Pilkada

PILKADA: DWITUNGGAL DALAM KARUNG
Benny Obon
Mahasiswa Filsafat Ledalero-Maumere
Cru KMK Ledalero – tinggal di wisma St. Rafael

Proses pemilihan kepala daerah secara langsung (Pilkada) untuk beberapa daerah di NTT terus bergulir mendekati hari–H. Pilkada tersebut membawa suatu harapan yang besar bagi masyarakat yang sedang mengalami berbagai problem. Berbagai persoalan tersebut diharapkan bisa diatasi oleh pasangan yang akan menjadi dwitunggal. Pasangan calon yang akan menjadi dwitunggal mesti kritis membaca realitas masyarakat, sehingga mereka dapat memecahkan berbagai persoalan dengan baik. Dengan demikian dwitungggal benar-benar menjadi pemimpin yang tahu melayani masyarakat dengan kompleksitas problem yang mereka hadapi.
Tiga Isu Sentral
Pilkada di daerah kita sangat menarik. Setidaknya ada tiga isu sentral yang sedang melanda daerah kita baik yang sudah lama maupun yang baru muncul beberapa tahun belakangan ini. Pertama, masalah kemiskinan. Nama NTT sering muncul di panggung nasional karena berbagai persoalan yang ditimbulkan oleh masalah kemiskinan. Berbagai kasus seperti busung lapar, gizi buruk, gagal panen dan kelaparan terus melanda masyarakat. Topografi daerah yang gersang, dengan musim panas yang terlalu panjang membuat masyarakat tidak bisa bergerak dihadapan kenyataan tidak suburnya tanaman yang mengakibatkan gagal panen dan pada gilirannya menimbulkan bencana kelaparan. Pasangan calon yang akan menjadi dwitunggal mesti mengenal situasi masyarakat seperti ini agar tidak hanya menjadikan mereka sebagai ladang menabur janji saat kampanye, tetapi menjadikan masyarakat sebagai tujuan utama dalam berpolitik.
Kedua, masalah pendidikan. Secara umum lembaga-lembaga pendidikan di NTT cukup bermutu. Bannyak sekolah yang mempunyai tenaga pengajar yang profesional dan mampu mencetak output yang mampu bersaing di segala bidang. Namun tidak didukung oleh ekonomi masyarakat yang rendah. Masyarakat tidak mampu membiayai anaknya untuk belajar pada jenjang yang lebih tinggi padahal kemampuan anak-anak NTT tidak kalah saingnya dengan anak di daerah lain. Orientasi masyarakat NTT masih berkutat pada soal bagaimana memenuhi kebutuhan makan – minum, sementara pendidikan belum dilihat sebagai sesuatu yang penting. Pasangan calon yang akan terpilih menjadi dwitunggal mesti mengenal realitas masyarakat seperti ini, misalnya dengan memberikan pendidikan gratis bagi masyarakat kurang mampu.
Ketiga, masalah korupsi. Tidak dapat disangkal bahwa daerah kita menjadi lahan basah tumbuhnya korupsi. Harian ini beberapa waktu lalu menurunkan berita tentang 380 kasus korupsi di NTT yang dilaporkan ke KPK. Menurut Bibid Samad Rianto, kasus korupsi tersebut dibagi dalam empat kategori. Pertama, laporan tentang dugaan korupsi yang tidak ditindaklanjuti pemerintah ke penegak hukum karena tidak ada indikasi korupsi. Kedua, dugaan korupsi yang sudah dilaporkan ke penegak hukum tetapi proses penyelidikan tidak berjalan. Ketiga, dugaan korupsi yang indikasinya masih remang-remang. Keempat, dugaan korupsi yang sudah jelas indikasinya dan tinggal ditindaklanjuti KPK (PK/10/7/2008). Angka tersebut tentu akan bertambah karena negeri kita sudah pernah dipimpin oleh rezim yang telah berhasil mendidik generasi politik berikutnya seputar cara melakukan praktik korupsi.
Ketiga isu sentral tersebut merupakan suatu situasi yang turut mempengaruhi sikap dan disposisi masyarakat terhadap Pilkada yang turut mempengaruhi suhu politik dan aspek psikologis masyarakat. Pasangan calon akan membaca situasi politik masyarakat untuk disesuaikan dengan program-program politik mereka. Mereka juga mesti kritis untuk membaca berbagai realitas yang terjadi dalam masyarakat.
Sikap Kritis Pasangan Calon
Sikap kritis mesti dimiliki oleh pasangan yang akan menjadi dwitungggal agar mereka dapat menjadikan masyarakat sebagai landasan utama dalam berpolitik. Agar pasangan calon bersikap kritis ada tiga hal yang perlu dipegang. Pertama, mereka harus kritis dan mempertanyakan apa persoalan yang sedang dihadapi daerah kita. Ini disebut tahap kodifikasi: tahap menghadirkan fakta sosial. Seperti ketiga isu sentral yang dikemukakan sebelumnya. Kedua, mempertanyakan mengapa persoalan itu muncul. Ini disebut tahap dekodifikasi: tahap analisis atas persoalan. Misalnya, meski NTT akan memasuki usia emas, namun masalah kemiskinan tetap saja terjadi. Ketiga, mempertanyakan bagaimana ketiga isu sentral tersebut diatasi dan di mana kedudukan pilkadal dalam upaya mengatasi masalah itu. Ini adalah tahapan praksis, tahapan pemecahan masalah. Dianalisis, misalnya pilkadal harus menghasilkan pemimpin yang merakyat. Mengenai pemimpin yang merakyat Kahlil Gibran menulis, ”apakah engkau seorang gubernur yang menatap ke bawah kepada rakyat yang engkau pimpin, atau tidak pernah keluar dari istanamu kecuali untuk merampok harta rakyatmu dan menindas demi keuntungan sendiri? Atau engkau adalah seorang abdi yang setia, yang mencintai rakyatmu dan selalu mengusahakan kesejahteraan mereka?”
Mengapa Dwitunggal dalam Karung?
Dwitunggal mengandung makna sinergi yaitu dua sosok pemimpin yang secara fungsional membentuk satu harmoni. Dalam Sign and Symbols, Clare Gibson menjelaskan, harmony can only be achieved when the two are perfectly and complementarily balanced. Dalam dwitunggal bupati dan wakil bupati saling membantu dan melengkapi. Harmoni juga mengandung unsur servant leadership yang dilihat sebagai filosofi praktis yang berhubungan dengan etika kekuasaan. Kekuasaan di sini digunakan hanya sebagai sarana untuk mencapai nilai-nilai tertinggi kemanusiaan. Dari sini kita bisa melihat bahwa dwitunggal adalah figur yang tahu akan esensi kepemimpinan yang demokratis. Menjelang hari-hari pesta rakyat tersebut para pasangan calon sudah siap menuju panggung demokrasi untuk ‘bertempur’. Maka, kita mesti memotret pasangan mana yang berpotensi menjadi dwitunggal.
Ada baiknya pasangan yang akan berlaga mengukur diri sejauh mana mereka sebagai pasangan yang berpotensi sebagai dwitunggal. Menurut John E Barbuto dan Daniel W Wheeler, ukuran itu adalah sejauh mana rakyat menaruh percaya pada tujuh parameter servant leadership. Pertama, rasa percaya rakyat tentang semangat altruisme para calon, semangat mengorbankan interes pribadi untuk kemaslahatan rakyat banyak. Kedua, rasa percaya rakyat tentang apakah ”mereka” mempunyai ketulusan hati untuk mendengar suara rakyat sekaligus menghargainya. Ketiga, rasa percaya menyangkut apakah ”mereka” mengerti jika sesuatu secara spesifik menimpa rakyat dan bagaimana kejadian itu mempengaruhi kehidupan. Keempat, sejauh mana rakyat datang mengadu dan menggantungkan harapan kepada ”mereka” jika sebuah peristiwa traumatis menimpa rakyat. Kelima, sejauh mana rakyat percaya akan kemampuan ”mereka” mengantisipasi masa depan dengan segala konsekuansinya. Keenam, sejauh mana rakyat yakin akan kesiapan dan ketrampilan organisatoris ”mereka”, apakah ”mereka” mampu membawa perubahan positif bagi daerah kita. Ketujuh, sejauh mana rakyat percaya bahwa ”mereka” memiliki good will dan komitmen untuk mengembangkan dan memberdayakan rakyat melalui jalur dunia pendidikan atau sektor lainnya.
Ketujuh hal di atas menjadi barometer nilai kepemimpinan yang melayani. Ukuran itu berlaku pada semua pasangan calon yang akan berlaga. Ketujuh hal tersebut dapat menjadi ”bekal” bagi masing-masing pasangan yang akan teraktualisasi dalam visi-misi. ”Bekal” itu akan diartikulasikan pada saat kampanye dan dari sanalah rakyat juga dapat mempunyai ”bekal” untuk memotret pasangan calon yang akan menjadi dwitunggal.*

0 komentar: