POLITIK ANTARA LEGALITAS DAN MORALITAS (Beberapa pemikiran dalam buku karya Dr. Otto Gusti, SVD)

Benny Obon
Kru KMK & Kelompok diskusi Filsafat Ledalero – tinggal di wisma St. Rafael
Peminat sastra dan Kaligrafi Arab

Buku “Politik antara Legalitas dan Moralitas” merupakan karya dari seorang intelektual muda yang energik dan yang aktif dalam setiap diskursus publik yang menjadi keprihatinan bersama. Ruang lingkup pembahasan di dalamnya berpusar sekitar persoalan filsafat politik seperti pluralisme dan dialog antarbudaya, demokrasi, agama dan politik, paham-paham HAM, sejarah dan ingatan kolektif serta hubungan antara negara dan moralitas pribadi. Buku tersebut juga mengangkat persoalan-persoalan konkret setiap hari seperti kekerasan, terorisme, dan pengesahan UU Pornografi. Persoalan-persoalan tersebut dibaca dari kaca mata etika politik.
Dr. Otto Gusti (selanjutnya Dr. Otto) mendasarkan pembahasannya dengan tesis dasar bahwa manusia pada dasarnya adalah zoon politicon (Aristoteles) – makhluk sosial. Zoon politicon merupakan panggilan dasar manusia, bahwa manusia pada dasarnya selalu ada bersama – no man is an island. Sebagai makhluk sosial manusia membutuhkan satu institusi untuk mengikat dan mempersatukan segala idealisme mereka. Oleh karena itu dibentuklah negara.
Menurut Aristoteles, in se-nya manusia bersifat politik dan perwujudan diri manusia hanya dilakukan dalam polis atau negara (kota). Selanjutnya Aristoteles menggunakan term potensi dan aktus untuk menjelaskan korelasi antara manusia dan polis. Ia menulis, “sebagaimana setiap kemungkinan mencapai pemenuhannya ketika mencapai tujuannya, demikianpun dengan manusia, ia hanya dapat mewujudkan kemungkinan-kemungkinan yang dimilikinya secara kodrati dalam polis. Polis adalah aktualisasi dari potensi khusus manusia”. Dan, negara itu sendiri dibentuk agar masyarakat memperoleh keadilan dalam berbagai bidang kehidupan bernegara: agama, politik, HAM dan bidang yang lainnya.
Dengan terbentuknya negara, maka setiap subjek berada di bawah suatu institusi bersama dalamnya segala diskursus dapat berjalan. Negara sebagai tempat subjek-subjek menjalankan kehidupannya, dan dalam kehidupan bersama tersebut dibutuhkan komunikasi agar kehidupan bernegara dapat berjalan. Dan, kehidupan bernegara itu hanya bisa dijalankan dengan dan dalam komunikasi. Komunikasi itu sendiri juga mengandaikan pluralitas, karena tidak mungkin ada dialog kalau manusia hanya seorang diri. Oleh karena itu, realitas pluralitas tersebut menjadi dasar dari politik, bahwa aktivitas berpolitik hanya terjadi dalam kehidupan bersama.
Dr. Otto menjelaskn bahwa realitas pluralitas dan pluralisme sebagai etika politik merupakan titik tolak dalam politik itu sendiri. Dan, dalam kehidupan bernegara tidak semua komunikasi berjalan lancar, sangat mungkin terjadi clash dan konflik. Konflik itu sendiri merupakan ciri kehidupan dalam suatu masyarakat pluralistik. Dengan demikian konflik merupakan hal yang sudah tentu ada dalam kehidupan bernegara. Dan, menurut Habermas, untuk meredam konflik dalam masyarakat yang pluralistik itu perlu ada kesepahaman dasar bersama, sehingga diperlukan komunikasi. Oleh karena itu Habermas mengajukan teori rasionalitas komunikatif.
Dr. Otto menjelaskan bahwa realitas pluralitas dalam masyarakat modern merupakan akibat dari suatu kehidupan sosial. Kehidupan sosial akan berjalan lancar hanya jika tidak ada konflik. Dr. Otto menyebut dua teori politik modern sebagai jalan keluar atas realitas pluralitas tersebut.
Pertama, Liberalisme Politik John Rawls. Filsafat politik Rawls merupakan jawaban atas fakta pluralitas masyarakat modern. Kemajemukan adalah ciri khas masyarakat modern. Kenyataan ini mendorong masyarakat modern untuk menciptakan suatu orientasi tentang arti hidup sebagai warga negara dalam satu negara. Dengan adanya suatu orientasi arti hidup bersama, maka akan tercipta kehidupan bernegara yang aman dan damai.
Rawls menjelaskan bahwa pluralisme adalah etika politik yang mengajarkan bahwa kemajemukan tidak boleh ditiadakan tetapi harus dipertahankan. Dan, fakta menunjukkan pluralitas itu justru menciptakan konflik sosial politik hingga penghancuran massal. Di sinilah pluralisme itu menciptakan tugas baru bagi filsafat politik.
Menurut Rawls, pluralisme merupakan suatu conditio humana masyarakat modern yang tidak mungkin disingkirkan dari masyarakat modern itu sendiri. Pluralitas agama, suku dan kebudayaan hanya bisa dihancurkan dengan kekerasan, intoleransi dan regim totalitarian. Akan tetapi masyarakat modern sadar bahwa kekerasan, intoleransi dan totalitarisme bukanlah gambaran masyarakat yang memiliki peradaban. Oleh karena itu, negara yang menghormati pluralisme adalah negara yang menghargai HAM. Penghormatan terhadap HAM itu sendiri menjadi mungkin hanya dengan adanya pengakuan dan penghormatan terhadap pluralisme.
Kedua, rasionalitas komunikatif Juegen Habermas. Kehidupan bersama dalam suatu negara selalu berkembang seiring kemajuan berpikir manusia. Globalisasi yang menandai masyarakat era modern merupakan hal yang tidak bisa disangkal. Menolak globalisasi berarti kita berjalan mundur dan yang tidak mampu menghadapi era globalisasi akan menjadi korban.
Globalisasi dalam masyarakat yang pluralistik berujung pada lahirnya konflik etnis, agama dan budaya. Demikian pun halnya dengan bangsa kita. Bahwa konflik-konflik yang merebak di berbagai daerah selama ini tidak lain sebagai akibat dari perbedaan etnis, agama dan budaya. Ketika masing-masing kalangan merasa bahwa agama dan budayanya sebagai yang paling benar, maka yang lain harus disingkirkan. Hal ini tak jarang menjadi benih konflik yang selalu mengancam kesatuan bangsa. Globalisme yang menandai masyarakat modern itu pun akhirnya menunjukkan dirinya sebagai the society of violence. Lalu bagaimana kita menghadapi kenyataan konflik multi aspek itu? Apakah kita masih bertahan dan berpegang pada toleransi yang kita agung-agungkan selama ini?
Menurut Habermas, ajaran toleransi tidak lagi mencukupi untuk memecahkan persoalan-persoalan tersebut. Masyarakat modern memerlukan sebuah etika (yang harus) bersifat universal. Untuk mencapai etika yang bersifat universal itu diperlukan kesepahaman dasar bersama, dan itu hanya bisa dicapai melalui komunikasi. Di sini Habermas menganjurkan sebuah jalan keluar melalui teori rasionalitas komunikatif. Menurutnya rasionalitas komunikatif berorientasi pada saling pemahaman.
Habermas juga menyebut rasionalitas instrumental. Dan, rasionalitas ini tidak akan mencapai saling pemahaman karena hanya menciptakan suatu tindakan strategis yang menuju pada suatu sasaran/tujuan. Di sini tiap agama, dan suku akan menggunakan berbagai cara untuk menggolkan segala usahanya tanpa memperhatikan apakah jalan yang dilaluinya etis atau tidak.
Menurut Habermas, rasionalitas komunikatif akan menghasilkan konsensus. Bahwa masyarakat/subjek-subjek perlu berdiskusi dan berdebat untuk mencapai suatu konsensus bersama. Segala norma, aturan-aturan dan tata kehidupan bersama dalam negara harus melalui diskursus. Jadi diskursus dalam kehidupan bersama/bernegara perlu ada. Diskursus bukan bermaksud menyeragamkan segala perbedaan yang ada, melainkan untuk mencapai suatu konsensus bersama agar setiap perbedaan baik agama, budaya, ras maupun golongan tidak menjadi benih munculnya konflik. Rasionalitas komunikatif itu sendiri bersifat formal dan prosedural karena hanya membangun suatu hubungan dialektis antara universalitas dan partikularitas, antara absolutas dan relativitas budaya.
Dari kenyataan itu, Habermas melalui teorinya tersebut menjelaskan bahwa agama bisa berdialog dengan sekularisasi untuk mengatasi konflik antara budaya, agama dan ideologi untuk menciptakan perdamaian global. Menurutnya ada dua kemungkinan yang terjadi di sini, Pertama, agama dalam masyarakat modern akan lenyap dan posisinya akan digantikan oleh sains dan ideologi kemajuan masyarakat modern itu sendiri.
Kedua, sekularisasi dan modernitas dianggap sebagai musuh agama karena ia telah melahirkan kejahatan-kejahatan moral. Para pelaku teroris 11 September 2001 bertolak dari pemahaman seperti ini tentang sekularisasi dan ingin membangun kembali moralitas agama dengan jalan kekerasan – oleh sebab itu tidak ada diskursus bagi para teroris. Terhadap dua tendensi tersebut, Habermas menganjurkan sebuah jalan tengah yang ia sebut common sense yang rasional dan demokratis. Artinya, iman yang terungkap dalam agama menerjemahkan diri dalam bahasa ilmu sekular. Dengan demikian iman terbuka terhadap setiap bentuk analisis kritis-rasional. Habermas sendiri tidak menghendaki penyingkiran makna religius yang potensial secara sekuler, tetapi coba menerjemahkannya ke dalam konsep modern.
Berbagai problem seperti kemiskinan global, ketidakadilan dan kriminalitas transnasional merupakan sisi gelap globalisasi. Untuk menjawab problem-problem tersebut kita membutuhkan HAM, dan HAM hanya bisa didiskursuskan dalam masyarakat diskursus. Kalau tidak demikian maka paham HAM atau katalog HAM yang lahir dari konteks sejarah Eropa sulit diuniversalkan, karena bagaimanapun setiap masyarakat memiliki pandangan moral dan hukum sendiri. Dalam tataran ini HAM dapat dilihat dari dua sisi. Pertama, HAM sebagai moral. Artinya katolog HAM itu hanyalah kewajiban moral untuk mengakui adanya persamaan hak setiap pribadi dengan berpedoman pada asas timbal-balik.
Kedua, HAM sebagai hukum. Artinya katalog HAM itu pertama-tama diratifikasi oleh suatu negara dan kemudian baru dirumuskan penerapan dan pelaksanaannya dalam bahasa hukum positif. Itu berarti, HAM dijalankan tidak lagi hanya berdasarkan asas timbal-balik tetapi berdasarkan peraturan hukum positif dengan segala sanksi hukumnya. Dalam positivisasi HAM ini terletak nilai partikular HAM karena hukum positif itu hanya berlaku untuk suatu negara tertentu.
Dalam praktiknya, HAM sering dilanggar. Dimana-mana terjadi kasus pelanggaran HAM. Masih hangat dalam ingatan kita akan peristiwa Mei 1998, dan peristiwa pembantaian di Timor Leste. Pelanggaran HAM kebebasan agama juga sering terjadi dalam masyarakat yang tidak begitu tegas memisahkan antara agama dan negara. Jadi masalah kebebasan agama adalah masalah yang terjadi dalam hubungan dengan agama dan negara.
Konsep Agama sipil Rousseau mau menjawab persoalan ini yaitu untuk menjembatani ketegangan antara subjek/individu otonom dan negara. Namun dipandang dari sudut HAM konsep Rousseau ini gagal, karena ia memandang negara jauh lebih penting dari kebebasan suara hati. Untuk itu teori Rousseau perlu dilengkapi dengan teori politik modern yang menempatkan otonomi subjek dari sumber legitimasi negara. Manusia tidak boleh dikorbankan hanya demi negara dan agama.
Akhirnya pluralisme dilihat sebagai das sein, yaitu kita berbicara tentang realitas pluralitas agama, suku dan budaya dalam negara. Kita menyaksikan semuanya itu dengan segala nilai yang mereka hayati. Pluralisme sebagai das sollen yaitu, kita berbicara tentang sifat normatif fakta pluralitas tersebut. Kita mengharapkan agar fakta pluralitas itu tetap eksis dan kita perlu menyadarinya sebagai bagian dari yang lain dalam suatu kebersamaan.*

0 komentar: