PANGAN LOKAL: BACK TO BASIC
Benny Obon
Kru KMK & kelompok diskusi filsafat Ledalero
Belakangan ini diskursus pangan lokal ramai dibicarakan, baik ditingkat pusat maupun daerah. Pembicaraan tentang pangan lokal muncul setelah pemerintah mengeluaran Peraturan Presiden (Perpres) No. 22 Tahun 2009 tentang Kebijakan Percepatan Penganekaragaman Konsumsi Pangan Berbasis Sumberdaya lokal. Melalui Perpres tersebut pemerintah berupaya mendorong kebangkitan dan komersialisasi pangan lokal untuk mendukung Percepatan Penganekaragaman Konsumsi Pangan, dan agar masyarakat tidak memberikan kesan inferior terhadap makanan lokal.
Perpres tersebut juga merupakan bukti tanggap pemerintah Indonesia atas berbagai fenomena mondial yaitu krisis pangan, yang telah menyebabkan banyak negara (orang) yang menderita. Badan Pangan Dunia (FAO) pada Maret 2008 mengidentifikasikan bahwa krisis pangan tersebut semakin meluas. FAO melaporkan bahwa saat ini tercatat 36 negara langka pangan. Kelangkaan tersebut telah menyebabkan lahirnya masalah-masalah sosial di beberapa negara, seperti Meksiko, Maroko, Senegal, Uzbekistan, Etiopia, Pantai Gading, Guinea, Mauritania, Yaman, Filipina, dan Korea Utara.
Krisis pangan ini akan terus mengancam negara-negara lain jika tidak segera diatasi, tidak terkecuali Indonesia. Memang negara kita pernah mempunyai prestasi yang luar biasa dalam memenuhi kebutuhan pangan nasional (swasembada beras) yang mendapat pengakuan dari FAO pada 1984. Dan, dari segi jumlah penduduk dan luas lahan pertanian, Indonesia tergolong negara penghasil beras terbesar di dunia setelah China dan India. Namun, kini Indonesia menjadi mengimpor beras (terbesar?). Dan, beberapa waktu lalu rencana impor beras tersebut sempat mengundang sikap pro dan kontra dari beberapa kalangan. Masalah ini pun menjadi kian problematik dengan adanya kebijakan pangan nasional yang justru menciptakan ketergantungan pada beras yang cukup tinggi.
Ketergantungan pada beras yang begitu tinggi di negara kita menyebabkan pemintaan beras terus meningkat. Dalam konteks NTT permintaan beras selalu meningkat setiap tahun. Hal ini diperparah lagi dengan topografi daerah kita yang bukan merupakan areal yang bisa diandalkan untuk produksi beras.
Ketergantungan pada beras yang begitu tinggi membuat masyarakat hanya bergantung pada bantuan pemerintah (itulah sebabnya beribu-ribu ton beras murah selalu didrop ke desa-desa setiap bulan). Dengan ini masyarakat enggan memanfaatkan makanan lain sebagai pengganti beras. Hal ini juga menyebabkan masyarakat tidak kreatif dan tidak mandiri mencari alternatif lain pengganti beras. Kekurangan beras tersebut menyebabkan krisis pangan di daerah kita. Krisis pangan tersebut pada gilirannya akan menimbulkan berbagai penyakit seperti busung lapar dan kurang gizi. Berita tentang busung lapar dan kurang gizi pun selalu menghiasi media massa cetak maupun elektronik di daerah kita.
Berbagai sebab lain seperti kemiskinan dan rendahnya tingkat pendidikan. Masyarakat NTT lebih mengutamakan membeli beras dari pada membiayai pendidikan anaknya. Artinya masyarakat lebih mengutamakan makanan dari pada sekolah, dan orang NTT berpikir kenyang dulu baru sekolah. Dengan ini perhatian pada pendidikan sangat kurang.
Melihat fenomena ini, maka kita harus kembali ke akar – back to basic, memanfaatkan kembali berbagai makanan lokal warisan orangtua/nenek moyang kita. Tentu kita mempunyai cerita tentang makanan orangtua kita dulu. Dan, dari cerita mereka kita mengetahui bahwa dulu mereka jarang mendapatkan beras dan makanan utama mereka adalah jagung dan singkong. Kita juga jarang mendengar cerita tentang gizi buruk dan busung lapar pada masa mereka, karena persediaan makanan cukup banyak.
Lalu, mengapa makanan lokal ini ditinggalkan dan bagaimana upaya kita agar pangan lokal tetap dicintai? Ada satu hal yang perlu dilihat dalam menjawab persoalan ini, yaitu, soal perkembangan zaman.
Perkembangan zaman membawa perubahan dalam pelbagai dimensi hidup manusia baik bidang politik, sosial, religi maupun ekonomi. Perlembangan zaman menggeser pelbagai pola hidup dalam masyarakat. Dalam bidang ekonomi pola dan standar hidup orang setiap waktu berbeda. Kalau dulu orang tua/nenek moyang kita hanya makan jagung/singkong sebagai makanan utama, maka kini itu hanya menjadi makanan ringan. Jagung/singkong tidak lagi dilihat sebagai makanan utama, tetapi hanya sebagai makanan ‘pengantar’ sebelum makan nasi (beras).
Pola konsumsi kita juga berubah oleh cara pandang. Kalau dulu nenek moyang kita makan pagi, siang ataupun malam hanya dengan singkong/jagung, maka kini kita menganggap belum makan kalau hanya makan jagung/singkong. Sebaliknya orang akan mengatakan sudah makan kalau ia sudah makan nasi. Ini semua disebabkan karena cara pandang yang berubah. Kembali ke pangan lokal karena itu berarti berusaha ‘melawan’ dan menyiasati zaman. Oleh karena itu kita tidak boleh didikte oleh perubahan zaman, tetapi mesti peka dan mendikte perkembangan zaman. Artinya kita mesti menjadikan makanan lokal sebagai makanan yang khas dengan cita rasa yang tidak kalah saing dengan makanan ‘modern’. Dengan itu makanan lokal akan tetap eksis sepanjang zaman. Untuk itu kita mesti berusaha/berupaya menjadikan bahan pangan lokal sebagai pilihan alternatif selain beras.
Ada beberapa upaya untuk membangkitkan minat terhadap pangan lokal di daerah kita. Pertama, meningkatkan citra makanan lokal melalui pelbagai cara/variasi pengolahan. Pengolahan makanan lokal menjadi makanan yang diminati sangat penting. Cara pengolahan sangat mempengaruhi minat orang untuk mencicipinya. Karena itu pengolahan yang baik dan variatif tentu sangat diharapkan. Tentu kita tidak hanya mengharapkan agar jagung/singkong misalnya, hanya diolah dengan cara direbus. Ini tentu membosankan. Oleh karena itu kreativitas dalam pengolahan sangat penting.
Umumnya kita kagum dengan penjual/orang Jawa yang kreatif mengolah ubi atau jagung menjadi makanan yang paling disukai, seperti keripik ataupun makanan ringan yang dikemas dalam bungkusan-bungkusan kecil. Bila ditelusuri, ternyata mereka membeli ubi dan jagung dari petani-petani kita. Setelah diolah dan dikemas dalam bungkusan, kita yang menjadi pembelinya. Kelihatannya aneh dan lucu, tetapi inilah kenyataan di NTT. Kalau mereka bisa mengolahnya dengan baik dan mendatangkan uang, mengapa kita tidak bisa? Jadi, persoalannya terletak pada kreativitas kita mengolah makanan lokal menjadi makanan yang disukai (masyarakat).
Kedua, memberdayakan masyarakat melalui usaha kecil menengah (UKM). Dengan ini masyarakat akan semakin rajin dan kreatif dalam meningkatkan cara pengolahan bahan makanan lokal. Misalnya, di Maumere sekarang ada suatu produk makanan yang diberi nama latung (bahasa Manggarai: jagung) yang dijual di Ruteng (mungkin juga ke daerah-daerah lain). Mereka mengolahnya di Maumere dan mengemasnya dalam bungkusan-bungkusan kecil dan paling disukai oleh masyarakat Ruteng. Ini adalah satu cara mengembangkan citra makanan lokal. Karena itu, pemerintah mesti memberdayakan kelompok usaha kecil seperti ini agar tetap bertahan. Usaha seperti ini tidak membutuhkan ketrampilan yang tinggi dan modal yang besar dan dapat membantu menyerap tenaga kerja.
Ketiga, pemerintah perlu mengampanyekan kepada masyarakat pentingnya makanan lokal. Melalui usaha ini pemerintah menegaskan bahwa standar kemakmuran tidak hanya dengan beras, tetapi juga pada makanan lokal lainnya. Dengan ini masyarakat tidak memberikan kesan inferior kepada makanan lokal. Melalui usaha ini juga pemerintah mengajak masyarakat untuk kembali ke akar yang merupakan warisan nenek moyang kita.
Bila perlu pemerintah membuat suatu kebijkan untuk memajukan usaha pertanian melalui pengadaan bibit unggul untuk jagung/singkong. Untuk itu pemerintah (dinas pertanian)) perlu bekerja sama dengan fakultas pertanian Undana, Unkris, SPM Ende atau Unipa Maumere misalnya, turun ke masyarakat untuk membuat penelitian di daerah-daerah tentang keadaan tanah dan cara bertani masyarakat. Hasil penelitian mereka sangat penting untuk langkah-langkah selanjutnya. Pemerintah juga perlu memberikan sosialisasi perihal cara pegolahan tanah kepada masyarakat untuk menghasilkan panen yang limpah. Usaha ini juga bertujuan untuk diversifikasi pangan yang adalah kunci keberhasilan dalam meningkatkan ketahanan pangan (lokal).
Keempat, memberikan pemahaman tentang gizi kepada masyarakat. Dengan usaha ini masyarakat dapat mengetahui bahwa makan tidak hanya soal sampai kenyang dan harus beras, tetapi perlu variasi dengan jenis makanan lainnya. Mengkonsumsi singkong ataupun jagung dapat dijadikan sebagai menu selingan sehingga kemampuan menikmati berbagai jenis makanan yang berbeda menjadi tinggi.
Kita juga perlu membiasakan diri makan nasi campur jagung, dan tentu rasanya luar biasa. Kita tidak perlu langsung mengganti secara total pola konsumsi kita. Tetapi perlahan-lahan akan terbiasa. Berikan pemahaman kepada anak cucu kita bahwa daerah NTT kaya dengan bahan baku pangan lokal.*
Kru KMK & kelompok diskusi filsafat Ledalero
Belakangan ini diskursus pangan lokal ramai dibicarakan, baik ditingkat pusat maupun daerah. Pembicaraan tentang pangan lokal muncul setelah pemerintah mengeluaran Peraturan Presiden (Perpres) No. 22 Tahun 2009 tentang Kebijakan Percepatan Penganekaragaman Konsumsi Pangan Berbasis Sumberdaya lokal. Melalui Perpres tersebut pemerintah berupaya mendorong kebangkitan dan komersialisasi pangan lokal untuk mendukung Percepatan Penganekaragaman Konsumsi Pangan, dan agar masyarakat tidak memberikan kesan inferior terhadap makanan lokal.
Perpres tersebut juga merupakan bukti tanggap pemerintah Indonesia atas berbagai fenomena mondial yaitu krisis pangan, yang telah menyebabkan banyak negara (orang) yang menderita. Badan Pangan Dunia (FAO) pada Maret 2008 mengidentifikasikan bahwa krisis pangan tersebut semakin meluas. FAO melaporkan bahwa saat ini tercatat 36 negara langka pangan. Kelangkaan tersebut telah menyebabkan lahirnya masalah-masalah sosial di beberapa negara, seperti Meksiko, Maroko, Senegal, Uzbekistan, Etiopia, Pantai Gading, Guinea, Mauritania, Yaman, Filipina, dan Korea Utara.
Krisis pangan ini akan terus mengancam negara-negara lain jika tidak segera diatasi, tidak terkecuali Indonesia. Memang negara kita pernah mempunyai prestasi yang luar biasa dalam memenuhi kebutuhan pangan nasional (swasembada beras) yang mendapat pengakuan dari FAO pada 1984. Dan, dari segi jumlah penduduk dan luas lahan pertanian, Indonesia tergolong negara penghasil beras terbesar di dunia setelah China dan India. Namun, kini Indonesia menjadi mengimpor beras (terbesar?). Dan, beberapa waktu lalu rencana impor beras tersebut sempat mengundang sikap pro dan kontra dari beberapa kalangan. Masalah ini pun menjadi kian problematik dengan adanya kebijakan pangan nasional yang justru menciptakan ketergantungan pada beras yang cukup tinggi.
Ketergantungan pada beras yang begitu tinggi di negara kita menyebabkan pemintaan beras terus meningkat. Dalam konteks NTT permintaan beras selalu meningkat setiap tahun. Hal ini diperparah lagi dengan topografi daerah kita yang bukan merupakan areal yang bisa diandalkan untuk produksi beras.
Ketergantungan pada beras yang begitu tinggi membuat masyarakat hanya bergantung pada bantuan pemerintah (itulah sebabnya beribu-ribu ton beras murah selalu didrop ke desa-desa setiap bulan). Dengan ini masyarakat enggan memanfaatkan makanan lain sebagai pengganti beras. Hal ini juga menyebabkan masyarakat tidak kreatif dan tidak mandiri mencari alternatif lain pengganti beras. Kekurangan beras tersebut menyebabkan krisis pangan di daerah kita. Krisis pangan tersebut pada gilirannya akan menimbulkan berbagai penyakit seperti busung lapar dan kurang gizi. Berita tentang busung lapar dan kurang gizi pun selalu menghiasi media massa cetak maupun elektronik di daerah kita.
Berbagai sebab lain seperti kemiskinan dan rendahnya tingkat pendidikan. Masyarakat NTT lebih mengutamakan membeli beras dari pada membiayai pendidikan anaknya. Artinya masyarakat lebih mengutamakan makanan dari pada sekolah, dan orang NTT berpikir kenyang dulu baru sekolah. Dengan ini perhatian pada pendidikan sangat kurang.
Melihat fenomena ini, maka kita harus kembali ke akar – back to basic, memanfaatkan kembali berbagai makanan lokal warisan orangtua/nenek moyang kita. Tentu kita mempunyai cerita tentang makanan orangtua kita dulu. Dan, dari cerita mereka kita mengetahui bahwa dulu mereka jarang mendapatkan beras dan makanan utama mereka adalah jagung dan singkong. Kita juga jarang mendengar cerita tentang gizi buruk dan busung lapar pada masa mereka, karena persediaan makanan cukup banyak.
Lalu, mengapa makanan lokal ini ditinggalkan dan bagaimana upaya kita agar pangan lokal tetap dicintai? Ada satu hal yang perlu dilihat dalam menjawab persoalan ini, yaitu, soal perkembangan zaman.
Perkembangan zaman membawa perubahan dalam pelbagai dimensi hidup manusia baik bidang politik, sosial, religi maupun ekonomi. Perlembangan zaman menggeser pelbagai pola hidup dalam masyarakat. Dalam bidang ekonomi pola dan standar hidup orang setiap waktu berbeda. Kalau dulu orang tua/nenek moyang kita hanya makan jagung/singkong sebagai makanan utama, maka kini itu hanya menjadi makanan ringan. Jagung/singkong tidak lagi dilihat sebagai makanan utama, tetapi hanya sebagai makanan ‘pengantar’ sebelum makan nasi (beras).
Pola konsumsi kita juga berubah oleh cara pandang. Kalau dulu nenek moyang kita makan pagi, siang ataupun malam hanya dengan singkong/jagung, maka kini kita menganggap belum makan kalau hanya makan jagung/singkong. Sebaliknya orang akan mengatakan sudah makan kalau ia sudah makan nasi. Ini semua disebabkan karena cara pandang yang berubah. Kembali ke pangan lokal karena itu berarti berusaha ‘melawan’ dan menyiasati zaman. Oleh karena itu kita tidak boleh didikte oleh perubahan zaman, tetapi mesti peka dan mendikte perkembangan zaman. Artinya kita mesti menjadikan makanan lokal sebagai makanan yang khas dengan cita rasa yang tidak kalah saing dengan makanan ‘modern’. Dengan itu makanan lokal akan tetap eksis sepanjang zaman. Untuk itu kita mesti berusaha/berupaya menjadikan bahan pangan lokal sebagai pilihan alternatif selain beras.
Ada beberapa upaya untuk membangkitkan minat terhadap pangan lokal di daerah kita. Pertama, meningkatkan citra makanan lokal melalui pelbagai cara/variasi pengolahan. Pengolahan makanan lokal menjadi makanan yang diminati sangat penting. Cara pengolahan sangat mempengaruhi minat orang untuk mencicipinya. Karena itu pengolahan yang baik dan variatif tentu sangat diharapkan. Tentu kita tidak hanya mengharapkan agar jagung/singkong misalnya, hanya diolah dengan cara direbus. Ini tentu membosankan. Oleh karena itu kreativitas dalam pengolahan sangat penting.
Umumnya kita kagum dengan penjual/orang Jawa yang kreatif mengolah ubi atau jagung menjadi makanan yang paling disukai, seperti keripik ataupun makanan ringan yang dikemas dalam bungkusan-bungkusan kecil. Bila ditelusuri, ternyata mereka membeli ubi dan jagung dari petani-petani kita. Setelah diolah dan dikemas dalam bungkusan, kita yang menjadi pembelinya. Kelihatannya aneh dan lucu, tetapi inilah kenyataan di NTT. Kalau mereka bisa mengolahnya dengan baik dan mendatangkan uang, mengapa kita tidak bisa? Jadi, persoalannya terletak pada kreativitas kita mengolah makanan lokal menjadi makanan yang disukai (masyarakat).
Kedua, memberdayakan masyarakat melalui usaha kecil menengah (UKM). Dengan ini masyarakat akan semakin rajin dan kreatif dalam meningkatkan cara pengolahan bahan makanan lokal. Misalnya, di Maumere sekarang ada suatu produk makanan yang diberi nama latung (bahasa Manggarai: jagung) yang dijual di Ruteng (mungkin juga ke daerah-daerah lain). Mereka mengolahnya di Maumere dan mengemasnya dalam bungkusan-bungkusan kecil dan paling disukai oleh masyarakat Ruteng. Ini adalah satu cara mengembangkan citra makanan lokal. Karena itu, pemerintah mesti memberdayakan kelompok usaha kecil seperti ini agar tetap bertahan. Usaha seperti ini tidak membutuhkan ketrampilan yang tinggi dan modal yang besar dan dapat membantu menyerap tenaga kerja.
Ketiga, pemerintah perlu mengampanyekan kepada masyarakat pentingnya makanan lokal. Melalui usaha ini pemerintah menegaskan bahwa standar kemakmuran tidak hanya dengan beras, tetapi juga pada makanan lokal lainnya. Dengan ini masyarakat tidak memberikan kesan inferior kepada makanan lokal. Melalui usaha ini juga pemerintah mengajak masyarakat untuk kembali ke akar yang merupakan warisan nenek moyang kita.
Bila perlu pemerintah membuat suatu kebijkan untuk memajukan usaha pertanian melalui pengadaan bibit unggul untuk jagung/singkong. Untuk itu pemerintah (dinas pertanian)) perlu bekerja sama dengan fakultas pertanian Undana, Unkris, SPM Ende atau Unipa Maumere misalnya, turun ke masyarakat untuk membuat penelitian di daerah-daerah tentang keadaan tanah dan cara bertani masyarakat. Hasil penelitian mereka sangat penting untuk langkah-langkah selanjutnya. Pemerintah juga perlu memberikan sosialisasi perihal cara pegolahan tanah kepada masyarakat untuk menghasilkan panen yang limpah. Usaha ini juga bertujuan untuk diversifikasi pangan yang adalah kunci keberhasilan dalam meningkatkan ketahanan pangan (lokal).
Keempat, memberikan pemahaman tentang gizi kepada masyarakat. Dengan usaha ini masyarakat dapat mengetahui bahwa makan tidak hanya soal sampai kenyang dan harus beras, tetapi perlu variasi dengan jenis makanan lainnya. Mengkonsumsi singkong ataupun jagung dapat dijadikan sebagai menu selingan sehingga kemampuan menikmati berbagai jenis makanan yang berbeda menjadi tinggi.
Kita juga perlu membiasakan diri makan nasi campur jagung, dan tentu rasanya luar biasa. Kita tidak perlu langsung mengganti secara total pola konsumsi kita. Tetapi perlahan-lahan akan terbiasa. Berikan pemahaman kepada anak cucu kita bahwa daerah NTT kaya dengan bahan baku pangan lokal.*
0 komentar:
Posting Komentar