Reproduksi Pada Ternak

Erlly Theresia Mariani Tambunan Universitas Jambi, 1. Pendahuluan Reproduksi adalah pembentukan individu baru dari individu yang telah ada dan merupakan cirri khas dari semua organisme hidup. Proses reproduksi diperlukan untuk kelangsungan hidup organisme, dan tanpa reproduksi suatu species akan punah. Kelangsungan individu sebagian species ditujukan untuk memenuhi kemampuan reproduksi yang mutlak bagi kelestarian spesies. Agar terjadinya proses reproduksi seksual, hewan perlu mempunyai organ reproduksi yang mampu menghasilkan gamet, setelah itu harus melalui perkawinan. Organ reproduksi primer pada hewan betina adalah ovarium. Tanpa ovarium pada hewan betina maka hewan tersebut tidak akan memperoleh keturunan atau anak. Pada mamalia betina, fungsi ovarium adalah untuk menjalankan siklus di dalam alam dan ini berkaitan dengan perubahan siklus dalam organ kelamin betina. Di sini penulis memfokuskan diri pada proses pembentukan spermatozoid pada ternak. 2. Pengertian Spermatozoa Spermatozoa di bentuk di dalam testes melalui proses yang disebut spermatogenesis, tetapi mengalami pematangan lebih lanjut di dalam epididimis, di mana sperma disimpan sampai ejakulasi. Spermatogenesis dimulai pada waktu pubertas yaitu saat hewan mencapai dewasa. Pubertas pada ternak jantan muncul pada waktu yang hampir bersamaan dengan ternak betina dalam spesies yang sama. Timbulnya pubertas pada ternak jantan ditandai dengan sifat kelamin sekunder dan kesanggupan berkopulasi dan adanya sperma hidup di dalam ejakuasi. Spermatozoa dihasilkan di dalam tubuli semineferi. Mereka berasal dari spermatogonia epitel germinalis yang terdapat pada lapisan luar tubuli. Pertumbuhan sel-sel ini dengan suatu sel pembelahan mengarah ke lumen tubuh sehingga sel-sel akan melepaskan diri dari sel-sel sekitar dan berubah bentuk dan ciri-cirinya. Spermatozoa adalah sel kecambah yang mana setelah masak ia bergerak melalui epidydimis, dan mampu membuahi ovum setelah terjadinya kapasitasi pada hewan betina. Spermatozoa menjadi aktif bergerak setelah menyentuh bahan-bahan yang disekresikan oleh kelenjar-kelenjar aksesoris (ampula, kelenjar vesicularis, kelenjar prostate, dan kelenjar cowper’s). Meskipun demikian, banyak di antara spermatozoa tersebut mengalami degenerasi dan diserap kembali oleh sel-sel epithelium epididimis dan vas deferens dan banyak pula yang disekresikan dalam urin (Frandson, 1992). Spermatozoid atau sel sperma atau spermatozoa (berasal dari bahsa yunani kuno yang berarti benih dan makhluk hidup) adalah sel dari sistem reproduksi jantan. Sel sperma akan membentuk zigot. Zigot adalah sebuah sel dengan kromosom lengkap yang akan berkembang menjadi embrio. Peran aktif spermatozoa adalah sebagai gamet jantan, sehingga sangat penting dalam menghasilkan individu baru. Karena itu, di dalam reproduksi sering diperlukan adanya standar kualitas spermatozoa (Narato, 2009). Spermatozoa yang normal memiliki kepala, leher, badan dan ekor. Bagian depan dinding kepala (yang mengandung asam dioxyribonucleik, di dalam kromosom), tampak sekitar 2/3 bagian tertutup acrosom. Tempat sambungan dasar acrosom dan kepala disebut cincin nucleus. Di antara kepala dan badan terdapat sambungan pendek, yaitu leher yang berisi centriole proximal, yang kadang-kadang dinyatakan sebagai pusat kenetik aktivitas spermatozoa. Bagian badan dimulai dari leher dan berlanjut ke cincin centriole. Bagian badan dan ekor mampu bergerak bebas, meskipun tanpa kepala. Ekor berupa cambuk, membantu mendorong spermatozoa untuk bergerak maju (Salisbury, 1985). Suatu proses pembentukan sel kelamin jantan berupa sel spermatozoa yang berlangsung di dalam tubuli seminiferi dalam testis disebut spermatogenesis. Spermatogenesis meliputi serangkaian tahapan dalam pembentukan spermatozoa yaitu (Frandson, 1992): 1. Spermatogonia, sel-sel yang pada umumnya terdapat pada perifer tubulus seminiferus, jumlahnya bertambah secara mitosis, suatu tipe pembelahan di mana sel-sel anakan hampir sama dengan sel induk. 2. Spermotosit Primer, dihasilkan oleh spermatogonia, mengalami migrasi menuju ke pusat tubulus dan mengalami pembelahan meiosis di mana kromosom-kromosom bergabung dalam pasangan-pasangan dan kemudian satu dari masing-masing pasangan menuju ke tempat masing-masing dari dua spermatosit sekunder. Jadi, jumlah kromosom dibagi dalam spermatosit sekunder. 3. Dua Spermatosit Sekunder, yang terbentuk dari masing-masing spermatosit primer terbagi secara mitosis menjadi empat spermatid. 4. Masing-masing spermatid mengalami serangkaian perubahan nucleus dan sitoplasma (spermiogenesis) dari sel yang bersifat non motil menjadi sel motil (sel yang mampu bergerak) dengan membentuk flagelum (ekor) untuk membentuk spermatozoa. 5. Spermatozoa adalah sel kelamin jantan yang ukurannya sangat kecil dan memiliki bentuk yang khas yang tidak bertumbuh dan membelah diri. Pada hakikatnya spermatozoa merupakan bagian dari semen. Semen tersebut terbagi menjadi dua bagian yaitu; spermatozoa dan sel-sel jantan yang bersuspensi di dalam suatu cairan yang disebut dengan plasma semen (Toelihere, 1982). Semen berasal dari bahasa Yunani yang berarti biji. Semen dalam ilmu reproduksi diartikan sekresi kelamin jantan yang secara normal di ejakulasikan ke dalam saluran kelamin betina saat kopulasi, dan dapat juga ditampung dalam tempat sementara sebagai inseminasi buatan (Partodiharjo, 1992). Spermatozoa sendiri dihasilkan di dalam testis yang disebut dengan tubuli semiferus, sedangakan plasma semen adalah campuran seksresi yang dibuat oleh epididymis dan kelenjar-kelenjar kelamin pelengkap yaitu kelenjar vasikularis dan kelenjar prostat. Reproduksi sperma atau plasma semen keduanya dikontrol dengan hormon (Toelihere, 1985). Perbedaan anatomik kelenjar kelamin pelengkap pada berbagai jenis hewan menyebabkan pula perbedaan-perbedaan volume dan komposisi semen bagi spesies-spesies tersebut, seperti perbedaan bentuk kepala dari bulat pipih sampai bulat lancip (Iqbal, 2009). Pada hewan yang tidak memiliki epididymis, testis mengambil fungsinya sebagai tempat perkembangan serta maturasi sperma. Pada hewan tersebut sperma yang matang, mempunyai motilitas dan mempunyai kemampuan untuk membuahi sel telur, sedangkan pada hewan yang mempunyai epididymis sperma yang berada pada tubulus seminiferus atau yang dikeluarkan dari testis sebelum motil, notilitasnya baru diperoleh setelah mengalami aktivasi atau pematangan fisiologia di dalam epididymis (Iqbal, 2009). Perkembangan spermatozoa bermula dari tiap spermatogonium bertambah ukurannya dan dinamakan spermatocyte primer. Pada spermatocyt primer, choromosom memendek dan menebal, bentuk spindel dan susunan tetrad secara random pada bidang equatorial. Kemudian dari tetrad menjadi 2 sel dengan n chromosom yang dinamakan spermatocyte sekunder atau 2 n chromatid. Spermatocyte primer kemudian pecah menjadi 4 spermatid masing-masing terdiri chromosom, jumlahnya haploid. Kemudian diikuti pembelahan kedua, tiap spermatid mengalami metamorphose. Ini merupakan gamet yang masak disebut spermatozoa (Narato, 2009). Pembentukan spermatozoa dari spermatogonia di dalam testis disebut spermatogenesis. Proses ini meliputi poliferasi spermatogonia melalui pembelahan mitosis yang terulang dan tumbuh membentuk spermatocyte primer, kemudian melalui pembelahan reduksi (meiosis) membentuk spermatocyte sekunder. Spermatozoit sekunder membelah menjadi spermatid yang mengadakan metamorphose menjadi gamet yang “motile” (dapat bergerak) dan mempunyai potensi fungsional yang dinamakan spermatozoa. Proses metamorphose spermatid sering dinamakan “spermatogenesis” (Narato, 2009). 3. Susunan Fungsional Organ Reproduksi Pada Hewan Pada hewan yang masih primitif, jaringan yang menghasilkan sel gamet tersusun menyebar. Jaringan ini terdiri atas sejumlah lokus yang berfungsi untuk memperbanyak sel kelamin. Pada hewan yang perkembangannya sudah maju, bentuk dan lokasi gonad sudah lebih jelas terletak simetris bilateral dan biasanya organ tersebut berpasangan. Ovarium dan testis merupakan organ penghasil gamet yang terbentuk melalui gametogenesis. Gamet dihasilkan dari sel khusus yaitu sel benih primordial yang terdapat dalam gonad. Gamet ini selanjutnya akan berkembang menjadi sel benih. 4. Tahap Perkembangan Spermatozoa (dengan Pewarnaan) 1. Rete Testis Rete testes merupakan fase awal perkembangan spermatozoa, di mana bentuk sperma pada bagian tersebut belum sempurna. Karena itu, jumlah sperma yang masih hidup juga lebih banyak dibandingkan dengan jumlah yang telah mati. Hal ini terlihat pada sedikitnya bagian preparat yang terwarnai oleh eosin. Hal ini sesuai dengan pendapat Narato (2009) yang menyatakan bahwa untuk melakukan uji motilitas, dapat dilakukan pewarnaan eosin, di mana jika eosin dipertemukan dengan sperma yang masih hidup, maka cairan eosin tidak dapat masuk ke sperma. Sedangkan jika sperma mati kemungkinan selaputnya juga rusak, maka eosin dapat masuk ke tubuh sperma, sehingga akan berwarna kemerah-merahan. Ada berbagai faktor yang dapat menyebabkan matinya spermatozoa di dalam saluran reproduksi, di antaranya yaitu, adanya perbedaan kemampuan dari masing-masing sperma untuk hidup, suhu yang terlalu tinggi karena sperma hanya dapat hidup pada suhu yang lebih rendah dari suhu tubuh. Hal ini sesuai dengan pendapat Narato (2009) yang menyatakan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi viabilitas dari sperma yaitu kemampuan spermatozoa hidup secara normal setelah keluar dari testis hanya berkisar 1-2 menit. Selain itu, faktor suhu juga dapat mempengaruhi daya hidup dari sperma. Kemampuan hidup (viabilitas) spermatozoa sangat dipengaruhi oleh suhu dan secara umum akan hidup lebih lama dalam suhu rendah. 2. Caput Epididymis Pada caput epididymis terjadi perkembangan yang lebih lanjut dari spermatozoa tersebut. Pada caput epididymis terlihat perkembangan preacrosom menjadi acrosom di mana dapat terlihat bahwa acrosom semakin membesar. Acrosom tersebut kemudian akan menjadi pelindung bagi kepala sperma. Hal ini sesuai dengan pendapat Diah (2009) bahwa Caput epididymis adalah kepala, yang merupakan tempat bermuara ductuli eferentes. Pada caput, perkembangan spermatozoa berada pada fase tutup, di mana pada fase ini merupakan saat gembungan akrosom makin besar, membentuk lipatan tipis melingkupi bagian kutub yang bakal jadi bagian depan. Akhirnya terbentuk semacam tutup spermatozoon. Dari pewarnaan eosin pada sperma yang berasal dari caput epididymis, terlihat bahwa jumlah sperma yang mati masih dalam jumlah yang sedikit, hal ini terlihat dengan sedikitnya sperma yang terwarnai. Sperma yang telah mati akan bersifat basa sehingga dengan pemberian pewarna eosin yang sifatnya asam akan menyebabkan daya tarik menarik, sehingga sperma yang mati akan terwarnai. Hal ini sesuai dengan pendapat Narato (2009) bahwa pewarna eosin digunakan karena mempunyai sifat asam sehingga mampu mendeteksi sperma yang bersifat basa hidup atau tidak. Jika eosin dipertemukan dengan sperma yang masih hidup maka cairan eosin tidak dapat masuk ke sperma. Hal ini dikarenakan selaput sperma yang sama asamnya dengan eosin sehingga yang terjadi adalah tolak-menolak di antara keduanya. Sedangkan jika sperma mati kemungkinan selaputnya juga rusak, maka eosin dapat masuk ke tubuh sperma. 3. Corpus Epididymis Pada corpus epididymis terbentuk sperma yang lebih sempurna, di mana spermatid mengalami metamorphosis dan membentuk kepala, leher dan ekor yang tersusun dari materi seluler. Hal ini sesuai dengan pendapat oleh Diah (2009) bahwa masing-masing spermatid mengalami metamorfosis menjadi spermatozoon. Inti material memadat pada satu bagian dari sel membentuk kepala dari spermatozoon, sedangkan sisanya memanjang membentuk ekor spermatozoon. Acrosom, sebuah topi yang mengelilingi kepala spermatozoon, tersusun dari aparatus golgi spermatid. Selama pembentukan ekor spermatozoon, terjadi pelepasan cytoplasma, terlihat adanya cytoplasmic droplet pada daerah leher spermatozoa. Dari pewarnaan spermatozoa pada bagian corpus epididymis, maka terlihat jumlah sel sperma yang mati atau tingkat motilitas/viabilitas pada bagian ini lebih tinggi dari pada saluran yang lainnya. Hal ini disebabkan karena daya tahan sperma yang menurun setelah bergerak dari rete testes. Selain itu, terjadi persaingan antara sperma yang lain untuk mencapai ejakulasi dan membuahi ovum sehingga akhirnya banyak sperma yang mati. Hal ini terlihat dari jumlah sperma yang terwarnai lebih banyak. Hal ini sesuai dengan pendapat Salisbury (1985) yang menyatakan bahwa berdasarkan penelitian spermatozoa yang diambil dari caput, corpus dan cauda epididymis, dinyatakan bahwa semakin lama maka jumlah spermatozoa yang hidup akan berkurang tetapi pergerakan sperma akan semakin kuat. 4. Cauda Epididymis Spermatozoa yang terdapat pada cauda lebih matang atau lebih tua dibandingkan dengan sperma yang terdapat pada bagian epididymis yang lainnya. Hal ini terlihat dari bentuk sperma pada cauda epididymis yang lebih sempurna dibandingkan bagian yang lainnya. Hal ini sesuai dengan pendapat Salisbury (1985) yang menyatakan bahwa pada caput epididymis terdapat spermatozoa yang lebih muda dibandingkan dengan spermatozoa pada cauda epididymis yang lebih tua dan telah masak. Pewarnaan eosin pada sperma selain dapat melihat tingkat viabilitas atau motilitasnya juga dapat melihat pergerakan sperma yang telah mati. Pergerakan sperma pada bagian cauda epididymis lebih kuat dibandingkan dengan bagian lain. Hal ini sesuai dengan pendapat Salisbury (1985), yang menyatakan bahwa dengan teknik pewarnaan, selain dapat melihat viabilitas atau motilitas sperma pada saluran reproduksi, juga dapat mengetahui pergerakan seluruh bagian spermatozoa. Selanjutnya Salisbury (1985) menjelaskan bahwa gerakan paling kuat beradasal dari caput epididymis dan yang paling lemah adalah sperma yang berasal dari caput epididymis. 5. Vas Deferens Keadaan sperma pada bagian ini telah sempurna dan telah siap untuk ejakulasi karena telah tercampur dengan materi-materi lain hasil sekresi kelenar pelengkap, sehingga membentuk semen. Hal ini sesuai dengan pendapat Diah (2009) yang menyatakan bahwa pada saluran vas deferens terjadi penampungan spermatozoa, sehingga akan terbentuk semen. Semen terdiri atas cairan yang berasal dari vas deferens (kira-kira 10% dari keseluruhan sperma), cairan dari vestikula seminalis (kira-kira 60%), cairan dari kelenjar prostat (kira-kira 30%), dan sejumlah kecil cairan dari dari kelenjar mukosa. Jumlah spermatozoa yang terdapat pada bagian ini semakin sedikit terlihat dari bagian yang terwarnai oleh eosin yang lebih banyak. Hal ini disebabkan karena jumlah sperma yang mati meningkat sehingga sperma tersebut menyerap zat warna dan akhirnya berwarna kemerah-merahan. Hal ini sesuai dengan pendapat Narato (2009) bahwa jika eosin dipertemukan dengan sperma yang masih hidup, maka cairan eosin tidak dapat masuk ke sperma. Hal ini dikarenakan selaput sperma mempunyai asam yang sama dengan eosin, sehingga terjadi tolak-menolak. Sedangkan, jika sperma mati kemungkinan selaputnya juga rusak, maka eosin dapat masuk ke tubuh sperma. 3. Penutup Sistem reproduksi ternak cukup rumit dan berbeda sesuai dengan jenis kelamin setiap ternak. Sistem reproduksi ternak jantan terdiri atas sepasang testes, saluran-saluran reproduksi (epididimis, vas deferens, ampula, urethra) dan alat kelamin luar (penis, preputium, scrotum). Testes merupakan alat kelamin utama karena menghasilkan sel-sel kelamin jantan/spermatozoa (bersifat sitigenik) sekaligus memproduksi hormon androgen (bersifat endokrin) Epididimis yang berfungsi sebagai tempat transportasi spermatozoa dari testes ke uretra, tempat pemasakan/pendewasaan spermatozoa. Vas deferens sebagai saluran yang menghubungkan epididimis dengan uretra. Uretra berfungsi sebagai saluran urine dan semen. Ternak betina memiliki organ reproduksi yang terdiri dari beberapa macam organ, di mana setiap organ memiliki fungsinya masing-masing yang saling mendukung. Organ-organ reproduksi ternak yang sangat penting dan memiliki peran dalam proses reproduksi ternak yaitu Ovari, Tuba Falopii (Oviduct), Uterus, Serviks dan Vagina. Organ-organ ini merupakan organ vital pada alat reproduksi ternak betina. Daftar Pustaka http://4.blogspot.com/_FJul1GWSQR2s/TPXL-37916I/AAAAAM/jFEQ3Dex/s1600/reproduksi+jantan/ Isnaeni, Wiwi. Fisiologi Hewan. Yogyakarta: Kanisius, 2006. Priyono, S.Pt. Mengenal Organ Reproduksi Ternak Betina. R., Fadlan. Organ Reproduksi Jantan.

0 komentar: