KONFLIK ISRAEL – PALESTINA: BEBAN SEJARAH (1)

Benny Obon
Pada tanggal 27 Desember 2008 yang lalu Israel melakukan serangan besar-besaran terhadap kelompok Hamas yang menguasai jalur Gaza. Kelompok Hamas menguasai jalur Gaza sejak 2007 yang sebelumnya dikuasai oleh pemerintah Palestina. Mereka menguasai jalur tersebut setelah berhasil mengalahkan pasukan pemerintah dalam perang yang berlangsung selama beberapa minggu.
Serangan Israel ke jalur Gaza telah berakhir dengan gencatan senjata secara sepihak oleh Israel setelah menyerang Gaza selama 22 hari. Ribuan nyawa orang Palestina melayang, ribuan lainnya mengalami luka-luka, ribuan kehilangan orangtua dan anak-anak, serta ribuan yang kehilangan tempat tinggal, ribuan bangunan rata dengan tanah dan tak ketinggalan tempat suci – Mesjid-mesjid. Kutukan atas serangan tersebut berdatangan dari berbagai negara, tak ketinggalan negara Indonesia. Kota Gaza yang dijuluki negeri religius dengan ditandai oleh mesjid-mesjid yang indah itu mendadak menjadi ‘negeri maut’ bagi penghuninya oleh serangan Israel.
Agresi militer Israel tersebut meninggalkan duka yang mendalam dan menjadi beban sejarah yang tidak akan pernah dilupakan oleh orang Palestina. Entah sampai kapan mereka mengalami kedamaian tidak ada yang tahu – unpredictable, karena konflik Israel – Palestina merupakan sebuah beban sejarah laksana bom waktu yang selalu siap meledak. Gencatan senjata secara sepihak oleh Israel tersebut dinilai hanya sebagai ‘oleh-oleh’ untuk Presiden Obama, dan kini Israel kembali menyerang wilayah yang diisolasi tersebut.
Serangan ke jalur Gaza dilakukan setelah berakhirnya masa gencatan senjata antara kedua negara. Di samping itu, serangan tersebut dilakukan karena kelompok Hamas tidak henti-hentinya menembakkan roket ke wilayah-wilayah Israel. Bahkan sepanjang tahun 2008 kelompok Hamas menembakkan ribuan roket ke wilayah Israel. Tindakan Hamas tersebut mencemaskan pemerintah dan warga sipil Israel. Untuk menghentikan penembakkan roket ke wilayah Israel pemerintah Israel di bawah Perdana Menteri Ehud Olmert, melakukan agresi militer secara besar-besaran.
Menurut berita yang disiarkan oleh saluran televisi Aljazera yang bekerja sama dengan saluran televisi Tv-One beberapa waktu lalu, serangan Israel tersebut sebagai kampanye untuk menarik simpati rakyat Israel yang dilakukan oleh tiga orang petinggi Israel dalam usaha memenangkan pemilu Israel pada bulan Februari tahun ini.
Sementara itu sebelum terjadinya serangan habis-habisan Israel ke jalur Gaza tersebut, sudah terjadi serangan-serangan kecil di antara kedua belah pihak di sekitar jalur Gaza. Serangan kecil-kecilan tersebut disebabkan karena Israel menutup tempat-tempat penyeberangan atau jalur komersial ke jalur Gaza sehingga pasokan bahan bakar minyak terhenti yang memaksa satu-satunya pusat pembangkit listrik di jalur Gaza ditutup. Bahkan orang menganggap bahwa kota Gaza merupakan penjara terbesar di dunia karena blokade yang dilakukan oleh Israel.
Konflik Israel – Palestina sudah berlangsung lama, sehingga menjadi beban sejarah bagi kedua negara. Menurut sejarah, konflik tersebut sudah belangsung selama 31 tahun sejak tahun 1967 Israel menyerang Mesir, Yordania dan Syria dan berhasil menguasai merebut Sinai dan Jalur Gaza (Mesir), dataran tinggin Golan (Syria), Tepi Barat dan Yerusalem (Yordania). Selain itu, bangsa Yahudi sendiri sudah lama mendambakan untuk kembali ke negerinya setelah selama bertahun-tahun hidup sebagai orang asing di Eropa dan Amerika. Keinginan Israel untuk kembali ke tanah airnya itu muncul setelah terjadinya peristiwa pembantaian besar-besaran pada kamp konsentrasi Auswich pada masa Adolf Hitler.
Selanjutnya persoalan konflik Israel – Palestina berawal dari konflik wilayah antara bangsa Arab dengan bangsa yahudi yang memperebutkan wilayah Palestina. Bangsa Yahudi ingin kembali ke Palestina yang dipandangnya sebagai wilayah tanah airnya dan mendirikan negara Israel di Palestina.
Ketika Turki menguasai Palestina, sudah banyak orang Yahudi yang datang ke Palestina dan hidup berdamai dengan bangsa Arab. Namun, dengan adanya suatu kekuatan politik yang timbul dari gagasan Dr. Theodore Herzl (seorang wartawan Yahudi Austria) yang menulis artikel yang berjudul Der Judenstadt – Negara Yahudi, Herzl sengaja mengangkat persoalan kaum Yahudi karena perasaan anti yahudi berkembang dimana-mana. Selain itu adanya dukungan yang kuat dari kaum Yahudi di Eropa Timur, sehingga muncullah gerakan Zionisme pada tahun 1895.
Israel, sebagai sebuah negara yahudi berdiri atas dasar deklarasi Balfour. Keberadaan Israel di Palestina mempengaruhi situasi politik di Timur tengah. Keputusan PBB untuk membagi tanah Palestina yang sebelumnya merupakan koloni Inggris yang direbut dari kerajaan Turki Usmani mendapatkan tentangan keras dari negara-negara Arab. Kaum yahudi mendapatkan 55% dari seluruh wilayah Palestina walaupun jumlah penduduk mereka hanya 30% dari seluruh penduduk daerah tersebut. Maka, pada tanggal 14 Mei 1948 Israel memproklamasikan kemerdekannya. Dan, sehari setelah Israel memproklamasikan kemerdekaannya tersebut, mereka diserang oleh Lebanon, Irak, Suriah, Mesir dan Yordania. Dengan bantuan kroni-kroninya Israel berhasil memukul mundur musuh-musuhnya. Setelah itu mereka terlibat dalam perang kanal Suez, perang enam hari, perang Yom Kippur.
Dalam perang Yom Kippur, Mesir dan Suria berhasil dipukul mundur dan Mesir terdesak hingga ke daerah terusan Suez dan perbatasan ibu kota Kairo, yang kemudian memaksa Mesir untuk menandatangani perjanjian Camp David. Setelah itu Israel masih terlibat dalam perang-perang yang lainnya. Selama perang tersebut Israel tidak pernah mengalami kegagalan, karena para inteligen/agen rahasia Israel selalu bekerja dengan cepat sehingga sebelum negara-negara lain menyerang, mereka sudah mempersiapkan diri. Bahkan mereka bergerak lebih cepat dalam menghabisi musuh-musuhnya. Pada tahun 1967 misalnya., Israel dengan mudah menghancurkan angkatan udara Mesir, sementara itu angkatan udara Mesir tidak bisa membalasnya. Dan, pada tahun 1980 Israel menyatakan bahwa Yerusalem yang telah didudukinya resmi sebagai ibukota negara. (bersambung)




KONFLIK ISRAEL – PALESTINA: BEBAN SEJARAH (2)
Benny Obon
Palestina terletak di bagian barat benua Asia yang membentang antara garis lintang 15-34 dan 40-35 ke arah timur dan di antara garis lintang meridian 30-29 dan 15-33 ke arah utara. Palestina membentuk bagian tenggara dari kesatuan geografis yang besar di belahan timur dunia Arab yang disebut dengan negeri Syam. Selain Palestina, Syam juga meliputi Lebanon, Suriah, dan Yordania.
Perbatasan palestina di mulai dari Lebanon di Ras el-Nakoura di wilayah laut tengah dan dengan garis lurus mengarah ke timur sampai daerah di dekat kota kecil Lebanon yaitu Bent Jubael di mana garis pemisah antara kedua Negara miring ke utara dengan sudut yang hampir lurus. Pada titik ini, perbatasan mengitari mata air sungai Yordania yang menjadi bagian dari Palestina dalam jalan kecil yang membatasinya dari wilayah timur dan wilayah barat Suriah dan danau Al-Hola, Laut Tengah dan Tabbariyya.
Perbatasan dengan Mesir dimulai dari Rafah di Laut Tengah hingga sampai ke daerah Taba di teluk Aqaba. Karena lokasinya terletak di pertengahan Negara-negara Arab, Palestina membentuk kombinasi geografi yang natural dan humanistik bagi medan teresterial yang luas yang memuat kehidupan orang-orang asli Badui di wilayah selatan dan gaya pendudukan yang sudah lama di kawasan utara.
Tanah Palestina mempunyai keistimewaan dibanding yang lainnya karena merupakan tempat diturunkannya agama Yahudi dan Kristen, tempat di mana peradaban kuno muncul dan menjadi jembatan aktivitas komersial dan tempat penyeludupan ekspedisi militer di sepanjang Sejarah yang berbeda. Lokasi strategis yang dimiliki Palestina memungkinkannya untuk dijadikan faktor penghubung antara berbagai dunia kuno baik Asia, Eropa maupun Afrika. Palestina menjadi tempat yang dijadikan pintu masuk bagi perjalanan ke negara-negara tetangga.
Dalam perjalanan waktu Israel dan Palestina selalu terlibat dalam perang. Maka, pada tahun 1964 para pemimpin Arab membentuk PLO (Palestine Liberation Organization). Dan, pada tahun 1969 Yasser Arafat dari faksi Al-Fatah terpilih sebagai ketua Komite Eksekutif PLO.
Perjuangan Yasser Arafat dengan organisasi PLO telah mendapatkan hasil maksimal dalam usahanya membebaskan Palestina dari cengkraman Israel. Maka, pada 15 November 1988 diumumkan berdirinya negara Palestina di Aljiria, dengan bentuk negara Republik Parlementer dengan ibu kota Yerusalem Timur dan Presiden Pertamanya Yasser Arafat. Selanjutnya Arafat mengakui eksistensi Israel pada tahun sama.
Masyarakat palestina yang tidak ingin mengakui eksistensi Israel tersebut tidak senang dengan sikap Arafat dan menilainya sebagai kegagalan PLO. Maka, dalam perjuangan Pelestina selanjutnya melahirkan sebuah organisasi Islam radikal yang bernama Hamas yang berusaha membendung serangan Israel, Hamas menggunakan taktik Intifadha pertama dan perang gerilya yang berlawanan dengan taktik PLO yang menggunakan jalan diplomasi dan perundingan. Dan, ternyata Intifadha yang disponsori Hamas jauh lebih berhasil dibandingkan diplomasi ala PLO.
PLO yang didirikan oleh para pemimpin Arab secara resmi menentukan nasib Palestina diserahkan ke pundak bangsa Arab – Palestina sendiri dan bukan lagi dengan urusan umat Islam. Masalah Palestina direduksi menjadi persoalan nasional bangsa Palestina. Namun, dalam perjalannya PLO tidak berhasil mengatasi persolan yang terjadi dan perpecahan tetap saja terjadi.
Perpecahan dunia Arab menjadi beberapa kubu yang saling bertentangan, benar-benar menyudutkan posisi PLO walaupun sejak perang Oktober 1973, Yasser Arafat telah bersikap cerdik dalam memelihara perkembangan perimbangan kekuatan dunia Arab, namun polarisasi serta dampak perang Irak-Iran telah melahirkan ketegangan-ketegangan tertentu dalam sistem yang lebih rumit. Hasil perjanjian Camp David yang awalnya untuk menyelesaikan masalah Palestina ternyata tidak jelas dan semakin mempersulit posisi Palestina.
Merosotnya pengaruh politik PLO terlihat ketika Arafat berupaya menegaskan kembali kebebasannya dengan mengambil sikap yang relatif netral dalam permusuhan Suriah versus Irak. Perjuangan bagi penundaan konferensi puncak antagonisme di antara kedua kubu sama sekali tidak dihiraukannya. Kegagalan ini menyebabkan Arafat tunduk pada tekanan Suriah dengan terpaksa menyetujui pemboikotan terhadap pertemuan puncak liga Arab di Amman Yordania tahun 1980. Masalah lain yang dihadapi palestina adalah tumbuhnya permusuhan antara mereka dengan orang-orang Lebanon. Orang-orang Palestina seringkali meremehkan kedaulatan Lebanon, sebaliknya orang-orang Lebanon berkeyakinan bahwa PLO sungguh-sungguh bermaksud menanamkan dirinya tatkala peluang bagi pembentukan kekuasaan Negara murni semakin kecil.
Konsep penanaman yamg beranggapan bahwa rakyat palestina tengah berada pada proses pembentukan kedaulatan di selatan Lebanon, sebagai bagian dari apa yang dinilainya merupakan rencana Amerika dan memecahkan dilema Timur Tengah dengan menempatkan mereka secara permanen. Namun tidak terdapat bukti yang memperkuat anggapan tersebut.
Dengan demikian posisi PLO di dalam dunia arab telah di hancurkan oleh polarisasi dalam perang Irak-Iran. Hal ini terjadi karena PLO amat bergantung pada keanekaragaman kedua blok yang terseret dalam perang tersebut. Posisi PLO yang dalam hal ini terjepit di antara dua kepentingan yang saling bertentangan telah mengakibatkan lunturnya kepercayaan rakyat Palestina terhadap perjuangan diplomasi yang dilakukan PLO. Dengan terjadinya peristiwa ini Hamaslah yang mendapat keuntungan besar karena aksi Intifadha yang disponsorinya jika dilihat dari segi efektivitas cenderung lebih berhasil bila dibandingan dengan jalan terakhir yang ditempuh PLO.
Perjuangan Hamas sendiri sangat dipengaruhi oleh ajaran Wahabi dari Arab Saudi, yang menjadi pemasok keuangan bagi kelangsungan operasi Hamas disamping Iran dan Suriah. Kebijakan politik Hamas yang kurang mendukung usaha diplomasi Yasser Arafat pada era 1990-an di mana dihasilkan perjanjian Oslow dan juga program Jerico – Gaza first yang kemudian mengalami kegagalan dan jalan buntu. Akibatnya di Palestina sering terjadi pertikaian antara faksi-faksi perjuangan seperti Al Fattah, Hamas, PLO, Jihad Islam dan sebagainya. (bersambung)


KONFLIK ISRAEL – PALESTINA: BEBAN SEJARAH (3)
Benny Obon
Lahirnya Hamas merupakan bukti ketidakpuasan terhadap kinerja pemerintah Palestina di bawah Yasser Arafat. Hamas merupakan “Gerakan Perlawanan Islam” di Palestina yang berideologi Islam dan bersifat fundamentalis. Fundamentalisme disini diartikan sebagai paham yang kemudian diwujudkan melalui gerakan “kembali ke Islam”. Islam dijadikan sebagai asas utama pergerakannya dan nilai-nilai yang ada didalamnya merupakan pegangan hidup yang dijadikan rujukan tingkah laku anggotanya dalam bertindak. Hamas didirikan pada 14 Desember 1987 oleh Syeikh Ahmad Yassin sekaligus sebagai pemimpin spiritual Hamas.
Berbicara tentang gerakan Hamas, tidak terlepas dari cikal bakal dan akarnya sebab akar ideologi gerakan tersebut sudah tumbuh sejak tahun 1950-an dan banyak dipengaruhi oleh ideologi dari gerakan Ikhwanul Muslimin di Mesir yang didirikan pada tahun 1928 oleh Hasan al-Banna. Bisa dikatakan Hamas merupakan metamorfosis dari gerakan yang dilakukan Ikhwanul Muslimin di Mesir. Meskipun telah dibekukan keberadaannya oleh Perdana Menteri Mesir, Muhammad Fahmi Naqrasyi yang berkuasa pada saat itu, pergerakannya masih ada melalui perjuangan bawah tanah. Geliat ideologi Islamis pada awalnya tenggelam terlebih sejak bangkitnya gerakan nasionalis Arab yang diusung oleh Presiden Mesir Gamal Abdul Nasser dari partai sosialis Arab Baath yang berkuasa di Irak dan Suriah saat itu. Kekalahan bangsa Arab atas Israel pada perang tahun 1967 membangkitkan kembali geliat ideologi Islam yang merupakan alternatif dari gerakan nasionalis yang dianggap gagal menghadapi Israel.
Ikhwanul Muslimin semula merupakan sebuah “jemaah yang murni religius dan filantropis yang bertujuan menyebarkan moral Islam dan amal baik”. Ideologi gerakan ini disebut Islamis karena memiliki cita-cita dan tujuan menjalankan syariat Islam dan berkeyakinan berdirinya negara Islam sebagai unsur penting dari tatanan Islami yang diinginkan dan muncul sebagai penetrasi ideologi Barat dan dominasi imperialisme Barat khususnya di Timur Tengah yang menimbulkan reaksi dan penolakan.
Keputusan politik yang tak kenal kompromi yang digulirkan oleh syekh Ahmad Yassin terhadap Zionis Israel telah menyebabkan para pemimpin Hamas mulai dari Ahmad Yassin hingga perdana mentri Palestina menjadi target utama yang harus disingkirkan. Keputusan politik yang ditetapkan Hamas dalam menyikapi peta perundingan yang berisi antara lain penyerahan, pengamanan Tepi Barat dan jalur Gaza kepada polisi Palestina, pemberian kewenangan kepada pemerintah otoritas Palestina untuk membentuk angkatan bersenjata telah menyebabkan Mahmoed Abbas selaku presiden palestina tak berdaya karena harus mengemban misi ”peta jalan damai” pesanan Amerika, dilain pihak harus menghadapi perlawanan fisik dan mental dari sebagian besar rakyat Palestina yang didukung oleh faksi garis keras yang menaruh keraguan atas niat baik Amerika Serikat.
Pelaksanaan pemilu Palestina yang dijadikan syarat oleh Amerika Serikat pada Palestina sedikitnya telah menghapus keraguan berbagai pihak atas “peta jalan damai”. Ketika hasil pemilu diumumkan dan Hamas kemudian menjadi pemenangnya dan membentuk kabinet di bawah Ismail Haniya, Amerika Serikat sendiri menolaknya karena mengganggap Hamas sebagai organisasi teroris yang mempunyai akses dengan Al-Qaeda. Sebagai tindak lanjut atas kebijakan Hamas tersebut Menlu Condolisa Rice mengadakan pertemuan dengan presiden Uni Eropa Javier Solane untuk menghentikan bantuan Ekonomi dan keuangan pada otoritas Palestina.
Karena pemberhentian bantuan ekonomi tersebut, maka kabinet Hamas mengalami kesulitan keuangan untuk membayar gaji pegawainya walaupun Iran dan Arab Saudi memberi bantuan. Konflik internal antara presiden Mahmoed Abbas dengan perdana mentri Haniya telah mengganggu jalannya pemerintahan otoritas Palestina. Kementrian kesehatan yang berada di bawah Haniya mengumumkan kalau mereka kekurangan pasokan obat dan biaya operasional Rumah Sakit karena pemblokiran rekening keuangan dan teritorial oleh Israel dan Amerika Serikat. Keadaan masyarakat Palestina yang mulai dilanda perpecahan karena presiden Abbas mengumumkan kepada polisi dan pegawai negeri yang loyal kepadanya untuk menjaga tempat-tempat strategis, dilain pihak kabinet Hamas juga mulai membentuk tentara pemerintah baru yang mayoritas calon anggotanya berasal dari Brigade Al-Quds yang merupakan sayap militer Hamas.
Keberhasilan Hamas meraih 76 kursi parlemen belum mampu menyatukan berbagai aspirasi rakyat Palestina. Kaum Fattah bersedia mengakui berdirinya Israel, namun pihak pemerintah otoritas Palestina di bawah Hamas yang didukung oleh Iran mengambil kebijakan berseberangan. Kondisi keamanan Palestina yang tidak menentu menurut para analis akan bernasib sama dengan Lebanon, ini semua disebabkan karena pertentangan intern antara faksi Palestina sendiri.
Hamas yang dipelopori oleh kebangkitan gerakan kaum muda Palestina yang melancarkan serangan terhadap pasukan pendudukan Israel di Jalur Gaza dan Tepi Barat Sungai Yordan yang dipicu oleh serangan-serangan Israel yang membabi buta terutama terhadap warga sipil Palestina sejak Perang Libanon 1982. Momentum ini begitu fenomenal disebabkan oleh keberanian mereka menantang pasukan Israel yang dilengkapi berbagai persenjataan mutakhir, sementara senjata mereka hanya berupa batu-batu dan ternyata mampu membangkitkan simpati dan membukakan mata dunia internasional khususnya dunia Islam akan penderitaan yang dialami bangsa Palestina.
Perjuangan ini dilakukan oleh kaum muda Palestina yang sebenarnya tidak merasakan langsung masa-masa “revolusi perjuangan” kemenangan Hamas: pengaruh dalam strategi dan arah politiknya terhadap usaha melawan Israel (perang tahun 1948 maupun 1967). Namun, karena tinggal di wilayah pendudukan, maka secara langsung merasakan kekejaman, baik berupa kebijakan sosial-ekonomi yang diskriminatif maupun bentuk-bentuk represi fisik lainnya yang dilakukan rezim Zionis. (bersambung)
KONFLIK ISRAEL – PALESTINA: BEBAN SEJARAH (4/habis)
Benny Obon
Intifadah kedua meletus di tahun 2000 sebagai respon akan pelanggaran dan kesewenang-wenangan Israel di tanah Palestina dengan kedatangan Ariel Sharon ke Masjid Al-Aqsha yang membuat umat Islam merasa terhina, apalagi setelah kunjungan tersebut tentara Israel menyerang jemaah yang sedang beribadah dengan melepaskan tembakan yang mengakibatkan meninggalnya para jamaah tersebut.
Cita-cita dan tujuan Hamas tercantum dalam sebuah piagam yang berisi seluruh kredo ideologinya dan menjelaskan bagaimana kebijakan mereka dalam semua level perjuangan, baik mengenai Israel maupun gerakan nasional lainnya. Penghapusan Israel dari peta dunia merupakan agenda utama Hamas dalam mewujudkan cita-cita pergerakan demi terwujudnya negara Islam Palestina merdeka. Cita-cita dan tujuan tersebut tidak bisa dipisahkan dari akar hamas sendiri yang memiliki tujuan serupa. Oleh karena itu pada akhirnya cita-cita dan tujuannya akan bersinergi dengan cita-cita dan tujuan Ikhwanul Muslimin di Mesir. Karena hal ini maka Hamas dipojokkan oleh Israel dan sekutunya Amerika Serikat dengan stigma teroris.
Struktur organisasi Hamas terdiri dari dua jenis keanggotaan. Pertama, anggota biasa yang terdiri dari kader-kader yang telah dibina secara khusus dalam berbagai pengkaderan Hamas dan berhak memilih dan duduk dalam kepengurusan Hamas. Kedua, anggota luar biasa yang terdiri dari kaum Muslimin yang menyatakan bergabung dalam Hamas, namun dibina secara khusus dan hanya berhak ikut berpartisipasi dalam berbagai kekuatan Hamas. Selain itu, Hamas juga memiliki dua divisi yakni, divisi politik dan militer yang bergerak secara sistem sel ditingkat akar rumput dan langsung berjuang pada level terendah. Mesjid-mesjid digunakan sebagai basis gerakan untuk mengobarkan semangat jihad dalam menghadapi Zionis Israel karena mesjid adalah tempat yang strategis dan efektif untuk mentransformasikan cita-cita dan arah pergerakan sekaligus sebagai penyebaran ideologisasi kepada rakyat Palestina.
Tercapainya perdamaian dan juga kemerdekaan Palestina tampaknya sangatlah mustahil karena kurangnya inisiatif dari kedua belah pihak yang bertikai yang menguasai mayoritas suara di parlemen. Partai Likud yang merupakan pemenang pemilu di Israel adalah partai garis keras yang tidak menginginkan perdamaian dengan Palestina, dilain pihak Hamas yang menguasai pemerintahan otoritas Palestina juga memiliki kebijakan yang tidak ingin berdamai dengan Israel walaupun suara kaum minoritas yang dimotori PLO dan Mahmoed Abbas yang moderat menginginkan tercapainya perdamaian dengan Israel.
Hamas sebagai kelompok Islam radikal yang Mengkonsentrasikan pergerakannya pada penghapusan hegemoni Israel di Palestina adalah gerakan pemikiran dan sosial, politik dan militer yang telah mengakar di Palestina dan ’terpahat’ dalam kesadaran rakyat Palestina. Bahkan Hamas kini mendapatkan simpatisan yang cukup luas di dunia Arab dan Islam. Berbagai tekanan dan kecaman dari berbagai pihak justru menjadikan gerakan ini semakin populer. Keputusan Israel membunuh para pemimpin Hamas dinilai sebagai upaya Israel membasmi gerakan perlawanan Palestina sampai ke akar-akarnya, hingga mempengaruhi sikap politik Hamas terhadap Israel. Israel mungkin tidak akan pernah bisa menghancurkan Hamas secara militer, karena pada dasarnya Hamas bukan organisasi, melainkan gerakan ideologi yang menjadi tumpuan harapan rakyat Palestina yang telah mengalami kekecewaan atas proses perdamaian selama ini menyusul gagalnya kesepakatan Oslo yang dicapai Israel dan PLO.
Hamas sadar bahwa sejak menjadi bagian dari Otoritas Palestina, mereka tidak bisa menghindari negosiasi dan kompromi politik yang bisa jadi mempengaruhi alur kebijakan politiknya menjadi lebih moderat dan pragmatis. Namun sikap ini tampaknya tak berlaku dalam penyelesaian konflik dengan Israel. Memang ada upaya-upaya dialogis dan kompromis yakni dengan menyetujui inisiatif Damai Arab atau “solusi kompromi” tahun 2002 dan semua Resolusi PBB yng mendukung kembalinya hak-hak rakyat Palestina. Di samping itu mereka bersedia menjalin hubungan diplomatik secara kolektif dengan Israel dengan syarat Israel harus mundur dari semua tanah Arab yang diduduki tahun 1967. Namun Israel sendiri tetap menganggap pemerintahan Hamas adalah tidak sah dan tidak perlu diperhitungkan, karena Israel tetap melakukan hubungan diplomatik dengan Presiden Otoritas Palestina Mahmoud Abbas tanpa melibatkan Hamas.
Sejak mengalami banyak tekanan baik dari pihak luar maupun dari pihak Palestina sendiri, Hamas menegaskan bahwa sikap politiknya tergantung pada sikap Israel dan berniat mengubah kebijakannya jika Israel juga melakukan hal serupa terhadap kebijakannya. Tekanan yang terus-menerus ditujukan kepada Hamas dikhawatirkan dapat memicu kembali sifat radikal Hamas dalam kebijakan yang diputuskan dalam pemerintahan Palestina. Tampaknya perdamaian Palestina-Israel semakin jauh dari yang diharapkan dan tidak akan pernah terwujud tanpa adanya kerjasama kolektif antara otoritas Palestina dan otoritas Israel dalam usaha mencapai solusi yang tidak merugikan pihak yang selama ini tertindas atas pendudukan Israel. Karena bagi Hamas Palestina adalah tanah wakaf milik seluruh umat Islam di dunia yang tidak boleh sejengkalpun hilang terlebih dirampas oleh tangan-tangan yang ingin berusaha menghapus identitas dan akar keagamaan serta peradaban Islam yang telah ada sejak ribuan tahun silam.

0 komentar:

DISLOKASI UU PORNOGRAFI: Catatan seminar tolak UUP di Ledalero (1)

Benny Obon

Undang-undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi (UU Pornografi) telah mengundang berbagi reaksi dan aksi protes dari berbagai kalangan di seluruh tanah air. Penetapan Undang-undang ini dinilai kurang benar karena substansi persoalan utamanya belum jelas. Persoalan yang diusung/termuat dalam Undang-undang ini menuai reaksi kontroversial. Bahkan sejak masih dalam draft rancangannya reaksi penolakan berdatangan dari berbagai kalangan.
Uji coba penerapan Undang-undang Pornografi di berbagai daerah sebelum diundangkan oleh wakil rakyat (yang terhormat dan yang selalu ingin dihormati) tidak cukup mewakili Indonesia yang luas ini. Selain itu daerah yang dipilih untuk uji coba penerapan Undang-undang Pornografi adalah daerah yang (sangat) mendukung penerapan Undang-undang tersebut. Kelihatannya pemerintah sengaja memilih daerah tertentu sebagai tempat uji coba penerapan undang-undang pornografi terseabut agar masyarakat cepat menerimanya. Pemerintah menyangka bahwa daerah-daerah tersebut sudah cukup mewakili negara Indonesia yang mempunyai banyak agama, budaya dan adat-istiadat.
Proses pengundangan undang-undang tersebut di lembaga DPR tidak menuai hasil yang baik, malah berujung pada pro dan kontra di antara faksi-faksi di DPR. Perdebatan panjang antara wakil rakyat tidak menuai titik terang yang berujung pada walk out yang dilakukan oleh beberapa faksi yang tidak mendukung Undang-undang tersebut.
Perdebatan yang berujung pada WO beberapa faksi tersebut menyiratkan bahwa ruang demokrasi tidak berlaku dalam kalangan DPR. Demokrasi yang dibayar dengan nyawa oleh para pejuang demokrasi digantikan dengan voting oleh anggota DPR. Mudah sekali. Kita tidak perlu heran karena anggota DPR kita melek demokrasi. Tas-tas tangan yang tiap hari dijinjing oleh anggota dewan sama sekali tidak berisi ’barang-barang’ demokrasi, tetapi penuh dengan sisir rambut dan bahan-bahan make up. Sedangkan cerminnya dapat ditemukan pada sepanjang pintu gerbang kantor DPR, di sana para penjual cermin setia menunggu anggota dewan untuk mengunjungi tempat jualan mereka untuk bercermin. Tak peduli terlambat atau tidak, yang penting rambut beres, tidak tahu pekerjaan apa yang dilakukan hari itu. Suara rakyat yang mengusungnya hilang dan terbang bersama asap knalpot Mercedes Benznya ’sang tuan’. Tidak heran mereka tidak dapat menempatkan dirinya di pihak rakyat berhadapan dengan penetapan Undang-undang seperti ini. Inilah wajah anggota DPR kita. Seperti inikah demokrasi?
Penetapan Undang-undang pornografi melalui voting oleh anggota DPR merupakan suatu rasionalisasi transendental dari demokrasi. Kita bisa bayangkan betapa picik dan terkungkungnya wawasan berdemokrasi para anggota dewan di negara kita. Realitas pluralitas agama, suku, ras, bahasa, budaya dan adat-istiadat yang telah turut memperkaya bangsa kita direduksi oleh penerapan Undang-undang Pornografi. Dengannya segala kekayaan tersebut akan dihilangkan, berbagai budaya dan adat-istiadat akan dimatikan serta menutup berbagai akses studi dan penelitian terhadap berbagai kebudayaan di suatu daerah.
Pemberlakuan Undang-undang Pornografi mematikan ekspresi budaya di negara kita yang sangat produktif. Kebudayaan yang selama ini telah mengundang daya tarik banyak orang dikebiri oleh undang-undang tersebut. Para pemimpin menyangka keberadaan budaya yang kaya di Indonesia telah merusak moralitas bangsa. Bahwa moralitas warga negara menjadi kurang baik yang nampak dalam berbagai budaya daerah. Tarian budaya yang telah menjadi kekhasan suatu daerah dinilai tidak manusiawi dan tidak sesuai dengan asas ke-Tuhanan.
Cara berpakian bagi masyarakat Papua tidak lagi dilihat sebagai suatu budaya dan kekhasan orang Papua, tetapi menjadi batu sandungan bagi negara Indonesia. Rendahnya moralitas masyarakat papua yang dilihat dari cara mereka berpakian telah merusak citra Indonesia, karena itu harus dikontrol dan diatur oleh undang-undang. Pemberlakuan undang-undang Pornografi di sini menghapus budaya orang Papua sekaligus meniadakan etnis Papua dari bumi Indonesia. Dengan demikian bumi indonesia tidak lagi menjadi hunian yang aman bagi masyarakat Papua karena mereka selalu dihantui oleh bayangan jeruji besi penjara dan miliaran uang sebagai tebusan terhadap pelanggaran undang-undang pornografi.
Terhadap contoh seperti ini undang-undang pornografi mengalami dislokasi, karena kebudayaan suatu masyarakat dinilai sebagai yang tidak bermoral. Dislokasi ini telah memunculkan berbagai aksi protes di seluruh tanah air. Sebagai reaksi lanjutan terhadap pemberlakuan undang-undang pornografi tersebut, maka Forum Masyarakat Sikka tolak Undang-undang Pornografi menggelar seminar sehari yang berlangsung di aula Seminari tinggi Ledalero.
Seminar tersebut merupakan bagian dari upaya lanjutan atas kegagalan Forum tersebut dalam usaha mendesak presiden untuk melakukan judical review atas undang-undang pornografi. Penyataan sikap Forum masyarakat Sikka yang dibuat pada tangal 19 November 2008 yang lalu tidak berhasil diteruskan ke presiden. Oleh karena itu atas perjuangan pemerintah daerah kabupaten Sikka dan pemerintah propinsi NTT, pemerintah propinsi Papua, Pemerintah propinsi Bali, pemerintah propinsi Sulawesi Selatan serta pemerintah psopinsi Sulawesi Utara, maka pada tanggal 14 Maret 2009 dilangsungkan sebuah seminar di Ledalero. (bersambung)

DISLOKASI UU PORNOGRAFI:
Catatan seminar tolak UUP di Ledalero (2)
Benny Obon

Dislokasi undang-undang pornografi mencemaskan masyarakat. Kecemasan masyarakat sangat berdasdar karena pemberlakuan undang-undang tersebut tidak sesuai asas Pancasila. Pancasila yang menjadi dasar dan ideologi negara ’diperkosa’ oleh berbagai kalangan ke dalam berbagai kepentingan mereka. Undang-undang pornografi tersebut dinilai syarat akan kepentingan golongan tertentu.
Pemberlakuan undang-undang pornografi dinilai tidak adil karena undang-undang tersebut sangat diskriminatif dan tidak mengindahkan etika suatu negara demokrasi. Pengesahan UU Pornografi yang belum jelas substansi persoalan utamanya menimbulkan masalah lain seperti fenomena premanisme yang sangat ditakuti. Kebijakan pengesahan undang-undang tersebut juga dinilai melanggar etika politik karena pemerintah mengabaikan suara masyarakat yang menolak UU tersebut. Pemerintah dilihat mengarah pada sistem pemerintahan yang totaliter dan terlalu mencampuri privasi rakyat, sementara negara kita adalah negara demokrasi. Dengan ini pemerintah mengabaikan peran masyarakat dalam negara alam demokrasi yang dapat mengkritisi berbagai kebijakan pemerintah.
Undang-undang pornografi juga dinilai cacat hukum. Para pembuat undang-undang pornografi melihat konsep negara hukum Pancasila yang lebih menekankan dan mengutamakan kepentingan pribadi atau golongan dari pada kepentingan umum. Pandangan seperti ini akan menimbulkan konflik hukum pada praktiknya dikemudian hari. Di dalamnya keseimbangan antara kepentingan golongan dan kepentingan umum diabaikan.
Kaum minoritas pun semakin ditindas dan segala kepentingannya tidak terakomodasi dalam kebijakan hukum. Alasan kepentingan umum menjadi dasar untuk menekan dan menyudutkan golongan kecil. Dengan demikian dapat dilihat bahwa politik hukum undang-undang pornografi yang mengemukakan konsep negara hukum Pancasila lebih menekankan kepentingan pribadi atau golongan dari pada kepentingan umum.
Pasal 2 undang-undang pornografi berbunyi, “Pengaturan pornografi berasaskan Ketuhanan Yang Maha Esa, penghormatan terhadap harkat dan martabat kemanusiaan, kebhinnekaan, kepastian hukum, nondiskriminasi, dan perlindungan terhadap warga negara”. Kata kepastian hukum dan nondiskriminasi dalam pasal tersebut perlu digarisbawahi dan perlu ditetlaah secara mendalam. Di sini kita perlu bertanya kepastian hukum macam mana yang ditunjukkan oleh undang-undang pornografi? Bukankah setiap budaya mengandung unsur etika dan hukumnya tersendiri. Bukankah suatu tarian adat setempatnya misalnya, mengandung nilai etika, dengannya hukum ditarik dari etika itu sendiri. Tarian adat suatu daerah mengandung nilai etika yang tinggi yang juga terimplisit di dalamnya nilai hukum, sehingga mustahil dinilai sebagai suatu pornoaksi.
Hal kedua yang mau digarisbawahi dari pasal 2 tersebut adalah term nondiskriminasi. Rupanya para pembuat undang-undang pornografi tidak memahami arti istilah nondiskriminasi. Pemberlakuan undang-undang pornografi yang tidak menghargai pluralitas budaya di Indonesia menunjukkan undang-undang tersebut sangat diskriminatif. Berbagai tarian adat dan cara berpakian masyarakat Papua yang dinilai melanggar undang-undang pornografi dengan jelas menunjukkan upaya penghapusan budaya suatu masyarakat. Kenyataan ini menunjukkan bahwa undang-undang pornografi mendiskriminasi masyarakat.
Hal lain yang mau dilihat dari pasal tersebut adalah soal pengaturan pornografi yang berasaskan Ketuhanan Yang Maha Esa. Para pembuat undang-undang pornografi terlalu bijaksana dalam menyusun undang-undang tersebut, karena mereka bekerja berasaskan Ketuhanan. Dengan berasaskan Ketuhanan, maka jelas bahwa undang-undang pornografi adalah suatu produk yang sempurna. Namun, apakah benar bahwa asas Tetuhanan ini menjadi landasan bagi mereka dalam menyusun bab demi bab dan pasal demi pasal undang-undang pornografi?
Pasal 4 point 1 bagian b undang-undang pornografi berbunyi, “Setiap orang dilarang memproduksi, membuat, memperbanyak, menggandakan, menyebarluaskan, menyiarkan, mengimpor, mengekspor, menawarkan, memperjualbelikan, menyewakan, atau menyediakan pornografi yang memuat: b. kekerasan seksual”. Dari pasal ini kita dapat bertanya, apakah undang-undang pornografi dapat menghilangkan kekerasan seksual yang selalu terjadi di tanah air? Apakah undang-undang pornografi dapat menghilangkan dan membatasi keinginan seseoang untuk melakukan kekerasan seksual?
Pasal 31 undang-undang pornografi berbunyi, “Setiap orang yang menyediakan jasa pornografi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 6 (enam) tahun atau pidana denda paling sedikit Rp250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah)”. Bagi seorang Papua yang tiap hari mengenakan pakaian kesukuannya yang dinilai melanggar undang-undang pornografi dan harus dihukum tentu tidak mengerti dan tidak mempunyai uang sebanyak itu untuk membayar denda. Pertanyaan kita adalah, akankah undang-undang pornografi membawa suatu pelindungan bagi masyarakat sebagaimana dimaksudkan eleh pasal 2 di atas? Bukankah undang-undang pornografi justeru membawa ketakutan bagi masyarakat (Papua misalnya) karena setiap saat mereka selalu dibayangi oleh jeruji besi dan miliaran rupiah sebagai denda pelanggaran undang-undang pornografi. Dengan ini undang-undang pornografi tidak melindungi masyarakat tetapi justeru membuat masyarakat tidak tenang dalam hidupnya.
Pertanyaan-pertanyaan di atas merupakan bukti keambiguitasan undang-undang pornografi. Dengan ini jelas dan sangat berasalasan jika masyarakat menolak undang-undang tersebut. Tidak heran kalau berbagai aksi penolakan baik dalam bentuk aksi massa maupun dalam bentuk-bentuk seminar selalu digelar. (bersambung).


DISLOKASI UU PORNOGRAFI:
Catatan seminar tolak UUP di Ledalero (3/habis)
Benny Obon

Reaksi protes atas pengesahan undang-undang pornografi merupakan sesuatu yang sangat perlu dilakukan. Reaksi protes sebagai penolakan merupakan hak masyarakat, bahwa masyarakat berhak untuk mengkritisi berbagai kebijakan yang diambil pemerintah. Dengan mengkritisi kebijakan pemerintah tersebut, menunjukkan masyarakat sudah meanjalankan fungsinya sebagai warga negara. Bahwa warga negara sebagai basis dan substansi dasar dalam negara demokrasi tidak bisa melepaskan diri dalam mengurus negara.
Reaksi protes masyarakat juga menunjukkan rasa kecintaan dan rasa memiliki masyarakat akan sebuah negara. Tanpa rasa memiliki – sense of belonging, dari masyarakat, suatu negara tidak bisa berkembang ke arah yang lebih baik.
Atas dasar inilah maka, masyarakat Indonesia berhak mengajukan protes atas keputusan pemberlakuan undang-undang pornografi. Undang-undang pornografi yang nilai cacat hukum patut dan layak untuk ditolak. Penolakan tersebut disertai dengan berbagai pemikiran kritis seperti, pemberlakuan undang-undang pornografi yang terlalu menekankan fungsi protektif terhadap anak adalah sesuatu yang sangat berlebihan, karena kita mempunyai undang-undang perlindungan anak. Selain itu undang-undang pornografi tentu tidak dapat menghilangkan berbagai tindakan kekerasan terhadap anak. Undang-undang pornografi juga membatasi hak-hak warga negara yang sudah diatur dalam Undang-undang Dasar 1945 yang menjamin hak dan kebebasan warga negara dalam memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan asas yang berlaku dalam negara demokratis.
Dari pemikiran kritis tersebut kita dapat melihat bahwa landasan hukum pembentukan undang-undang pornografi kurang mendasar dan kurang bisa dijadikan landasan hukum pembentukan undang-undang pornografi.
Undang-undang pornografi juga sangat ambigu karena mengalami multi tafsir. Perbedaan penafsiran memunfkinkan munculnya berbagai kesenjangan sosial dalam masyarakat. Kesenjangan sosial ini pada gilirannya akan membawa perpecahan dan konflik dalam masyarakat. Dengan demikian undang-undang pornografi tidak membawa persatuan tetapi justeru membawa perpecahan dalam masyarakat.
Perbedaan penafsiran terhadap undang-undang pornografi membawa orang pada suatu sikap ekstrim, sinisme, skeptis dan subjektivisme yang tinggi. Orang akan memandang orang lain dengan suatu sinisme yang tinggi karena seseorang bisa saja menganggap perilaku orang (tertentu) bertentangan dengan undang-undang pornografi. Sinisme dan subjektivisme yang tinggi akan memunculkan konflik sosial, karena orang dapat saling menaruh curiga satu sama lain.
Kecurigaan seperti ini tentu sangat berbahaya dalam konteks negara kita yang sangat plural. Kecurigaan ini pada gilirannya akan menciptakan konflik antara suku, agama, dan ras. Dengan demikian undang-undang pornografi merupakan suatu benih konflik gaya baru yang lahir di bumi Indonesia.
Selain itu, undang-undang pornografi juga menciptakan suatu pasar politik. Pasar politik ini mengkondisikan masyarakat dalam suatu kondisi tertentu. Dengannya undang-undang pornografi diusung ke dalam berbagai visi dan misi politik untuk merebut suara rakyat. Undang-undang pornografi juga menujukkan suatu fundamentalisme gaya baru yang bersifat transnasional.
Dalam fiundamentalisme gaya baru yang bersifat transnasional, undang-undang pornografi diadopsi dari budaya suatu negara tertentu dan diterapkan secara baru dalam negara Indonesia dengan tema undang-undang pornografi. Dan, sebetulnya para pembuat undang-undang pornografi mengadopsi hukum yang berlaku di negara lain untuk diterapkan di Indonesia. Tindakan seperti ini merupakan suatu upaya menghilangkan kemajemukan dalam suatu negara, karena dengannya pluralitas budaya dan adat-istiadat direduksi ke dalam undang-undang pornografi. Sikap seperti ini akan mengancam integerasi bangsa.
Pemberlakuan undang-undang pornografi adalah suatu ketakuatan yang berlebihan dari pemerintah. Fobia pemerintah ini sangat tidak berdasar. Sebenarnya undang-undang pornografi tidak perlu dibentuk karena bangsa Indonesi telah mempunyai aturan yang berkaitan dengan pornografi yaitu Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) yang diterima keberadaannya karena memnuhi prinsip-prinsip hukum seacara universal. Dari sini kita bisa bertanya, aturan mana yang diterapkan bila terjadi persoalan: apakah undang-undang pornografi atau KUHP tersebut.
Selain itu udang-undang pornografi perlu ditolak karena tidak mendapat dukungan yang kompak di parlemen. Sistem voting yang dilakukan oleh DPR tidak benar karena negara kita adalah negara demokrasi yang menekankan prinsip musyawarah dan mufakat. Undang-undang pornografi yang juga mengurus moral dan akhlak masyarakat yang merupakan urusan keagamaan bukanlah unsur yang harus diatur oleh negara. Pemberlakuan undang-undang pornografi menunjukkan diskursus dalam ruang publik tidak berjalan. Oleh sebab itu kita harus menolak undang-undang pornografi tersebut.*

0 komentar:

ETIKA DISKURSUS DAN BASISNYA DALAM TEORI AKSI MENURUT JUERGEN HABERMAS

Benny Obon
Mahasiswa Sekolah Tinggi Filsafat Ledalero
Tinggal di wisma St. Rafael

1. Apakah sebuah pembenaran prinsip moral niscaya dan mungkin?
Tuntuan pembenaran prinsip moral sangat tidak beralasan mengingat imperatif kategoris Kant seperti banyak variasi dari prinsip penguniversalisasian ditempatkan pada bagian utama oleh etika kognitivist mengikuti langkahnya, ini menunjukkan intuisi moral ini dapat dipertanyakan. Tentu hanya seperti norma aksi yang dimasukan yang mampu menyamakan kepentingan yang sesuai pada konsepsi kita dari pembenaran. Tetapi pandangan moral ini mungkin hanya ekspresi ide moral partikular dari budaya Barat. Penolakan Paul Taylor terhadap usul Kurt Baier dapat diperluas pada berbagai versi prinsip penguniversalisasian.
Kemudian ada alasan untuk menduga bahwa klaim universalitas yang dibangun oleh etika kognitivist dihadapan prinsip moral pada kemurahan hati adalah sesuai dengan kekeliruan etnosentris. Kognitivist tidak dapat menghindarkan tuntutaan kaum skeptik bahwa itu dapat dibenarkan. Di mana mereka tidak hanya mendasarkannya pada pertimbangan sehat. Kant mendasarkan pembenaran imperatif kategoris pada konsep substansi normatif dari otonomi dan kehendak bebas. Dengan melakukan hal itu maka ia membuat dirinya mendapat kritikan pada penolakan bahwa ia berkomitmen pada petitio principii. Dalam hal lain pembenaran imperatif kategoris menjalin hubungan yang menyeluruh dengan sistem Kant bahwa itu tidak mudah untuk dipertahankan jika premis-premisnya diubah.
2. Munchhausen Trilemma
Hans Albert dalam Treatise on Critical Reason mengambil keraguan kaum skeptik untuk menyusun kembali keraguan tentang kemungkinan pembenaran moral uiversalist sebagai sebuah tututan bahwa itu mustahil untuk dibenarkan seperti moral. Hans Albert menghubungkannya dengan model filsafat praktis Popper dari percobaan kritis yang dikembangkan untuk filosofi pengetahuan dan bertujuan untuk mengambil tempat dari kaum pembentuk tradisional dan kaum pembenar.
Menurut Hans Alber, usaha untuk membenarkan prinsip moral dengan kebenaran universal akan membawa kaum kognitivist dalam Munchhausen trilemma. Dalamnya mereka berhadapan dengan tiga alternatif yang tidak bisa diterima. Munchhausen trilemma merupakan suatu trilemma yang merujuk pada persoalan setiap pendasaran akhir, bahwa setiap pendasaran merujuk pada prinsip yang lebih tinggi. Prinsip yang lebih tinggi ini juga harus diberi pendasaran yang logis. Tiga hal yang tercakup dalam trilemma tersebut antara lain:
a. Regressus infinitum yaitu rantai pembuktian tanpa akhir,
b. Rantai infinitum tersebut berakhir begitu saja, ini menunjukkan persoalan tersebut tidak rasional dan hal ini tidak mungkin karena itu mengandaikan ada alasan yang lain.
c. Membuat suatu pembuktian dengan metode lingkaran atau dengan argumen yang melingkar. Hal ini tidak mungkin karena apa yang harus dibuktikan adalah pengandaian dari pembuktian.
Status trilemma ini sangat problematik. Trilemma dibangun hanya jika pengandaian sebuah pembenaran konsep semantik itu diorientasikan pada hubungan deduktif antara pernyataan-pernyataan dan basisnya semata-mata pada konsep kesimpulan yang logis. Konsep deduktif dari pembenaran ini terbatas pada eksposisi hubungan pragmatik antara wacana tindakan argumentatif.
Terhadap argumenasi tersebut Karl-Otto Apel menjadi sumber kesalahan untuk mencurahkan metakritik dan menyangkal menolak Munchhaussen trilemma. Apel berubah pikiran yang membuka dimensi yang tersembunyi dari pembenaran deduktif dari norma etika dasar. Ia menghidupkan lagi mode transedental dari pembenaran dengan menggunakan bahasa pragmatis. Satu elemen kunci dari argumentasi pragmatis transendental adalah gagasan kontradiksi performatif. Dengan demikian Apel membongkar kontradiksi performatif dalam penolakan yang dibangun oleh kaum falibilist yang menolak kemungkinan prinsip moral dasar dan menghadirkan Munchhausen Trilemma.
Tak dapat disangkal bahwa pembenaran pragmatis transendetal dalam kenyataannya mungkin. Selanjutnya Habermas menunjukkan argumennya dengan menyebutkan kondisi yang tertentu bahwa argumen-argumen pragmatis transendental harus dapat diterima. Habermas menggunakan kriteria ini untuk menduga dua anjuran yang terbaik dari R. S. Peters dan Karl-Otto Apel. Habermas juga menghadirkan sebuah versi argumen pragmatis transendental yang dapat berdiri pada penolakan yang biasa dalam melawannya. Selain itu Habermas juga menunjukkan pembenaran etika diskursus tidak mempunyai status pembenaran yang utama dan (mengapa) tidak ada kebutuhan untuk mengklaim status ini.
3. Moralitas dan Etika Kehidupan
Pertentangan antara kaum kognitivist dan skeptik belum diselesaikan secara definitif. Kaum skeptik tidak puas dengan menyerah pada klaim pokok pembenaran dan prospek konfirmasi langsung dari teori diskursus. Kaum skeptik dapat menanyakan asal mula kekuatan transendental pragmatis dari prinsip moral. Dan bahkan jika kaum skeptik sudah mengakui bahwa etika diskursus dapat dibenarkan pada tataran ini, maka mereka tetap mempunyai alasan untuk menyerang kaum cognitivist (1).
Kaum skeptik dapat mengikuti pendapat neo-Aristotelian dan neo-Hegelian yang menunjukkan bahwa etika diskursus tidak menunjukkan banyak perhatian yang riil dari etika filosofis, sejak etika diskursus menunjukkan yang terbaik sebuah formalisme yang kosong yang konsekuensi praktisnya tidak menguntungkan (2).
Habermas hanya menjawab penolakan kaum skeptik yang kedua hanya pada suatu keniscayaan yang tinggi untuk mengklarifikasi basis terori aksi etika diskursus. Karena moralitas selalu melekat pada apa yang disebut Hegel sebagai etika kehidupan, maka etika diskursus selalu terbatas pada subjek dan walaupun ketidakterbatasan tersebut dapat mendevaluasi fungsi kritiknya atau kekuatan kaum skeptik pada aturannya sebagai pendukung kontra pencerahan.
Habermas menjelaskan bahwa jika kaum skeptik mengikuti argumen yang sudah dikemukakannya maka mereka akhirnya siap menerima pembenaran prinsip moral dan prinsip etika diskursus yang diperkenalkan Habermas. Bagaimana pun hanya merujuk pada kemungkinan argumentasi yang tersisa, ia menyebutnya ke dalam arti etika formalis. Dengan berakar pada argumentasi praktis dalam konteks kehidupan dunia dari komunikasi aksi merujuk pada kritik Hegel dari Kant yang oleh kaum skeptik untuk mendukung penolakannya terhadap kaum kognitivist.
Selanjutnya Habermas berhadapan dengan Albrecht Wellmer yang mengajukan keberatan bahwa etika formal dan prosedural semacam itu kurang relevan. Karena dalam praktik kita mengacu pada nilai-nilai dan norma-norma yang berlaku dalam lingkungan sosial kita baik dapat atau tidak dapat dibenarkan dalam sebuah diskursus. Dalam kenyataan orang tidak akan berpikir untuk membenarkan keyakinan-keyakinan moralnya dulu melalui sebuah diskursus melainkan ia sudah mengandaikannya dari lingkungan sosial budayanya sendiri.
Habermas menanggapi pendapat Albrecht Wellmer, pertama-tama ia menjelaskan bahwa prinsip etika diskursus menyangkut sebuah prosedur, pembenaran diskursif klaim-klaim keberlakuan normatif, dalam arti ini etika diskursus tepat disebut sebagai etika formal. Ia tidak memberi orientasi substansial, melainkan suatu metode diskursus praktis. (Seperti yang sudah dijelaskan dalam pertemuan-pertemuan awal) bahwa diskursus bukan metode untuk menciptakan norma-norma yang sah melainkan untuk memeriksa keabsahan norma-norma yang diajukan dan dipertimbangkan secara hipotesis. Etka diskursus merupakan sarana untuk mencek apakah sebuah norma yang sedang dipersoalkan berlaku universal atau tidak.
Kedua, dari mana etika diskursus mengambil norma-norma yang didiskursuskan? Habermas menjawab dari dunia kehidupan. Dunia kehidupan maksudnya segala macam pandangan dunia, kepercayaan, nilai-nilai dan kebiasaan yang berlaku dalam sebuah komunitas atau kelompok sosial tertentu dan yang merupakancakrawala dan konteks otomatis daris egala pengertian, tindakan dan gaya hidup kelompok tersebut. dunia kehidupan menentukan identitas sosial kultural seseorang. Adalah ciri khas dunia kehidupan bahwa ia diandaikan begitu saja dan pada umumnya tidak disadari.
Diskursus-diskursus praktis harus diberi isinya. Tanpa cakrawala dunia kehidupan kelompok sosial tertentu, dan tanpa perbedaan pendapat mengenai apa yang dalam sebuah situasi tertentu harus dilakukan, di mana para partisipan memandang pengaturan konsensual materi sosial yang dipertentangkan sebagai tugas mereka, tidak masuk akal mau melakukan diskursus praktis. Situasi konkret di mana kesepakatan normatif terganggu, yang merupakan bahan masing-masing diskursus praktis, menentukan objek dan masalah-masalah yang perlu diperdebatkan. Maka prosedur ini formal bukan dalam arti bahwa bukan mengenai masalah-masalah tertentu. Dalam keterbukaannya diskursus justru tergantung dari masalah-masalah yang kebetulan diajukan. Dalam diskursus, masalah-masalah itu dikerjakan sedemikian rupa hingga segi-segi nilai khusus akhirnya tidak dapat diperhatikan karena tidak dapat disepakati, apakah selektivitas ini yang membuat prosedur etika diskursus tidak mencukupi untuk memecahkan masalah-masalah praktis.
Apabila kita mendefinisikan maslah praktis sebagai masalah hidup baik yang mengenai keseluruhan pola hidup masing-masing maka formalisme etis memang keras: prinsip penguniversalisasian berfungsi bagaikan pisau yang membuat potongan antara yang baik dan yang adil antara pernyataan-pernyataan evaluatif dan murni normatif. Nilai-nilai kultural memang memuat klaim atas pengakuan intersubjektif, akan tetapi mereka terjalin sedemikian erat dengan keseluruhan sebuah pola hidup khusus sehingga tidak dengan sendirinya dapat mengklaim keberlakuan normatif dalam arti sesungguhnya – mereka paling-paling menjadi kandidat untuk dijelmakan ke dalam norma-norma yang mau mengajukan sebuah kepentingan umum.*

0 komentar:

DEMOKRASI YANG SALAH KAPRAH

Benny Obon
Mahasiswa Sekolah Tinggi Filsafat Ledalero
Cru KMK_Ledalero – tinggal di wisma St. Rafael

Tanggal 3 Februari 2009 yang lalu adalah hari yang bersejarah bagi bangsa Indonesia. Kita dikejutkan dengan berita meninggalnya Abdul Aziz Angkat, ketua DPRD Sumatera Utara dalam sebuah aksi anarkis kelompok yang menutut pembentukan propinsi Tapanuli. Demokrasi yang sedang bersemi di Indonesia direduksi oleh aksi tidak manusiawi tersebut. Demokrasi mengalami salah kaprah oleh masyarakat.
Unjuk rasa yang dilakukan oleh kelompok pendukung pembentukan Protap yang berujung pada meninggalnya ketua DPRD Sumut menambah catatan gelap sejarah demokrasi di Indonesia. Bangsa Indonesia yang sedang ‘berbulan madu’ dengan demokrasi mesti berduka oleh para pengagum dan penyokong demokrasi itu sendiri. Orang pun bertanya: apa itu demokrasi dan seperti itukah demokrasi?
Pertanyaan tersebut menantang para pejuang demokrasi. Untuk menjawab pertanyaan ini, penulis perlu menjelaskan arti dan konsep tentang demokrasi.
Term demokrasi berasal dari kata bahasa Yunani; demos yang berarti rakyat dan kratos/kratein yang berarti kekuasaan, sehingga demokrasi berarti kekuasaan rakyat – goverment by the people. Istilah demokrasi pertama kali dipakai oleh Plato (427 SM-347 SM). Dalam konsepnya tentang negara, ia mengemukakan bentuk negara yang sesuai dengan watak manusia. Ia menempatkan demokrasi sebagai bentuk negara yang keempat. Menurutnya kata kunci dalam demokrasi adalah kebebasan, rakyat merasa bebas dan negara memancarkan suasana kebebasan untuk mengeluarkan pendapat.
Dalam rumusan sederhananya, demokrasi berarti pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Konsep ini sangat sederhana, tetapi dihidupi dan menjadi ciri kehidupan politik dalam suatu negara, termasuk segala sistem organisasi politiknya. Demokrasi mendasari segala aktivitas politik dalam suatu negara demokrasi.
Menurut penelitian yang dilakukan oleh UNESCO pada tahun 1949, demokrasi sangat kuat dan melingkupi berbagai organisasi politik. Dalam penelitiannya tersebut UNESCO menulis, “Probably for the first time in history, democracy is claimed as the proper ideal description of all the system of political and social organizations advocated by influential proponents”.
Di sini UNESCO melihat bahwa demokrasi merupakan nama yang paling baik untuk berbagai organisasi politik. Organisasi politik tersebut mencakup hak-hak politik. Dan, menurut John Lock (1632-1704) hak-hak politik tersebut salah satunya mencakup hak atas kebebasan.
Demokrasi dengan kata kunci kebebasan berkiblat pada satu arah yaitu tercapainya suatu kehidupan bernegara yang baik, aman dan sejahtera. Masyarakat dapat mewujudkan dirinya dan mencapai kesejahteraan melalui negara, dan segala kehidupan dan aktivitas politik hanya dapat dilakukan dalam negara. Segala aktivitas politik hanya ada karena ada(nya) negara. Di sini negara menjadi syarat terjadinya segala aktivitas politik. Dengan demikian, politik mempunyai tujuan yang sama dengan negara yaitu mencapai kebaikan dan kebahagiaan warga masyarakat. Dan, menurut Aristoteles politik berkiblat pada eudaimonia.
Eudaimonia yang dikonsepkan Aristoteles hanya akan terwujud jika masyarakat mempunyai kebebasan, dan kebebasan inilah yang menjadi ciri khas sebuah negara demokrasi. Namun, apa yang terjadi jika kebebasan yang diusung oleh demokrasi berujung pada demo-crazy?

Salah Kaprah
Demokrasi di negara kita meninggalkan catatan gelap dalam sejarah bangsa. Selama 32 tahun bendera demokrasi berkibar tanpa ‘tiang’. Kebebasan yang merupakan kekhasan demokrasi direduksi ke dalam kepentingan pribadi dalam manuver politik Soeharto. Password ‘langsung ditangkap’ menjadi ciri khas politiknya. Praktisnya demokrasi hanyalah sebuah nama.
Selanjutnya pada masa reformasi, demokrasi mulai dihidupkan kembali. Pada saat itu bangsa Indonesia ‘bersepakat’ untuk sekali lagi melakukan demokratisasi. Artinya proses pendemokrasian sistem politik Indonesia agar kebebasan rakyat dapat terbentuk dan kedaulatan rakyat ditegakkan. Dapat dikatakan bahwa demokratisasi sudah cukup berhasil membentuk pemerintah Indonesia yang demokratis karena nilai-nilai demokrasi yang penting telah diterapkan melalui pelaksanaan peraturan perundangan mulai dari UUD 1945. Memang benar bahwa demokrasi adalah proses tanpa akhir, karena demokrasi adalah sebuah kondisi yang tidak pernah terwujud secara tuntas. Dengan berbagai kemajuan yang ada, demokrasi di Indonesia telah berkembang. Dan, ini adalah suatu prestasi yang luar biasa dalam sejarah perpolitikan negara kita, dan tentu kita semua bangga dengan keberhasilan tersebut.
Namun, kebanggaan dan prestasi tersebut direduksi atau mungkin (dan mudah-mudahan tidak) hilang dengan aksi massa yang dilakukan oleh kelompok yang menuntut pembentukan Protap yang berujung pada meninggalnya ketua DPRD Sumut. Aksi anarkis tersebut tidak terbendung, sehingga mereka berhasil ‘mengadili’ ketua DPRD Sumut hingga tewas. Aksi massa tersebut merupakan suatu ekspresi kebebasan dari masyarakat.
Demokrasi yang menekankan kebebasan bagi masyarakat menimbulkan multi tafsir dan aksi brutal masyarakat Sumut tersebut terjadi karena salah penafsiran atas konsep demokrasi. Demokrasi yang bermuara pada kebaikan dan kesejahteraan masyarakat justeru dimengerti dan diaplikasikan secara salah. Di sini terjadi salah kaprah.
Aksi massa tersebut juga dapat merupakan sebuah ledakan dan luapan dari demokrasi yang sempat terkubur selama 32 tahun. Selama rezim orde baru, segala bentuk protes dan aksi massa hampir tidak ada. Hal ini disebabkan karena kuatnya cengkeraman kuku politik Soeharto. Orde baru berkiprah dengan key word yang membuat orang tunduk dibawahnya. Setiap orang yang berani atau mencoba untuk berani bersuara akan diamankan dengan kata ajaib tersebut, sehingga tak jarang banyak orang yang ‘hilang’ tak tahu jejaknya. Singkatnya orang terdiam dihadapan kuasa Soeharto.
Pada masa Soeharto demokrasi mengalami mati suri. Segala aktivitas yang merupakan perwujudan demokrasi perlahan-lahan disimpan dan ditimbun dalam nurani masyarakat. Timbunan aktivitas demokrasi tersebut makin lama makin banyak dan padat, pada gilirannya menjadi seperti sebuah bom yang siap meledak. Selama 32 tahun timbunan tersebut tentu sudah memenuhi tangki nurani masyarakat.
Ketika rezim Soeharto tumbang dan bendera demokrasi kembali berkibar dengan tiang yang terpancang di bumi Indonesia, maka bom tersebut meledak yang nyata dalam berbagai aksi massa yang terjadi hampir di seluruh wilayah Indonesia. Aksi massa tersebut merupakan bagian dari aktivitas masyarakat untuk belajar berdemokrasi. Demokrasi sebagai suatu proses belajar, itu berarti ia selalu dipelajari dan pembelajaran tersebut tidak akan pernah berhenti.
Dalam hubungan dengan kasus kematian ketua DPRD Sumut, masyarakat sedang belajar berdemokrasi, tetapi pembelajaran tersebut mengalami salah kaprah dengan aksi massa yang tidak terkendali. Salah kaprah tersebut merupakan akibat dari kebebasan yang tidak bertanggung jawab. Aksi brutal mayarakat Sumut telah mereduksi esensi demokrasi menjadi demo-crazy – demokrasi gila. Peristiwa yang terjadi di Sumatera utara mesti menjadi pelajaran bagi kita semua agar tidak berbuat hal-hal serupa, sehingga kita dapat menunjukkan jati diri sebagai masyarakat yang dewasa dalam berdemokrasi.*

1 komentar:

Iklan Politik Vs Etika Politik

Benny Obon
Mahasiswa Sekolah Tinggi Filsafat Ledalero
Kru KMK_Ledalero – tinggal di wisma St. Rafael
Peminat sastra dan kaligrafi Arab

Waktu pelaksanaan pemilu legislatif semakin mendekati hari-H. Berbagai persiapan untuk penyelenggaraan pesta demokrasi tersebut sudah mulai terlihat. Dimana-mana para calon anggota legislatif sibuk dengan silaturahmi politik. Berbagai baliho mulai terlihat di sepanjang jalan, pada tiang-tiang listrik, pada pohon-pohon, tak ketinggalan stiker-stiker yang berserakan di jalan raya, bahkan ada caleg yang tidak memasang baliho tetapi memilih lebih sering berdiri (parkir) di jalan raya – baliho hidup, supaya dikenal orang. Namun, di atas semuanya itu satu hal yang tidak luput dari perhatian kita adalah soal iklan politik yang menguasai hampir seluruh media massa di negara kita.
Sejak runtuhnya rezim Soeharto, bendera politik sudah kembali ke tangan rakyat. Politik yang menekankan kebebasan menjadikan rakyat berlomba-lomba dalam berpolitik. Satu hal yang sangat kita rasakan yaitu banyaknya partai politik yang terbentuk. Partai politik sebagai kendaraan politik ramai ‘didatangi’ oleh mereka yang ingin menjadi wakil rakyat. Semakin banyaknya orang yang ingin duduk dalam lembaga legislatif menjadikan rakyat sebagai rebutan para calon anggota legislatif. Oleh sebab itu mereka bertarung untuk merebut suara rakyat dalam memperoleh kursi pada lembaga tersebut.
Salah satu upaya untuk merebut suara rakyat adalah dengan cara memperkenalkan diri sebanyak-banyaknya kepada rakyat melalui media massa baik elektronik (televisi) maupun cetak (surat kabar). Hampir setiap saat beberapa saluran televisi di negara kita saat ini selalu dihiasi oleh iklan politik yang menampilkan beberapa calon anggota legisltif entah itu pusat maupun daerah, begitupun media massa cetak. Misalnya, beberapa edisi belakangan ini pada harian Pos Kupang dan Flores Pos selalu terdapat foto para caleg dengan segala visi dan misinya. Inilah fenomena yang disebut iklan politik yang lebih mementingkan politik citra.
Iklan politik ini sangat kuat pada era demokrasi (saat ini) dengan sistem pemilihan langsung yang sangat mengandalkan politik citra dari para kandidat. Pengalaman selama ini menunjukkan dalam arena pertarungan pemilu legislatif, pilkada atau pun pilpres kalah menangnya seorang kandidat (sangat) bergantung pada pencitraan dirinya di mata publik. Hal ini ditunjukkan oleh para kandidat presiden pada Pemilu 2004 di mana mereka menciptakan budaya politik baru di Indonesia yakni budaya politik populis. Contoh lain dari dunia televisi yaitu gubernur DKI (Fauzi Bowo-Prijanto) yang mempunyai diurasi waktu iklan yang banyak dan kemudian berhasil menjadi gubernur DKI. Dalam ranah NTT misalnya, Fren berhasil menjadi gubernur (salah satunya) karena memasang iklan sebanyak-banyaknya pada surat kabar dengan segala visi dan misinya. Fenomena ini kembali ditunjukkan pada pemilihan anggota DPR, DPRDI, DPRDII bahkan untuk pemilihan presiden dan wakil presiden yang akan segara kita hadapi. Dilihat dari gencarnya iklan politik dari para kandidat di media massa ini, maka moto-moto seperti bersama kita bisa, demi rakyat aku maju, mari kita bangun NTT, menjadi sesuatu yang lazim di tengah masyarakat.
Pemasangan iklan politik di media massa menimbulkan soal tersendiri karena memiliki beberapa kelemahan. Pertama, iklan politik kurang mengandung unsur pendidikan politik bagi masyarakat. Politik tidak lagi sebagai ruang partisipasi berdemokrasi bagi masyarakat, tetapi menjadi ruang untuk menjual visi dan misi kepada masyarakat. Media massa sebagai sarana untuk memperoleh informasi hendaknya memberikan pendidikan politik bagi masyarakat, dengannya rakyat mengetahui apa itu politik. Dengan demikian rakyat dapat berpartisipasi secara aktif dalam berpolitik, bukan menipu masyarakat dengan visi dan misi yang sangat populis.
Kedua, iklan politik kurang memperhatikan fungsi iklan dalam setiap kegiatan politik. Pada dasarnya iklan pada media massa bertujuan untuk memberikan informasi kepada masyarakat. Namun fungsi iklan tersebut direduksi dengan adanya iklan politik yang menekankan politik citra. Esensi iklan yang informatif mesti memberikan informasi seputar politik. Misalnya menghadapi pemilu legislatif yang tinggal beberapa hari lagi, media massa mesti menjadi ruang sosialisasi pemilu kepada masyarakat bagaimana cara mencontreng yang benar. Apalagi sistem pemilu legislatif kali ini dinilai terlalu rumit ditambah kurangnya sosialisasi dari pihak KPU. Setiap iklan politik juga mesti dapat mendorong dan menggugah kesadaran masyarakat untuk benar-benar menggunakan hak politiknya, dan mengatasi kemungkinan Golput. Umumnya masyarakat kita sudah pintar membaca setiap akrobat politik para caleg karena mereka sudah sering ditipu oleh janji-janji yang menggiurkan. Hal ini menimbulkan apastisme politik yang membuat masyarakat lebih memilih untuk Golput. Oleh sebab itu iklan politik mesti dapat memberikan kesadaran berpolitik kepada masyarakat (sebagai seorang warga negara).
Ketiga, iklan politik bertendensi pada budaya konsumerisme seperti pada pemilu 2004 yang lebih ditentukan oleh kombinasi, akumulatif dari seberapa banyak dana kampanye yang dimiliki dan seberapa hebat sebuah tim sukses menyusun pesan-pesan yang emosional yang menjadikannya sebagai selebritas politik.
Keempat, iklan politik mengabaikan kehebatan mesin-mesin politik. Pengabaian ini diprediksi tergerus oleh pesona citra individu. Akibatnya iklan, poster, lagu dan lain-lain yang terpasang dimana-mana (dan relatif baru) merupakan suatu komunikasi tanpa substansi. Mereka lebih merupakan political marketing daripada political communication. Bahayanya suka cita janji besar-besar tanpa detail membuat semua perasaan bergejolak karena semua ada, apa pun bisa, ekspektasi menjadi melambung jauh begitu tinggi di tengah politik citra, apalagi dengan jarak yang terasa begitu jauh antara janji-janji nan indah dengan kenyataan kerasnya kehidupan rakyat.
Kelima, iklan politik melanggar etika politik. Dari sudut etika politik, seharusnya yang menjadi perhatian utama iklan politik adalah memberi pemilih suatu sudut pandang yang disampaikan oleh partai politik atau seorang kandidat untuk memperluas cakrawala berpolitik masyarakat. Tetapi yang sering terjadi adalah komersialisasi politik tanpa mengindahkan etika politik. Iklan politik hanya bertolak dari ada tidaknya uang untuk biaya iklan, dan tidak memperhatikan moralitas dalam berpolitik. Misalnya pemanfaatan teknologi untuk memanipulasi diri demi tampilan palsu atau teknik editing, penyuntingan, berupa penambahan atau pengaturan naskah atau pengubahan dan penyusunan kembali suatu adegan untuk menciptakan impresi palsu, dramatisasi visual, penampilan, make-up, warna rambut, kilauan senyum. Manipulasi teknologis tersebut menghalangi kemampuan informed electorate untuk membuat pilihan rasional. Di sini seni yang adalah pancaran dari keindahan direduksi ke dalam berbagai iklan politik (pada foto-foto para caleg).
Dari beberapa kelemahan tersebut, dapat dilihat bahwa demokrasi sebagai sarana berpolitik direduksi oleh adanya komersialisasi politik berwujud iklan. Dengan demikian kesempatan untuk mengemukakan gagasan didominasi oleh mereka yang memiliki dana yang cukup besar. Tak heran pada Pemilu 2004 baik pemilihan legislatif maupun pemilihan presiden, hanya mereka yang memiliki dana yang cukup besar yang dapat membeli durasi iklan di Tv sehingga dapat muncul sesering mungkin, sementara mereka yang bermodal sedikit hanya bisa menonton dan mendengarkan visi misi lawan.
Iklan politik dan money politics mempunyai hubungan erat. Keduanya sama-sama bermain uang, dan pada tataran esensi, money politics dan iklan politik sama, dalam arti penyampaian gagasannya ditentukan oleh seberapa banyak uang di dalam kasnya. Sedangkan yang membedakan antara keduanya adalah legalitas di bidang hukum, dalam arti mereka menggunakan uang sendiri untuk biaya iklan politik tersebut.
Dari Survei Nielsen Media Research, menunjukkan selama masa kampanye Pemilu 2004, PDI-P dan Partai Golkar adalah partai yang paling banyak beriklan. PDI-P sendiri mengeluarkan dana Rp 39,25 miliar untuk satu bulan kampanye, sedangkan Partai Golkar membelanjakan Rp 21,75 miliar, belum lagi dana pembuatan iklan, belum termasuk iklan di radio, pemasangan baliho, spanduk, poster dan lain lain. Untuk saat ini partai yang paling sering muncul dalam iklan Tv adalah PKS, Gerindra, Golkar (juga menghiasi halaman-halaman utama pada internet) dan Demokrat. Maka, kita bisa bayangkan berapa banyak dana yang harus disiapkan oleh kandidat atau parpol untuk memenangkan suatu Pemilu.
Kebutuhan akan biaya iklan politik yang tidak sedikit ini mau tidak mau memaksa setiap parpol maupun kandidat untuk bekerja ekstra keras dalam memenuhi kas mereka demi mendapatkan durasi atau pun ruang pada media elektronik maupun cetak. Hal ini tidak menutup kemungkinan mereka melakukan kolusi dengan para pemilik media massa. Maka sangat sulit bagi parpol maupun kandidat untuk memperjuangkan kepentingan rakyat yang selalu didengungkannya pada saat berkampanye, karena yang paling utama bagi mereka adalah membela kepentingan kroni-kroninya tersebut.
Pada pemilu legislatif dan pemilihan presiden 2009 yang tinggal beberapa saat lagi, belanja untuk iklan politik diperkirakan akan meningkat dibandingkan dengan belanja iklan politik menjelang Pemilu 2004. Belanja iklan politik ini sudah mulai terlihat dengan munculnya para tokoh yang memaparkan visi dan misinya, terlepas dari apa pesan yang disampaikannya, namun biaya yang harus dikeluarkannya untuk iklan tersebut tidaklah sedikit. Misalnya dana yang digunakan untuk beriklan tersebut dibelanjakan untuk memperbaiki bangunan SD yang kini banyak yang rusak di beberapa daerah di NTT karena bencana angin kencang belakangan ini. Atau dana tersebut digunakan untuk membeli susu bagi para balita di daerah kita, maka tak akan ada cerita balita yang mengalami gizi buruk, atau dana tersebut digunakan untuk memberi bea siswa kepada murid yang tidak mampu.
Sungguh ironis di tengah kondisi kesulitan ekonomi yang dialami oleh sebagian masyarakat kita, di satu sisi ada pihak yang mengatasnamakan pembela dan pengayom rakyat miskin, menggunakan uangnya yang apabila penghasilan seluruh rakyat miskin selama sebulan di Indonesia dikumpulkan, tak akan mampu menyaingi biaya yang dikeluarkan untuk politik pencitraan tersebut. Memang memasang iklan di media massa bukan merupakan sebuah tindakan kriminal, namun tetap melanggar etika dalam berpolitik. Politik sebagai artikulasi kebebasan mesti membebaskan masyarakat, dan media massa sebagai diskursus ruang publik (mengutip Juergen Habermas, bdk. Public Sphere) mesti netral dan membela kepentingan umum demi kesejahteraan bersama. Dengan demikian politik dapat membebaskan rakyat.*

0 komentar:

Melampaui Hegemoni Kaum Pria

MELAMPAUI HEGEMONI KAUM PRIA
(Soal partisipasi Perempuan dalam Pemilu)
Benny Obon
Mahasiswa Sekolah Tinggi Filsafat Ledalero
Kru KMK_Ledalero – tinggal di wisma St. Rafael

Pada abad ke-19 muncul perjuangan kaum perempuan di Amerika Serikat yang dipelopori oleh Elisabeth Cady Canton. Ia menerbitkan The Woman’s Bible yang berisi tafsiran terhadap ayat-ayat Alkitab yang berkaitan dengan perempuan. Ia memperjuangkan persamaan peran dan kepemimpinan antara laki-laki dan perempuan dalam Gereja dan masyarakat.
Perjuangan untuk mencapai persamaan antara laki-laki dan perempuan dalam masyarakat atau negara telah lama diperjuangkan. Negara-negara yang sudah maju seperti Amerika, Jerman, dll sangat memperhatikan peran dan partisipasi perempuan dalam negara. Misalnya, Angel Merkel terpilih menjadi Kanselir Jerman, Condolise Rice yang diikuti oleh penerusnya Hillary Clinton dipilih sebagai menteri luar negeri Amerika Serikat, Gloria Macapagal Aroyo terpilih menjadi Presiden Filipina serta Megawati yang pernah menjadi Presiden Indonesia. Mereka dapat dikategorikan sebagai the great woman in the history of modern Politics. ¬¬
Globalisasi yang membawa perubahan dalam berbagai lini kehidupan manusia, telah menyebabkan kaum pria tidak memandang sebelah mata kaum perempuan. Dengan ini kaum perempuan dilihat sebagai mitra dalam memperjuangkan kesejahteraan bangsa dan negara. Tak jarang berbagai fenomena seperti perempuan menjadi menteri luar negeri, presiden atau pun pemimpin suatu partai politik sangat kuat pada era sekarang.
Dalam konteks Indonesia, perjuangan perempuan dalam ranah publik sudah lama diperjuangkan. Selain kongres Perempuan I di Bandung pada tahun 1928, partisipasi perempuan juga sangat besar (terutama) dalam memperjuangkan revolusi Indonesia. Partisipasi perempuan dalam revolusi Indonesia menjadikan mereka tidak tersubordinasi oleh kaum laki-laki. Anthony Reid dalam Southeast Asia In an Age of Commerce 1945-1680, menulis “Women in Indonesia had never been comprehensively subordinate to man, ...”. Kaum perempuan yang ikut dalam revolusi Indonesia umumnya menjadi aktivis – sebagai pemuda, (bdk. The Heartbeat of Indonesian Revolution, pp. 70-93). Selain mereka, kita juga mengenal sosok R. A. Kartini yang menjadi spirit gerakan kaum perempuan di Indonesia. Oleh sebab itu, pemilu legislatif kali ini dapat menjadi momen melahirkan Kartini-kartini baru di Indonesia.
Caleg perempuan tidak diragukan
Berlakunya Undang-undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilu semakin membuka peluang berperannya kaum perempuan di negeri kita dalam berbagai panggung politik. Dengan ini panggung politik Indonesia turut diramaikan oleh akrobat politik kaum perempuan. Ada beberapa alasan untuk tidak meragukan caleg perempuan.
Pertama, kaum perempuan kini ramai mengurus partai politik. Semakin banyaknya kaum perempuan yang mengurus partai politik mulai dari kader partai sampai pada ketua dewan pengurus cabang (DPC) membuka peluang bagi perempuan untuk ikut serta dalam pemilu. Keikutsertaan perempuan dalam pemilu dipertegas lagi oleh pasal 8 Undang-undang Nomor 10 Tahun 2008. Pasal tersebut mensyaratkan sekurang-kurangnya 30 persen keterwakilan perempuan di tingkat pusat (DPD). Kondisi ini memungkinkan perempuan untuk menunjukkan segala idealismenya dalam pemilu.
Kedua, adanya perempuan yang menjadi pimpinan partai politik. Kondisi ini mendorong kaum perempuan (lain) di Indonesia untuk terjun dalam dunia politik. Setidaknya ada empat partai politik yang diketuai oleh perempuan yaitu, Megawati Soekarno Putri yang memimpin Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Sukmawati Soekarno Putri yang memimpin Partai Nasional Indonesia Marhaenisme, Amelia Achmad Yani yang memimpin Partai Peduli Rakyat Nasional, sementara di Partai Indonesia Baru ada Kartini Sjahrir.
Ketiga, terbentuknya Undang-undang Nomor 55 Tahun 2008 yang mengakomodasi peluang perempuan sebagai calon anggota legisltif. Pasal tersebut menyatakan, dalam daftar bakal calon anggota legislatif yang diajukan partai harus memuat paling sedikit 30 persen keterwakilan perempuan. Ini berlaku untuk tingkat DPR, DPRD I, dan DPRD II. Kondisi ini memberi peluang bagi perempuan di seluruh Indonesia untuk ikut serta dalam pemilu.
Keempat, adanya perhatian yang besar dari beberapa partai politik akan partisipasi perempuan dalam politik. Hal ini ditunjukkan oleh beberapa partai politik yang mengajukan caleg perempuan di atas 40 persen. Ini satu hal yang menggembirakan. Dan, setidaknya ada delapan partai politik yang mengajukan caleg perempuan di atas 40 persen. Partai-partai tersebut antara lain, Partai Pengusaha dan Pekerja Indonesia (48,91%), Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia (45,08%), Partai Nahdlatul Ummah Indonesia (43,48%), Partai Demokrasi Kebangsaan (42,80%), Partai Persatuan Daerah (42,14%), Partai Demokrasi Pembaharuan (41,50%), Partai Bintang Reformasi (41,08%), dan Partai Matahari Bangsa (40,92%). Sementara itu untuk jumlah caleg perempuan per provinsi, provinsi Jawa Barat menempati posisi pertama sebanyak 635 orang caleg perempuan (16,3%). Provinsi Jawa Timur 505 orang caleg perempuan (13%), dan daerah Jawa Tengah dengan 467 orang caleg (12%). Sedangkan daerah NTT hanya 52 orang caleg perempuan (Kompas, 9/2/2009).
Kelima, tingkat pendidikan para caleg perempuan tidak jauh berbeda dari caleg laki-laki. Dari data KPU dapat dilihat bahwa, persentase caleg perempuan dari segi pendidikan patut diandalkan. Ini memungkinkan para caleg perempuan dapat bersaing dengan para caleg laki-laki. Perincian persentase tingkat pendidikan para caleg perempuan sebagai berikut, tingkat SLTA sebanyak 21,2%, Diploma 8,4 %, S1 53,7%, S-2 15%, dan S-3 sebanyak 1,7%. Dengan demikian kualitas caleg perempuan dari tingkat pendidikan hampir sama dengan caleg laki-laki (persentase caleg laki-laki terbesar yaitu dari latar belakang pendidikan S1 sebanyak 58,9%, yang lainnya tersebar mulai dari tingkat SLTA – S-3). Dengan ini caleg perempuan tidak perlu diragukan.
Melampaui hegemoni kaum pria
Dalam sejarah perpolitikan di negara kita, pernah terjadi protes penolakan terhadap kaum perempuan yang terjun dalam dunia politik. Pengalaman ini terjadi pada proses pemilihan presiden tahun 2004 yang lalu. Saat itu Megawati yang tampil bagai menara kembar di tengah bangunan-bangunan tinggi, dikritik dan ditentang oleh beberapa tokoh agama. Mereka menggunakan pendasaran Kitab Suci agama tertentu yang melarang perempuan menjadi pemimpin.
Penolakan mereka sangat tidak mendasar, karena negara kita adalah ‘pemuja’ demokrasi yang menekankan kebebasan bagi warga negara untuk ikut serta dalam berpolitik. Politik sebagai diskurs ruang demokrasi mesti memberikan kebebasan seluas-luasnya kepada warga negara. Perempuan sebagai warga negara juga berhak untuk ikut serta dalam politik. Oleh sebab itu segala pikiran dan idealisme yang (terlalu) mendasarkan Kitab Suci mesti ditinggalkan, karena cenderung bersifat dogmatis dan sulit untuk dikoreksi.
Keikutsertaan perempuan dalam pemilu adalah suatu babak baru sejarah politik Indonesia. Dengan ini kaum perempuan mendapatkan kembali hak politiknya. Kebijakan keikutsertaan perempuan dalam pemilu adalah suatu batu loncatan dalam dunia politik Indonesia sekaligus melampaui hegemoni kaum pria. Dengan ini panggung politik tidak hanya dihiasi oleh kaum pria tetapi juga oleh kaum perempuan. Oleh sebab itu dalam beberapa waktu ke depan kita akan menyaksikan banyak caleg perempuan akan tampil memaparkan visi dan misinya dalam kampanye.
Memang kebijakan kuota 30 persen bagi caleg perempuan masih dinilai diskriminatif, karena seharusnya kaum perempuan diberi peluang yang sama dengan laki-laki, sehingga kedudukan/persentasenya adil. Namun, ini menjadi suatu landasan dan proses menuju demokrasi yang lebih matang dan terbuka pada periode yang akan datang. Dengan demikian Indonesia dengan predikat sebagai negara demokrasi terbesar ketiga di dunia (setelah India dan Amerika Serikat) dapat semakin meningkat.*

0 komentar: