Reproduksi Pada Ternak

Erlly Theresia Mariani Tambunan Universitas Jambi, 1. Pendahuluan Reproduksi adalah pembentukan individu baru dari individu yang telah ada dan merupakan cirri khas dari semua organisme hidup. Proses reproduksi diperlukan untuk kelangsungan hidup organisme, dan tanpa reproduksi suatu species akan punah. Kelangsungan individu sebagian species ditujukan untuk memenuhi kemampuan reproduksi yang mutlak bagi kelestarian spesies. Agar terjadinya proses reproduksi seksual, hewan perlu mempunyai organ reproduksi yang mampu menghasilkan gamet, setelah itu harus melalui perkawinan. Organ reproduksi primer pada hewan betina adalah ovarium. Tanpa ovarium pada hewan betina maka hewan tersebut tidak akan memperoleh keturunan atau anak. Pada mamalia betina, fungsi ovarium adalah untuk menjalankan siklus di dalam alam dan ini berkaitan dengan perubahan siklus dalam organ kelamin betina. Di sini penulis memfokuskan diri pada proses pembentukan spermatozoid pada ternak. 2. Pengertian Spermatozoa Spermatozoa di bentuk di dalam testes melalui proses yang disebut spermatogenesis, tetapi mengalami pematangan lebih lanjut di dalam epididimis, di mana sperma disimpan sampai ejakulasi. Spermatogenesis dimulai pada waktu pubertas yaitu saat hewan mencapai dewasa. Pubertas pada ternak jantan muncul pada waktu yang hampir bersamaan dengan ternak betina dalam spesies yang sama. Timbulnya pubertas pada ternak jantan ditandai dengan sifat kelamin sekunder dan kesanggupan berkopulasi dan adanya sperma hidup di dalam ejakuasi. Spermatozoa dihasilkan di dalam tubuli semineferi. Mereka berasal dari spermatogonia epitel germinalis yang terdapat pada lapisan luar tubuli. Pertumbuhan sel-sel ini dengan suatu sel pembelahan mengarah ke lumen tubuh sehingga sel-sel akan melepaskan diri dari sel-sel sekitar dan berubah bentuk dan ciri-cirinya. Spermatozoa adalah sel kecambah yang mana setelah masak ia bergerak melalui epidydimis, dan mampu membuahi ovum setelah terjadinya kapasitasi pada hewan betina. Spermatozoa menjadi aktif bergerak setelah menyentuh bahan-bahan yang disekresikan oleh kelenjar-kelenjar aksesoris (ampula, kelenjar vesicularis, kelenjar prostate, dan kelenjar cowper’s). Meskipun demikian, banyak di antara spermatozoa tersebut mengalami degenerasi dan diserap kembali oleh sel-sel epithelium epididimis dan vas deferens dan banyak pula yang disekresikan dalam urin (Frandson, 1992). Spermatozoid atau sel sperma atau spermatozoa (berasal dari bahsa yunani kuno yang berarti benih dan makhluk hidup) adalah sel dari sistem reproduksi jantan. Sel sperma akan membentuk zigot. Zigot adalah sebuah sel dengan kromosom lengkap yang akan berkembang menjadi embrio. Peran aktif spermatozoa adalah sebagai gamet jantan, sehingga sangat penting dalam menghasilkan individu baru. Karena itu, di dalam reproduksi sering diperlukan adanya standar kualitas spermatozoa (Narato, 2009). Spermatozoa yang normal memiliki kepala, leher, badan dan ekor. Bagian depan dinding kepala (yang mengandung asam dioxyribonucleik, di dalam kromosom), tampak sekitar 2/3 bagian tertutup acrosom. Tempat sambungan dasar acrosom dan kepala disebut cincin nucleus. Di antara kepala dan badan terdapat sambungan pendek, yaitu leher yang berisi centriole proximal, yang kadang-kadang dinyatakan sebagai pusat kenetik aktivitas spermatozoa. Bagian badan dimulai dari leher dan berlanjut ke cincin centriole. Bagian badan dan ekor mampu bergerak bebas, meskipun tanpa kepala. Ekor berupa cambuk, membantu mendorong spermatozoa untuk bergerak maju (Salisbury, 1985). Suatu proses pembentukan sel kelamin jantan berupa sel spermatozoa yang berlangsung di dalam tubuli seminiferi dalam testis disebut spermatogenesis. Spermatogenesis meliputi serangkaian tahapan dalam pembentukan spermatozoa yaitu (Frandson, 1992): 1. Spermatogonia, sel-sel yang pada umumnya terdapat pada perifer tubulus seminiferus, jumlahnya bertambah secara mitosis, suatu tipe pembelahan di mana sel-sel anakan hampir sama dengan sel induk. 2. Spermotosit Primer, dihasilkan oleh spermatogonia, mengalami migrasi menuju ke pusat tubulus dan mengalami pembelahan meiosis di mana kromosom-kromosom bergabung dalam pasangan-pasangan dan kemudian satu dari masing-masing pasangan menuju ke tempat masing-masing dari dua spermatosit sekunder. Jadi, jumlah kromosom dibagi dalam spermatosit sekunder. 3. Dua Spermatosit Sekunder, yang terbentuk dari masing-masing spermatosit primer terbagi secara mitosis menjadi empat spermatid. 4. Masing-masing spermatid mengalami serangkaian perubahan nucleus dan sitoplasma (spermiogenesis) dari sel yang bersifat non motil menjadi sel motil (sel yang mampu bergerak) dengan membentuk flagelum (ekor) untuk membentuk spermatozoa. 5. Spermatozoa adalah sel kelamin jantan yang ukurannya sangat kecil dan memiliki bentuk yang khas yang tidak bertumbuh dan membelah diri. Pada hakikatnya spermatozoa merupakan bagian dari semen. Semen tersebut terbagi menjadi dua bagian yaitu; spermatozoa dan sel-sel jantan yang bersuspensi di dalam suatu cairan yang disebut dengan plasma semen (Toelihere, 1982). Semen berasal dari bahasa Yunani yang berarti biji. Semen dalam ilmu reproduksi diartikan sekresi kelamin jantan yang secara normal di ejakulasikan ke dalam saluran kelamin betina saat kopulasi, dan dapat juga ditampung dalam tempat sementara sebagai inseminasi buatan (Partodiharjo, 1992). Spermatozoa sendiri dihasilkan di dalam testis yang disebut dengan tubuli semiferus, sedangakan plasma semen adalah campuran seksresi yang dibuat oleh epididymis dan kelenjar-kelenjar kelamin pelengkap yaitu kelenjar vasikularis dan kelenjar prostat. Reproduksi sperma atau plasma semen keduanya dikontrol dengan hormon (Toelihere, 1985). Perbedaan anatomik kelenjar kelamin pelengkap pada berbagai jenis hewan menyebabkan pula perbedaan-perbedaan volume dan komposisi semen bagi spesies-spesies tersebut, seperti perbedaan bentuk kepala dari bulat pipih sampai bulat lancip (Iqbal, 2009). Pada hewan yang tidak memiliki epididymis, testis mengambil fungsinya sebagai tempat perkembangan serta maturasi sperma. Pada hewan tersebut sperma yang matang, mempunyai motilitas dan mempunyai kemampuan untuk membuahi sel telur, sedangkan pada hewan yang mempunyai epididymis sperma yang berada pada tubulus seminiferus atau yang dikeluarkan dari testis sebelum motil, notilitasnya baru diperoleh setelah mengalami aktivasi atau pematangan fisiologia di dalam epididymis (Iqbal, 2009). Perkembangan spermatozoa bermula dari tiap spermatogonium bertambah ukurannya dan dinamakan spermatocyte primer. Pada spermatocyt primer, choromosom memendek dan menebal, bentuk spindel dan susunan tetrad secara random pada bidang equatorial. Kemudian dari tetrad menjadi 2 sel dengan n chromosom yang dinamakan spermatocyte sekunder atau 2 n chromatid. Spermatocyte primer kemudian pecah menjadi 4 spermatid masing-masing terdiri chromosom, jumlahnya haploid. Kemudian diikuti pembelahan kedua, tiap spermatid mengalami metamorphose. Ini merupakan gamet yang masak disebut spermatozoa (Narato, 2009). Pembentukan spermatozoa dari spermatogonia di dalam testis disebut spermatogenesis. Proses ini meliputi poliferasi spermatogonia melalui pembelahan mitosis yang terulang dan tumbuh membentuk spermatocyte primer, kemudian melalui pembelahan reduksi (meiosis) membentuk spermatocyte sekunder. Spermatozoit sekunder membelah menjadi spermatid yang mengadakan metamorphose menjadi gamet yang “motile” (dapat bergerak) dan mempunyai potensi fungsional yang dinamakan spermatozoa. Proses metamorphose spermatid sering dinamakan “spermatogenesis” (Narato, 2009). 3. Susunan Fungsional Organ Reproduksi Pada Hewan Pada hewan yang masih primitif, jaringan yang menghasilkan sel gamet tersusun menyebar. Jaringan ini terdiri atas sejumlah lokus yang berfungsi untuk memperbanyak sel kelamin. Pada hewan yang perkembangannya sudah maju, bentuk dan lokasi gonad sudah lebih jelas terletak simetris bilateral dan biasanya organ tersebut berpasangan. Ovarium dan testis merupakan organ penghasil gamet yang terbentuk melalui gametogenesis. Gamet dihasilkan dari sel khusus yaitu sel benih primordial yang terdapat dalam gonad. Gamet ini selanjutnya akan berkembang menjadi sel benih. 4. Tahap Perkembangan Spermatozoa (dengan Pewarnaan) 1. Rete Testis Rete testes merupakan fase awal perkembangan spermatozoa, di mana bentuk sperma pada bagian tersebut belum sempurna. Karena itu, jumlah sperma yang masih hidup juga lebih banyak dibandingkan dengan jumlah yang telah mati. Hal ini terlihat pada sedikitnya bagian preparat yang terwarnai oleh eosin. Hal ini sesuai dengan pendapat Narato (2009) yang menyatakan bahwa untuk melakukan uji motilitas, dapat dilakukan pewarnaan eosin, di mana jika eosin dipertemukan dengan sperma yang masih hidup, maka cairan eosin tidak dapat masuk ke sperma. Sedangkan jika sperma mati kemungkinan selaputnya juga rusak, maka eosin dapat masuk ke tubuh sperma, sehingga akan berwarna kemerah-merahan. Ada berbagai faktor yang dapat menyebabkan matinya spermatozoa di dalam saluran reproduksi, di antaranya yaitu, adanya perbedaan kemampuan dari masing-masing sperma untuk hidup, suhu yang terlalu tinggi karena sperma hanya dapat hidup pada suhu yang lebih rendah dari suhu tubuh. Hal ini sesuai dengan pendapat Narato (2009) yang menyatakan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi viabilitas dari sperma yaitu kemampuan spermatozoa hidup secara normal setelah keluar dari testis hanya berkisar 1-2 menit. Selain itu, faktor suhu juga dapat mempengaruhi daya hidup dari sperma. Kemampuan hidup (viabilitas) spermatozoa sangat dipengaruhi oleh suhu dan secara umum akan hidup lebih lama dalam suhu rendah. 2. Caput Epididymis Pada caput epididymis terjadi perkembangan yang lebih lanjut dari spermatozoa tersebut. Pada caput epididymis terlihat perkembangan preacrosom menjadi acrosom di mana dapat terlihat bahwa acrosom semakin membesar. Acrosom tersebut kemudian akan menjadi pelindung bagi kepala sperma. Hal ini sesuai dengan pendapat Diah (2009) bahwa Caput epididymis adalah kepala, yang merupakan tempat bermuara ductuli eferentes. Pada caput, perkembangan spermatozoa berada pada fase tutup, di mana pada fase ini merupakan saat gembungan akrosom makin besar, membentuk lipatan tipis melingkupi bagian kutub yang bakal jadi bagian depan. Akhirnya terbentuk semacam tutup spermatozoon. Dari pewarnaan eosin pada sperma yang berasal dari caput epididymis, terlihat bahwa jumlah sperma yang mati masih dalam jumlah yang sedikit, hal ini terlihat dengan sedikitnya sperma yang terwarnai. Sperma yang telah mati akan bersifat basa sehingga dengan pemberian pewarna eosin yang sifatnya asam akan menyebabkan daya tarik menarik, sehingga sperma yang mati akan terwarnai. Hal ini sesuai dengan pendapat Narato (2009) bahwa pewarna eosin digunakan karena mempunyai sifat asam sehingga mampu mendeteksi sperma yang bersifat basa hidup atau tidak. Jika eosin dipertemukan dengan sperma yang masih hidup maka cairan eosin tidak dapat masuk ke sperma. Hal ini dikarenakan selaput sperma yang sama asamnya dengan eosin sehingga yang terjadi adalah tolak-menolak di antara keduanya. Sedangkan jika sperma mati kemungkinan selaputnya juga rusak, maka eosin dapat masuk ke tubuh sperma. 3. Corpus Epididymis Pada corpus epididymis terbentuk sperma yang lebih sempurna, di mana spermatid mengalami metamorphosis dan membentuk kepala, leher dan ekor yang tersusun dari materi seluler. Hal ini sesuai dengan pendapat oleh Diah (2009) bahwa masing-masing spermatid mengalami metamorfosis menjadi spermatozoon. Inti material memadat pada satu bagian dari sel membentuk kepala dari spermatozoon, sedangkan sisanya memanjang membentuk ekor spermatozoon. Acrosom, sebuah topi yang mengelilingi kepala spermatozoon, tersusun dari aparatus golgi spermatid. Selama pembentukan ekor spermatozoon, terjadi pelepasan cytoplasma, terlihat adanya cytoplasmic droplet pada daerah leher spermatozoa. Dari pewarnaan spermatozoa pada bagian corpus epididymis, maka terlihat jumlah sel sperma yang mati atau tingkat motilitas/viabilitas pada bagian ini lebih tinggi dari pada saluran yang lainnya. Hal ini disebabkan karena daya tahan sperma yang menurun setelah bergerak dari rete testes. Selain itu, terjadi persaingan antara sperma yang lain untuk mencapai ejakulasi dan membuahi ovum sehingga akhirnya banyak sperma yang mati. Hal ini terlihat dari jumlah sperma yang terwarnai lebih banyak. Hal ini sesuai dengan pendapat Salisbury (1985) yang menyatakan bahwa berdasarkan penelitian spermatozoa yang diambil dari caput, corpus dan cauda epididymis, dinyatakan bahwa semakin lama maka jumlah spermatozoa yang hidup akan berkurang tetapi pergerakan sperma akan semakin kuat. 4. Cauda Epididymis Spermatozoa yang terdapat pada cauda lebih matang atau lebih tua dibandingkan dengan sperma yang terdapat pada bagian epididymis yang lainnya. Hal ini terlihat dari bentuk sperma pada cauda epididymis yang lebih sempurna dibandingkan bagian yang lainnya. Hal ini sesuai dengan pendapat Salisbury (1985) yang menyatakan bahwa pada caput epididymis terdapat spermatozoa yang lebih muda dibandingkan dengan spermatozoa pada cauda epididymis yang lebih tua dan telah masak. Pewarnaan eosin pada sperma selain dapat melihat tingkat viabilitas atau motilitasnya juga dapat melihat pergerakan sperma yang telah mati. Pergerakan sperma pada bagian cauda epididymis lebih kuat dibandingkan dengan bagian lain. Hal ini sesuai dengan pendapat Salisbury (1985), yang menyatakan bahwa dengan teknik pewarnaan, selain dapat melihat viabilitas atau motilitas sperma pada saluran reproduksi, juga dapat mengetahui pergerakan seluruh bagian spermatozoa. Selanjutnya Salisbury (1985) menjelaskan bahwa gerakan paling kuat beradasal dari caput epididymis dan yang paling lemah adalah sperma yang berasal dari caput epididymis. 5. Vas Deferens Keadaan sperma pada bagian ini telah sempurna dan telah siap untuk ejakulasi karena telah tercampur dengan materi-materi lain hasil sekresi kelenar pelengkap, sehingga membentuk semen. Hal ini sesuai dengan pendapat Diah (2009) yang menyatakan bahwa pada saluran vas deferens terjadi penampungan spermatozoa, sehingga akan terbentuk semen. Semen terdiri atas cairan yang berasal dari vas deferens (kira-kira 10% dari keseluruhan sperma), cairan dari vestikula seminalis (kira-kira 60%), cairan dari kelenjar prostat (kira-kira 30%), dan sejumlah kecil cairan dari dari kelenjar mukosa. Jumlah spermatozoa yang terdapat pada bagian ini semakin sedikit terlihat dari bagian yang terwarnai oleh eosin yang lebih banyak. Hal ini disebabkan karena jumlah sperma yang mati meningkat sehingga sperma tersebut menyerap zat warna dan akhirnya berwarna kemerah-merahan. Hal ini sesuai dengan pendapat Narato (2009) bahwa jika eosin dipertemukan dengan sperma yang masih hidup, maka cairan eosin tidak dapat masuk ke sperma. Hal ini dikarenakan selaput sperma mempunyai asam yang sama dengan eosin, sehingga terjadi tolak-menolak. Sedangkan, jika sperma mati kemungkinan selaputnya juga rusak, maka eosin dapat masuk ke tubuh sperma. 3. Penutup Sistem reproduksi ternak cukup rumit dan berbeda sesuai dengan jenis kelamin setiap ternak. Sistem reproduksi ternak jantan terdiri atas sepasang testes, saluran-saluran reproduksi (epididimis, vas deferens, ampula, urethra) dan alat kelamin luar (penis, preputium, scrotum). Testes merupakan alat kelamin utama karena menghasilkan sel-sel kelamin jantan/spermatozoa (bersifat sitigenik) sekaligus memproduksi hormon androgen (bersifat endokrin) Epididimis yang berfungsi sebagai tempat transportasi spermatozoa dari testes ke uretra, tempat pemasakan/pendewasaan spermatozoa. Vas deferens sebagai saluran yang menghubungkan epididimis dengan uretra. Uretra berfungsi sebagai saluran urine dan semen. Ternak betina memiliki organ reproduksi yang terdiri dari beberapa macam organ, di mana setiap organ memiliki fungsinya masing-masing yang saling mendukung. Organ-organ reproduksi ternak yang sangat penting dan memiliki peran dalam proses reproduksi ternak yaitu Ovari, Tuba Falopii (Oviduct), Uterus, Serviks dan Vagina. Organ-organ ini merupakan organ vital pada alat reproduksi ternak betina. Daftar Pustaka http://4.blogspot.com/_FJul1GWSQR2s/TPXL-37916I/AAAAAM/jFEQ3Dex/s1600/reproduksi+jantan/ Isnaeni, Wiwi. Fisiologi Hewan. Yogyakarta: Kanisius, 2006. Priyono, S.Pt. Mengenal Organ Reproduksi Ternak Betina. R., Fadlan. Organ Reproduksi Jantan.

0 komentar:

PERTUMBUHAN DAN PERKEMBANGAN KAMBING DAN DOMBA

Erlly Theresia Mariani Tambunan Universitas Jambi 1. Pendahuluan Kambing dan domba merupakan binatang yang tampaknya hampir sama. Usaha peternakan kambing dan domba dapat membawa hasil yang memuaskan kalau dikeola secara baik. Pengelolaan tersebut bukan hal yang mudah. Dalamnya peternak atau pengelola mesti memahami dengan sungguh seluk-beluk kambing dan domba. Artinya, peternak tidak sekadar memelihara domba atau kambing, tetapi perlu menentukan bibit yang baik, membangun kandang yang baik, menyiapkan lahan yang khusus untuk menanam rumput untuk makanan kambing dan domba. Dewasa ini, usaha peternakan kambing dan domba di Indonesia belum diminati oleh banyak orang. Hal ini bisa jadi disebabkan karena pasarannya belum pasti. Namun, usaha peternakan domba dan kambing sangat menjanjikan kalau ditekuni dengan baik. Kambing dan domba dipelihara secara khusus untuk diambil daging, susu dan bulunya. Karena itu, usaha peternakan kambing dan domba dapat membawa keuntungan yang besar kalau ditekuni dengan baik. Itu semua mengandaikan peternak memperhatikan dan merawat kambing dan domba dengan baik, menjaga pertumbuhan dan perkembangannya dengan baik. Domba dan kambing yang bertumbuh dan berkembang dengan baik akan menghasilkan daging yang banyak dan bulu yang banyak. Pertumbuhan dan perkembangan kambing dan domba sangat dipengaruhi oleh cara merawat atau memelihara seperti cara memberikan makanan, cara membangun kandang yang sehat, cara memberikan obat waktu kambing dan domba sakit. Kelalaian dalam merawat akan mempengaruhi nilai ekonomisnya. Demikianpun sebaliknya, perawatan yang baik akan membuat kambing dan domba bertumbuh dan berkembang dengan baik, dan pada gilirannya membawa nilai ekonomis yang memuaskan. 2. Pertumbuhan dan Perkembangan Domba dan Kambing Pertumbuhan kambing dan domba adalah pertambahan dalam bentuk dan berat jaringan-jaringan pembangun, seperti urat daging, tulang otak, jantung dan semua jaringan tubuh (kecuali jaringan lemak) serta alat-alat tubuh lainnya. Dalam istilah pertumbuhan juga terdapat term pertumbuhan murni, yaitu penambahan dalam jumlah protein dan zat-zat mineral, sedangkan pertambahan akibat penimbunan lemak atau penimbunan air bukanlah pertumbuhan murni (Anggorodi, 1979). Dalam pertumbuhan dan perkembangan kambing dan domba, pertumbuhan itu sendiri tidak sekadar meningkatnya berat badan domba, tetapi juga menyebabkan konformasi oleh perbedaan tingkat pertumbuhan komponen tubuh, dalam hal ini urat daging dari karkas atau daging yang akan dikonsumsi manusia (Parakkasi, 1995). 2.1. Karakter Kambing dan Domba 2.1.1. Karakter Kambing Ternak kambing merupakan salah satu jenis ternak yang cukup digemari masyarakat, namun skala usahanya masih bersifat usaha kecil-kecilan di mana sistem pemeliharaan dan perkembangbiakannya masih secara tradisional. Pemeliharaan kambing secara lepas (tradisional) umumnya sebagai usaha sambilan bagi masyarakat peternak, meskipun ada juga yang menjadikan sebagai mata pencaharian pokok. Ternak kambing merupakan salah satu jenis ternak yang mem-punyai prospek untuk dikembangkan karena hanya memerlukan sarana dan sistem pemeliharaan yang relatif sederhana (Liwa, 1992) serta dapat beradaptasi dengan lingkungan dan jenis pakan (French, 1970; Williamson dan Payne, 1993; Haryanto, 1993; Wodzicka, 1993; Devendra dan Burns, 1994). Kendala-kendala yang dihadap peternak umumnya adalah kurangnya pengetahuan tentang pengenalan ciri-ciri bibit kambing yang baik untuk dikembangkan sehingga dapat mencapai produksi yang optimal. Shandi et al. (1989) mengemukakan bahwa kendala dalam program peningkatan produktivitas ternak kambing adalah terbatasnya data dasar, baik reproduksi maupun produksi ternak kambing. Salah satu kriteria untuk mengukur tingkat produktivitas pada ternak kambing adalah mampu menghasilkan anak yang mempunyai pertambahan berat badan yang tinggi dimana biasanya sangat dipengaruhi oleh umur induk dan berat lahir (Campbell and Lasley, 1985). Namun pertumbuhan ternak dipengaruhi oleh berbagai faktor di antaranya bangsa, jenis kelamin, makanan, kesehatan dan lain-lain (Soeparno, 1992). Umur induk berpengaruh terhadap berat lahir (Braford, 1972 dalam Setiadi, 1989) dan produksi susu serta pertumbuhan selanjutnya sampai ternak disapih. Kambing merupakan binatang memamah biak yang berukuran sedang. Kambing ternak (Capra aegagrus hircus) adalah subspesies kambing liar yang secara alami tersebar di Asia Barat Daya (daerah “Bulan sabit yang subur” dan Turki) dan Eropa. Kambing liar jantan maupun betina memiliki tanduk sepasang, namun tanduk pada kambing jantan lebih besar. Beberapa bangsa kambing yang banyak digemari peternak di Jawa Timur adalah Kambing kacangan, Kambing peranakan Etawa dan Kambing Saanen. Kambing kacangan mempunyai ciri-ciri: badan kecil dan pendek; telinga pendek dan tegak; jantan dan betinanya bertanduk, bobot badan jantan dewasa sekitar 25 kg, sedangkan betinanya 20 kg. Kambing peranakan Etawa mempunyai ciri-ciri: hidung melengkung, jantan dan betinanya bertanduk, telinganya panjang dan terkulai, di garis belakang dari kaki belakang terdapat bulu panjang, ambing besar, warna bulu belang hitam putih atau merah, atau coklat putih. Kambing Saanen mempunyai ciri-ciri: jantan dan betina tidak bertanduk, warna putih atau crem pucat, hidung, telinga dan ambing belakang hitam, telinga sedang dan tegak. Umumnya, kambing mempunyai jenggot, dahi cembung, ekor agak ke atas, dan kebanyakan berbulu lurus dan kasar. Panjang tubuh kambing liar, tidak termasuk ekor, adalah 1,3 meter – 1,4 meter, sedangkan ekornya 12 sentimeter – 15 sentimeter. 2.1.2. Pemeliharaan Pertumbuhan Pertumbuhan dan perkembangan kambing sangat dipengaruhi oleh cara pemeliharaan. Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam pemeliharaan pertumbuhan kambing antara lain yaitu (1) kambing betina mulai dewasa pada umur 8-14 bulan, tetapi saat itu belum boleh dikawinkan; (2) umur yang baik mulai mengawinkan adalah umur 15-18 bulan; (3) untuk menghindari perkawinan muda mulai umur 5 bulan kambing betina harus dipisahkan dengan kambing jantan; (4) waktu hari panas kambing-kambing dimandikan satu minggu sekali untuk menjaga gangguan penyakit kulit dan biarkan berjemur setelah dimandikan; dan (5) perawatan kuku perlu diperhatikan, oleh karenanya bila kuku sudah panjang harus dilakukan pemotongan dengan memakai gergaji halus. Bobot yang betina 50 kilogram – 55 kilogram, sedangkan yang jantan bisa mencapai 120 kilogram. Kambing liar tersebar dari Spanyol ke arah timur sampai India, dan dari India ke utara sampai Mongolia dan Siberia. Habitat yang disukainya adalah daerah pegunungan yang berbatu-batu. Pada dasarnya Kambing dan domba mencapai pubertas yang hampir sama yaitu pada umur 5-7 bulan. Panjang siklus berahi kambing dan antara 18-22 hari atau dengan rata-rata 21 hari dengan lama berahi 24-48 jam. Kambing mengalami ovulasi menjelang akhir estrus atau sekitar 24-26 jam setelah berahi. Tiap ovulasi kambing mengovulasikan 1-3 sel telur Kambing dan mengalami partus atau melahirkan pada umur 150 hari kebuntingan Kidding dan kambing interval pada kambing dan domba mencapai 240 hari dengan indek reproduksi kambing dan domba betina mencapai 1,6 anak/betina/tahun. 2.2. Karakter Domba Domba atau biri-biri (Ovis) adalah ruminansia dengan rambut tebal dan dikenal orang banyak karena dipelihara untuk dimanfaatkan rambut (disebut wol), daging, dan susunya. Yang paling dikenal orang adalah domba peliharaan (Ovis aries), yang diduga keturunan dari moufflon liar dari Asia Tengah selatan dan barat-daya. Untuk tipe lain dari domba dan kerabat dekatnya, lihat kambing antilop. Pada domba dengan umur 2,5 bulan, pertumbuhan absolut akan berjalan lambat. Sementara pada umur 2,5 bulan sampai dengan masa pubertas, terjadi kenaikan pertumbuhan yang cepat dan saat domba mencapai pubertas, terjadi kembali perlambatan pertumbuhan dan kurva akan menjadi lebih landai pada saat mencapai titik balik (Anggorodi, 1979). Pertumbuhan dan perkembangan domba yang baik sangat dipengaruhi oleh cara pemeliharaan, seperti pemberian makanan, pengobatan dan juga pengaturan perkawinannya. Untuk menghasilkan domba yang sehat dan baik perlu diperhatikan beberapa hal; 1. Bagi domba betina dewasa hendaknya dikawinkan pertama kali pada umur 10-12 bulan, sedangkan jantan muda dapat digunakan sebagai pemacek pertama kali pada umur 12 bulan. 2. Waktu yang baik untuk mengawinkan kambing 12-18 jam setelah terlihat tanda pertama berahi. Dapat pula dipakai pedoman seperti pada perkawinan ternak sapi. 3. Pemeriksaan kebuntingan seperti pada ternak sapi. Kebuntin¬gan ternak domba sekitar 150 hari atau lima bulan. 4. Perlakuan pada anak domba yang baru lahir: - Bersihkan lendir yang terdapat dalam hidungnya dengan cara menggelitik dalam hidungnya dengan seutas jerami atau pegang kaki belakang kemudian ayun-ayunkan dengan hati-hati - Biarkan induknya menjilat anaknya sampai kering - Setelah anak lahir maka anak segera menyusu pada induknya. 5. Perkawinan kembali dapat dilakukan setelah anaknya disapih, yaitu umur delapan minggu. Hal-hal tersebut harus diperhatian agar domba dapat menghasilkan bibit yang baik. Bibit yang baik adalah bibit yang sehat dan tidak mempunyai cacat dalam tubuhnya. 3. Hal-Hal Yang Dapat Meningkatkan Perkembangan Domba dan Kambing 3.1. Memilih calon bibit induk Pemilihan bibit yang baik akan sangat menentukan perkembangan domba dan kambing. Ada dua hal yang harus diperhatikan di sini, yaitu, pertama, sifat luar, seperti, sehat, tidak terlalu gemuk dan cacat; kaki lurus dan normal; alat kelamin normal; mempunyai sifat keibuan (selalu bersedia menyusui); bulu bersih dan mengkilat. Kedua, kemampuan beranak. Yang penting di sini adalah jarak beranak¬nya yaitu 7-8 bulan. 3.2. Persediaan Pakan Hijauan/Pengadaan bahan konsentrat Biaya pakan konsentrat digunakan untuk pembelian pakan sesuai kebutuhan. Pakan konsentrat bisa dibeli dalam bentuk jadi maupun dapat dibeli dalam bentuk bahan makanan misalnya, dedak, bekatul, jagung dan lain-lain. Pakan konsentrat digunakan untuk memberi makan terhadap pemeliharaan induk domba, anakan yang dihasilkan dan untuk membesarkan domba selama 4 bulan. Pakan tambahan yang biasa di gunakan Diantaranya seperti batang jagung, lobak, apel, labu, selada, kubis, brokoli, seledri, dan roti bekas atau sisa, dan untuk mendapatkan beberapa hal ini sangat simple tinggal hubungi toko kelontong terdekat untuk beberapa item makanan dibuang. Kami telah menggunakan sisa bijian jagung bebas dari biji-bijian jagung kebun tetangga. 3.3. Membangun Kandang dan Gudang Makanan Kandang digunakan untuk ternak induk, ternak bibit, ternak yang melahirkan dan menyusui anaknya. Gudang makanan digunakan untuk menyimpan makanan ternak domba dan kambing maupun perlengkapan lainnya. Umumnya pemberian pakan domba dan kambing tidak selalu sama. Hal ini harus sesuai dengan usia kambing dan domba tersebut. Selanjutnya, pemberian makan ini mempengaruhi kambing dan domba untuk berkembang lebih baik. 4. Penutup Kegiatan pengembangan domba dan kambing merupakan salah satu upaya yang penting untuk meningkatkan ekonomi masyarakat. Selain itu, dapat memenuhi permintaan masyarakat akan kebutuhan daging kambing dan domba. Karena itu, penanganannya diperlukan secara terpadu dari berbagai instansi terkait. Dalam arti pemerintah perlu membantu masyarakat untuk mengembangkan usaha ternak domba dan kambing. Peran pemerintah sangat penting dalam pendampingan, agar peternak dapat mengembangkan domba dan kambing dengan baik. Dengan demikian domba dan kambing dapat bertumbuh dan berkembang dengan baik. Berhasil tidaknya usaha ternak domba dan kambing sangat dipengaruhi oleh cara masyarakat memeliharanya. Hal ini juga sangat dipengaruhi oleh tingkat pendidikan atau pengetahuan mereka akan tekhnik-tekhnik memelihara kambing dan domba. Di sinilah letak peran pemerintah untuk memberikan penyuluhan tentang seluk-beluk memelihara kambing dan domba. Usaha mengembangkan ternak domba dan kambing sangat penting dilakukan. Sektor peternakan menjadi salah satu andalan pembangunan nasional maupun regional dalam penyediaan lapangan kerja, peningkatan kesejahteraan masyarakat, mengurangi kemiskinan, penyediaan produksi kebutuhan pangan dan perolehan devisa (Juanda, 2002). Daftar Pustaka http://www.ojimori.com/2011/06/10/reproduksi-kambing-dan-domba/ http://www.iptek.net.id/ind/warintek/?mnu=6&ttg=4&doc=4a7/ Muyassi, Analisis Potensi Sumber Daya Lahan Untuk Pengembangan Peternakan Kabupaten Aceh Besar. Purnomo Mangku (et.all), Kajian Pengembangan Kawawan Agroforestry Domba Ekor Gemuk (DEG) Di Kabupaten Ponorogo, AGRITEK VOL. 17 NO. 4 JULI 2009. Sjamsuddin Garantjang, Pertumbuhan Anak Kambing Kacang Pada Berbagai Umur Induk Yang Dipelihara Secara Tradisional, Jurnal Sains dan Teknologi, Universitas Hasanuddin, Makassar, April 2004, Vol. 4 No.1:40-45.

0 komentar: