TKI

TKI: NIHILITAS SEBUAH IDEA
Benny Obon
Belajar pada STF Ledalero
Tinggal di wisma St. Rafael – anggota KMKL

Mereka tampak putus asa, kecewa dan tidak bersemangat. Mereka duduk dan memandang jauh ke depan pada alam yang membisu dan tak berujung. Mereka memandang dalam kehampaan, dalam nihilitas sebuah idea. Mereka bergulat melawan realitas yang tidak kasat mata: penggagalan dan deportasi. Aparat keamanan Kabupaten Sikka dan pemerintah Malaysia seperti sebuah ‘siluman’ yang meraib impian mereka dalam peristiwa penggagalan dan deportasi.
Itulah ekspresi para TKI ilegal dalam dua buah berita petang yang diturunkan oleh sebuah stasiun TV swasta Indonesia beberapa waktu lalu. Dua buah berita tersebut – penggagalan calon TKI ilegal di Maumere dan pendeportasian TKI ilegal dari Malaysia – diturunkan satu setelah yang lainnya, sehingga menjadi sangat menarik.
Penggagalan tersebut disebabkan karena mereka tidak memiliki surat izin keimigrasian (dokumen). Mereka adalah orang kampung yang awam terhadap hal-hal keimigrasian dan tidak mempunyai keahlian khusus dalam bersaing untuk mendapatkan lapangan kerja. Apalagi menjadi TKI yang membutuhkan persiapan yang matang, mental dan moral yang baik, serta profesional. Sedangkan pendeportasian terjadi karena mereka tidak memiliki surat izin bekerja di Malaysia.
Dua sub berita kontradiktif tersebut mungkin akan membuat kita heran, toh masih ada orang yang ingin menjadi TKI di Malaysia sementara pemerintah negeri jiran itu bersikeras mendeportasi para TKI ilegal.
Penempatan tenaga kerja Indonesia ke luar negeri sudah berlangsung selama 23 tahun. Sepanjang masa itu pula, para TKI sudah menjadi sumber devisa bagi pihak terkait baik pemerintah, pengusaha pengerah jasa TKI, maupun para calo/sponsor di desa maupun kota. Tidak ada angka yang pasti berapa juta jumlah TKI yang telah menikmati hasil selama bekerja di luar negeri.
Kita mungkin hanya mendengar cerita yang tidak sedap datang dari dunia TKI. Kabar tentang penggagalan calon TKI, pendeportasian, ditipu calo, dianiaya, diperas bahkan dibunuh majikan atau diperkosa bukan hal yang baru terjadi. Tetapi, sudah berlangsung selama 23 tahun. Namun cerita-cerita tersebut tak membuat efek jera.
Para calo/sponsor yang ada di desa terus membakar semangat dan minat masyarakat untuk menaruh idealisme yang tinggi menjadi TKI. Mereka begitu pintar membungkus cerita-cerita kurang sedap tentang TKI dan menjamu masyarakat dengan retorika yang menarik dan menggugah hati. Retorika para calo didukung oleh penampilan yang rapih; bersepatu dan berpakaian baru buatan luar negeri, jam tangan berrantaikan emas, handphone ber-touchschreen dan lain sebagainya.
Inilah fenomena para calo TKI di daerah kita (NTT). Masyarakat yang terbuai dengan propaganda para calo beramai-ramai menjadi calon TKI tanpa peduli menjadi TKI ilegal atau TKI resmi (documented labor).
Para calo menggunakan keahliannya untuk memberangkatan mereka. Bila calonya licik ia akan mulus mengantarkan para calon TKI ilegal sampai ke tempat tujuan. Sebaliknya bila tidak, ia akan terperangkap dalam cerita buruk tentang TKI yang dibungkus rapi sebelumnya: penggagalan dan deportasi. Para calon TKI ilegal yang berasal dari kampung yang tidak tahu seluk-beluk keimigrasian dan aturan dunia ke-TKI-an pun terperangkap dalam sebuah nihilitas idea. Sebuah impian yang kosong.
Jika peristiwa penggagalan merupakan sebuah nihilitas idea bagi para calon TKI ilegal, maka peristiwa pendeportasian juga merupakan sebuah nihilitas idea bagi para TKI ilegal. Peristiwa penggagalan dan pendeportasian TKI akan menambah panjang deret pengangguran, serentak menjadi beban bagi bangsa. Deportasi TKI juga merupakan cerminan betapa pemerintah tidak tanggap terhadap situasi bangsa. Sistem birokrasi pemerintah yang cenderung rumit menjadi penghambat keinginan TKI untuk bekerja di manca negara.
Pendeportasian TKI merupakan usaha pemerintah Malaysia karena semakin meningkatnya pendatang ilegal di negeri itu. Ada beberapa alasan utama bagi pemerintah Malaysia mendeportasi TKI ilegal.
Pertama, pemerintah Malaysia memperkirakan dari 1,2 juta pendatang ilegal, 70 persennya berasal dari Indonesia (Kompas, 12/2/2005). Jumlah pendatang ilegal yang begitu besar sangat mencemaskan negara Malaysia dan bukan tidak mungkin akan menimbulkan masalah tersendiri bagi pemerintah Malaysia. Mereka dinilai sebagai pendatang haram yang tidak perlu ada sehingga harus dideportasi.
Kedua, kehadiran pekerja asing tanpa izin di Malaysia menimbulkan persoalan sosial dan hukum. Tak sedikit kasus kriminal yang terjadi di negara itu seperti pencurian, pemerkosaan, penodongan dan lain-lain yang melibatkan sejumlah TKI ilegal. Tidak jarang kita mendengar berita tentang para TKI yang dihukum dan meninggal di Malaysia karena tindakan kriminalitas. Bahkan setiap bulan maskapi penerbangan Merpati Nusantara Airlines selalu membawa 15 jenazah TKI yang meninggal di Malaysia, dan didalamnya terdapat korban karena kriminalitas (PK, 16/9/2008).
Berbagai kasus kriminal yang melibatkan TKI ilegal yang dideportasi akan semakin meningkatkan angka kemiskinan di Indonesia. Pada akhirnya, akan terjadi patologi sosial yang kompleks yang menjadi pekerjaan yang berat bagi pemerintah.
Ketiga, operasi terhadap pendatang ilegal oleh pemerintah negeri jiran merupakan suatu implementasi terhadap undang-undang keimigrasian Malaysia yang diberlakukan pada tahun 2002, dan habisnya masa amnesti pada tanggal 31 Januari 2005 yang lalu.
Peristiwa panggagalan dan pendeportasian TKI ilegal menunjukkan keinginan masyarakat yang besar untuk bekerja di luar negeri. Namun, pemerintah kurang menaruh perhatian pada TKI. Oleh karena itu, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan agar peristiwa penggagalan, deportasi dan berbagai berita buruk yang menimpa TKI tidak terjadi lagi. Pertama, memberikan akses yang mudah bagi masyarakat untuk menjadi TKI. Pemerintah sebagai stakeholder mesti menentukan undang-undang keemigrasian dan menciptakan birokrasi yang memberikan akses yang mudah bagi masyarakat. Warga negara yang ingin menjadi TKI pun tidak dipersulit.
Kedua, perlu adanya aturan dalam perekrutan dan penempatan TKI. Aturan tersebut dapat berupa keputusan menteri, peraturan pemerintah maupun undang-undang. Pemerintah di sini berlaku sebagai pengawas yang mengawasi implementasi sampai di lapangan agar tidak menyimpang. Penyimpangan implementasi di lapangan berujung pada kesalahan perusahan pengerah jasa tenaga kerja Indonesia dalam merekrut para calon.
Ketiga, pemerintah perlu mengoptimalkan fungsi departemen tenaga kerja. Departemen tersebut bertujuan intuk menyiapkan tenaga kerja yang jujur, berkualitas dan profesional, sehingga mampu bersaing di pasar tenaga kerja internasional yang sangat kompetitif. Persiapan di sini seperti memberikan pelatihan para calon TKI agar siap pakai mulai dari pelatihan menjadi tenaga profesional, terampil, menguasai teknologi informasi dan memenuhi standar informasi yang excellent. Para calon TKI juga perlu menanamkan nilai-nilai moral bangsa dalam diri agar mereka mempunyai moralitas yang baik.
Dengan usaha-usaha tersebut di atas, maka berita-berita tidak sedap tentang TKI tidak akan ada lagi. Dengan demikian peristiwa penggagalan dan pendeportasaian TKI tidak akan terjadi. TKI bukan lagi sebagai nihilitas sebuah idea melainkan menjadi the real idea. Usaha-usaha tersebut juga dapat mendonorkan penyerapan tenaga kerja sehingga angka pengangguran dalam negeri semakin berkurang.*

0 komentar: