Idul Fitri: Tanda Kemenangan Atas Diri Sendiri

Benny Obon Redaktur Pelaksana Majalah Bulanan Anak ‘Kunang-Kunang’ Editor pada Penerbit Nusa Indah Ende Tanggal 19 Agustus yang lalu umat Muslim di seluruh Indonesia merayakan hari Idul Fitri. Idul Fitri kali ini berlangsung dengan baik. Tidak ada pro kontra atau perbedaan tafsiran tentang jatuhnya hari raya Idul Fitri seperti yang terjadi pada tahun lalu. Kemeriahan menyambut hari raya Idul Fitri tampak dimana-mana. Menyambut hari kemenangan telah menjadi tradisi yang diwariskan secara turun-temurun dari generasi ke generasi. Umumnya setiap daerah memiliki cara yang khas menyambut Idul Fitri. Kebanyakan aktivitas tersebut dilakukan pada malam hari ketika takbir dikumandangkan. Di Kota Ende sendiri, semarak malam takbiran menyambut Idul Fitri dimeriahkan dengan Pawai Takbiran. Dengan persiapan yang baik (sejak pembukaan bulan puasa), maka Idul Fitri dapat menjadi hari yang indah dan penuh rahmat. Namun, di atas semuanya itu Idul Fitri tidak sekadar hari yang indah, tetapi lebih dari itu adalah hari kemenangan. Perayaan Idul Fitri kali ini didahului dengan peringatan hari kemerdekaan RI yang ke-67 tepat dua hari sebelumnya. Dengan itu, perayaan Idul Fitri mempunyai titik yang hampir sama dengan perayaan kemerdekaan RI. Dalam konteks seperti ini, keduanya bermuara pada titik yang sama yaitu perayaan kemenangan, perayaan kemerdekaan, perayaan kebebasan. Pertanyaannya: perayaan kemenangan dari apa dan dari siapa? Perayaan Idul Fitri dan kemerdekaan dalam konteks seperti ini lebih dalam kaitan dengan kemenangan atas diri sendiri. Kemenangan atas pelbagai ego dalam diri, atas pelbagai sikap pengkotak-kotakan manusia dalam skope-skope tertentu. Dulu para pejuang berusaha mengusir penjajah, maka sekarang kita berperang dengan diri sendiri, dengan bangsa sendiri. Semangat kemenangan Idul Fitri dan hari kemerdekaan mesti memberanikan kita untuk melawan diri sendiri, melawan setiap usaha ke arah penggerusan nilai-nilai kebangsaan. Merayakan hari kemenangan berarti juga merayakan kehidupan. Kehidupan itu sendiri milik setiap orang, karena itu hemat penulis perayaan hari Idul Fitri sebagai hari kemenangan bukan hanya perayaan bagi kaum Muslim, melainkan juga perayaan kemenangan bagi saya sebagai manusia. Saya menang atas diri saya sebagai manusia. Saya melihat diri melampui diriku sendiri dan aspek kemanusiaan dalam diri saya pun dipancarkan ke luar. Dimensi kesadaran intensionalitas diri tampak dalam konteks seperti ini. Menang atas diri sebagai manusia membuat saya bertemu dengan manusia yang lain dalam perayaan yang sama. Dalam koridor berpikir seperti ini, saya meletakkan semua orang menjadi manusia bukan orang-orang. Memasukkan orang ke dalam bingkai ke-manusia-an berarti saya menjadikan diriku sendiri ada dalam diri orang lain dan diri orang lain ada dalam diri saya. Peleburan diri seperti ini hanya terjadi dalam suatu semangat keterbukaan dan ini akan tampak pada penyebutan kata ‘kita’. Dengan mengacu pada kata ‘kita’, maka aspek kemanusiaan akan semakin tampak dan kompak. Menjadikan ‘kita’ sebagai titik tolak membawa suatu pembaharuan dalam hidup. Dalam arti, pembaharuan dalam cara pandang, cara berpikir, cara bergaul, cara berada dan cara bertutur kata. Dalam ‘kita’, semua orang akan menggunakan pola pikir dan cara pandang yang sama akan sesuatu. Karena itu, cara pandang kaum Muslim terhadap perayaan kemenangan adalah juga menjadi cara pandang saya. Dalam konteks berpikir seperti ini, maka hari Idul Fitri bukan hanya hari kemenangan bagi kaum Muslim, melainkan juga bagi kita semua baik sebagai orang Kristen, Hindu, Budha maupun Konghucu, dll. Karena itu, kita semua berhak merayakan hari Idul Fitri atau hari kemenangan tersebut. Mereka yang bukan Muslim mungkin bertanya: perayaan kemenangan dari apa? Perayaan kemenangan di sini dalam arti menang dari banyak hal. Tetapi yang terutama adalah menang atas diri sendiri. Menang atas diri sendiri berarti kita keluar dari diri sendiri dan menjumpai diri kita sendiri dalam diri orang lain. Tugas ini bukan hal yang mudah, butuh keberanian dan tanggung jawab, kesetiaan dan keterbukaan dari dalam diri sendiri. Untuk mencapai semua itu, kita harus berani keluar dari penjara diri, menanggalkan cara pandang yang lama yang membuat kita selalu terkungkung. Berani keluar dari dalam diri adalah suatu pembebasan dan kemenangan atas diri sendiri. Kita merayakan kemenangan dari cara pandang kita terhadap orang lain, merayakan kemenangan diri sendiri dalam diri orang lain dan kemenangan diri orang lain dalam diri kita. Dengan ini, Idul Fitri sungguh merupakan perayaan kemenangan dan pembebasan dari diri sendiri. Tentang hal ini, filsuf Perancis Emanuel Levinas menggunakan term ‘Yang Tak Berhingga’. Menurut Levinas yang tak berhingga itu adalah orang lain. Ego dalam diri akan pecah dalam perjumpaan dengan orang lain. Ia juga menggunakan term wajah untuk merumuskan hal ini. Wajah merupakan penampilan dari yang tidak berhingga dan melalui wajah yang lain kita akan menghadapi wajah yang lain sama sekali yaitu Tuhan. Dengan memberanikan diri keluar dari penjara diri, maka kita akan berjumpa dengan orang lain. Karena itu, dengan perayaan kemenangan kita mesti berani keluar dari diri kita sendiri. Terdorong oleh semangat ini, maka saat Idul Fitri saya dengan seorang teman mengunjungi dan bersilaturahmi ke berbagai tempat atau rumah kaum muslim. Walaupun kami tidak mengenal seorang muslim pun di Ende kami tetap pergi bersilaturahmi. Pertama-tama kami pergi bersilaturahmi di Pesantren Wali Songo Ende. Suasana persaudaraan sangat terasa di sana. Kemudian kami mengunjungi rumah-rumah warga muslim yang lain. Pengalaman di rumah-rumah warga muslim yang lain sungguh berbeda dengan yang kami alami di Pesantren. Ketika kami memasuki rumah orang yang tidak kami kenal, orang menaruh curiga terhadap kami dan pertanyaan yang sama sekali tidak bernuansa persaudaraan pun bertubi-tubi dilontarkan kepada kami. Setelah memahami maksud kedatangan kami, mereka mempersilakan kami masuk dan diberi minum perjamuan pesta kemenangan berupa air kemasan. Pengalaman yang sama juga kami alami di rumah-rumah warga muslim yang lain. Walaupun demikian, masih ada warga yang menerima dengan senang hati dan terbuka. Apalagi setelah mengetahui latar belakang kami yang adalah orang Katolik. Beberapa orang yang sungguh menyadari arti hidup bersama menerima kami sebagaimana mereka menerima kaum muslim lainnya. Hemat saya mereka sungguh memahami arti hari kemenangan. Hari kemenangan dengan itu tidak hanya berarti perayaan tahunan biasa, tetapi lebih merupakan hari kemenangan atas diri kita sendiri. Hemat saya inilah arti Idul Fitri sebagai hari kemenangan yang sesungguhnya. Idul Fitri sebagai hari kemenangan tidak hanya merupakan pesta bagi kaum Muslim, tetapi juga bagi umat agama lain. Idul Fitri akan membawa orang kepada kemerdekaan dan kedewasaan dalam diri. Kalau hal ini dihidupi oleh seluruh warga negara Indonesia, maka Indonesia akan aman dan sejahtera. Kesejahteraan bangsa niscaya meniadakan penyakit moral bangsa seperti Korupsi, Kolusi dan Nepotisme.*

0 komentar: