh karena itu beberapa filsuf selalu bertanya apa itu kebenaran. Francis Bacon (1561-1626), misalnya dalam salah satu esainya Uber die Wahrheit memulai esainya dengan mengutip pertanyaan Pilatus: “Was ist Wahrheit?” (bdk. Francis Bacon, Essays, Universal Bibliothek, p. 13). Segala refleksi filosofis atas suatu entitas pun selalu mengarah kepada kebenaran. Jadi filsafat merupakan pergumulan mencari kebenaran untuk mencapai kebijaksanaan hidup.
Lalu pertanyaan lanjut, apa itu kebijaksanaan? Apakah filsafat mampu mengantar manusia pada kebijaksanaan? Apakah ada gradasi dalam kebijaksanaan?
Pertanyaan-pertanyaan ini mengantar kita pada suatu pergumulan filosofis tentang esensi kebijaksanaan itu sendiri. Bahwa kebijaksaan secara praktis tidak berada dalam diri orang yang tahu banyak (know more) juga tidak terletak dalam diri orang yang tidak tahu apa-apa. Parameter gradasi kebijaksanaan tidak diukur menurut barometer episteme (quantum des wissens). Kebijaksanaan tidak terletak dalam interese teoretis tetapi dalam setiap kecenderungan untuk mengarahkan diri kepada dunia dan hidup untuk menentukan suatu keputusan yang tegas dan pasti dalam pelbagai perbedaan ideologi dan paham.
Tingkat pengetahuan seseorang bukan menjadi ukuran bahwa ia adalah seorang yang bijaksana. Tetapi kebijaksanaan itu terletak bila seseorang mampu menyatukan segala sesuatu yang dimilikinya dengan realitas; terbuka, jujur, pandai berdialog dengan dunia dan manusia, mendengarkan orang lain, menguasai diri dalam pelbagai kecenderungan, memiliki kebebasan batiniah, berpikir cermat dan kritis serta mampu menginternalisasikan pengetahuan praktis dengan realitas atau kehidupan konret.
Mengenal realitas mambawa kita untuk semakin berusaha menggumuli setiap entitas yang dipancarkan oleh realitas. Mengenal realitas memampukan kita untuk mendikte setiap perubahan yang selalu mengiringi derap langkah waktu. Dengannya kita tidak terdikte oleh realitas dan tidak menjadi korban setiap perubahan yang berjalan bersama waktu.
Setiap orang pada dasarnya adalah filsuf. Setiap orang berfilsafat sesuai pendidikannya. Jadi manusia berfilsafat dengan berbagai macam cara. Dan, menurut Fichte filsafat yang diemban oleh seseorang bergantung pada manusia macam apakah orang itu. Seorang filsuf hendaknya tetap terbuka terhadap realitas dan ia seharusnya profesional dalam bidangnya dan dalam hidup. Ia harus pandai menghadapi masyarakat dan mampu melihat setiap situasi secara positif dan matang. Seorang ahli ekonomi selalu berpikir bagaimana cara untuk menyukseskan usahanya dan dapat menguasai pasar ekonomi. Di sinilah sebenarnya ia berfilsafat tentang bagaimana mencapai segala rencana yang sudah dibuatnya. Rencana ini tentu dipadukan dengan teori yang dipelajarinya yang dikonfrontasikan dengan realitas. Jadi filsafat selalu berhubungan dengan hidup, dan hidup tidak bisa dilepaspisahkan dari realitas.
Filsafat juga bersifat sangat kontekstual karena karya berfilsafat berarti mengarahkan seluruh diri kepada realitas atau apa yang kita amati, apa yang kita pikirkan dan apa yang kita tanggapi tentang realitas di sekitar kita. Dan, konteks seperti ini hanyalah bersifat historis dalam kaitan dengan eksistensi manusia sendiri yang hidup dan bergerak dalam ruang dan waktu. Persoalan ruang dan waktu sesungguhnya menyangkut persoalan filsafat itu sendiri. Claro R. Ceniza menulis, “The problem of philosophy has always been the problem of Time dan Space ...” (bdk. Claro R. Ceniza, Thought, Necessity and Existence: Metaphysics and Epistemology, p.VII).
Dengan filsafat diharapkan agar mahasiswa (dan pemikir generasi sekarang) melihat konteksnya yang lebih mendalam dan berusaha masuk ke dalamnya untuk membangun suatu dunia yang lebih aman, baik, tertib, benar, adil, dan bersahabat. Dunia kita yang sedang diwarnai oleh krisis global dan kemanusiaan (perang) menjadi tantangan bagi ‘filsuf-filsuf’ baru untuk merefleksikannya dan mencari jawabannya kepada suatu pembenaran hidup di mana suatu diskursus dapat berjalan.
Mereka yang belajar filsafat mesti peka dalam membaca setiap situasi sosial dan kiranya ini juga menjadi cermin bagi mereka yang mencintai kedamaian, keadilan dan memikirkan kebaikan bersama.

STFK Ledalero dan Konteks Sosial
Sebagai lembaga filsafat, STFK Ledalero tidak hanya begumul dengan refleksi-refleksi filosofis ataupun mendalami tema-tema filsafat modern maupun postmodern. Tetapi ia menerjemahkan dirinya di tengah realitas yang kompleks yang dihadapi masyarakat luas. Berbagai problem dan realitas itu turut menjadi bahan refleksi, dengannya STFK Ledalero bisa mengaktualisasikan diri di tengah situasi tersebut.
Kehadiran STFK Ledalero dalam kompleksitas problem masyarakat muncul dalam berbagai suara kritisnya. Suara-suara kritis tersebut muncul sebagai kepedulian dan rasa tanggap akan realitas. Dengan masuk dalam diskursus publik, STFK Ledalero turut mengambil bagian dalam memberikan dukungan kepada masyarakat.
Dukungan yang diberikan dapat berupa dukungan moral dan spiritual. Dukungan tersebut mendorong masyarakat untuk mengenal dan membaca realitas yang terjadi di tengah mereka. Berbagai problem yang dihadapi masyarakat yang patut menjadi perhatian STFK Ledalero baik secara langsung maupun tidak langsung seperti menolak UU Sisdiknas, menolak eksekusi Tibo Cs, menolak rencana tambang emas di Lembata, rencana pembangunan Korem di Flores, rencana tambang di Manggarai, dan menyikapi pengesahan Undang-undang Pornografi (UUP) yang terealisasi dalam seminar sehari di Ledelaro beberapa waktu lalu.
Dalam kompleksitas problem seperti ini, STFK Ledalero hadir sebagai lembaga yang membantu masyarakat dalam diskursus bersama. Dengan itu masyarakat dapat mengenal problem yang mereka hadapi serta dapat menghadapi persoalan-persoalan tersebut. Dalam suara-suara kritisnya, STFK Ledalero memberdayakan masyarakat yang tidak mampu untuk masuk dalam suatu diskursus rasionalitas. Dengan demikian masyarakat dapat mengenal problem yang mereka hadapi.
Suara-suara kritis STFK Ledalero juga dapat berupa pendidikan politik bagi masyarakat dengan terjun dalam ruang publik. Ruang publik sebagai ruang apresiasi dan aktualisasi publik dalamnya berbagai diskursus terjadi. Pendidikan yang diberikan muncul dalam berbagai ekses seperti opini-opini maupun seminar-seminar pemberdayaan. Opini-opini dibangun untuk mengantar masyarakat pada pertimbangan kritis rasional akan problem yang mereka hadapi. Opini-opini dibangun melalui media massa karena media massa adalah entitas yang netral dalam suatu diskursus (menguti Juergen Habermas, Public Sphere).
Dengan masuk dalam diskursus publik, maka STFK Ledelero bukan hanya sebagai menara gading yang berdiri kokoh yang diagung-agungkan. Tetapi sebagai lembaga pendidikan yang menjadi ‘matahari’ yang selalu memancarkan sinar-sinar kritis-rasional yang memberdayakan masyarakat.
Pemberdayaan masyarakat juga nampak dalam kebijakan pada STFK Ledalero yang membuka kesempatan bagi kaum awam – bukan calon imam, untuk belajar pada STFK Ledalero. Kebijakan ini merupakan tindak lanjut atas Kanon 811(1) Kitab Hukum Kanonik (KHK). Dengan kebijakan ini, maka Gereja melalui STFK Ledalero turut membentuk seseorang untuk menjadi awam yang baik yang dapat mendedikasikan diri dalam membantu tugas-tugas pastoral Gereja.
Program studi magister teologi kontekstual pada STFK Ledalero mesti membantu mahasiswa untuk membaca problem-problem kontekstual yang dihadapi umat. Refleksi filosofis-teologis atas kompleksitas problem tersebut mesti membantu masyarakat untuk menjawab berbagai persoalan dan bukan lari dari berbagai problem tersebut. Dengan demikian umat pun dapat keluar dari masalah yang mereka hadapi.
STFK Ledalero juga sadar bahwa ia adalah bagian dari berbagai universitas/perguruan tinggi yang ada di NTT. Oleh karena itu STFK Ledalero selalu mengambil bagian dalam berbagai kegiatan kemahasiswaan seperti mengikuti Pekan Ilmiah dan Seni Mahasiswa (PISMA) yang melibatkan semua universitas/perguruan tinggi di NTT. Dalam ajang seperti ini mahasiswa STFK Ledalero dapat membuktikan diri dalam bersaing dengan universitas/perguruan tinggi yang lain. Dengan keluarnya STFK Ledalero sebagai juara umum dalam beberapa kali penyelenggaraan kegiatan tersebut menunjukkan STFK Ledalero merupakan yang terbaik. Dan, universitas/perguruan tinggi lain dapat menjadikan STFK Ledalero sebagai cermin untuk berlajar meraih prestasi dalam perlombaan-perlombaan seperti itu.
Memasuki usianya yang ke-40 tahun ini, STFK Ledalero mesti tampil sebagai lembaga yang semakin dewasa. Kedewasaan ini ditunjukkan dengan semakin meningkatkan keterlibatannya dalam kehidupan sosial. Dan, para mahasiswa (serta para alumni) STFK Ledalero mesti menunjukkan diri sebagai ‘filsuf-filsuf’ baru yang mampu menerjemahkan konsep-konsep filsafat dalam realitas konret. Dengan demikian kehadiran (kita) dapat merupakan sumbangan berharga bagi pembangunan Gereja dan negara.*

0 komentar: