Etika Politik

ETIKA POLITIK PARA PEJABAT

Benny Obon
Mahasiswa sekolah tinggi Filsafat ledalero

Diskursus etika dan politik menarik untuk dikaji karena dua entitas tersebut mempunyai hubungan yang erat. Kalau ditelusuri etika politik menggabungkan etika dan politik. Etika in se mengandung imperatif moral dan prinsip-prinsip etika berlaku hampir dalam berbagai konteks termasuk politik. Etika menuntut orang bertindak berdasarkan prinsip umum yang diterima secara universal tanpa perbedaan baik sebagai masyarakat maupun sebagai para pejabat/pemerintah.
Politik lebih mencakup aktus kerja sama dengan orang lain untuk mencapai bonum commune. Dalam Comparative Government and Politics Rod Hague dkk, menulis “politics is the activity by which groups reach binding collective decisions through attempting to reconcile differences among their members” (Politik merupakan kegiatan yang berhubungan dengan cara bagaimana kelompok-kelompok mencapai keputusan-keputusan yang bersifat kolektif di antara para anggotanya). Dan Peter Merkel dalam continuity and change menulis “Politics at its best is a noble quest for a good order and justice” (Politik dalam bentuknya yang paling baik merupakan usaha untuk mencapai suatu tatanan sosial yang baik dan berkeadilan).
Dalam Ta Politica Aristoteles menjelaskan bahwa manusia adalah zoon politicon: makhluk politis dan makhluk sosial. Politik menurutnya adalah aplikasi dari etika dan permenungan tentang kebajikan adalah langkah pertama dan utama dari etika. Tujuan politik sama dengan etika dan sama dengan tujuan kehidupan manusia pada umumnya yaitu berkiblat pada eudaimonia. Etika dan politik yang menjadi etika politik menjawabi pertanyaan apa yang menjadi tujuan dari semua kebijakan politik dan apa yang harus dicapai oleh para pemegang jabatan publik. Karena itu etika politik menuntut para pejabat untuk bertindak sesuai prinsip-prinsip yang diterima universal tanpa perbedaan baik sebagai warga negara biasa maupun sebagai pemegang jabatan publik. Etika politik sangat penting bagi para pejabat agar mereka dapat mengambil suatu kebijakan yang tidak merugikan masyarakat umum.
Lalu apa yang terjadi dengan politik tanpa etika? Privatio etika dalam berpolitik dapat membuat para pemegang jabatan publik/penguasa menyalahgunakan jabatannya. Tragedi Mei 1998 adalah contoh politik yang dijalankan tanpa etika. Hal ini dinilai melanggar etika politik karena pemerintah menyalahgunakan kekuasaan untuk mempertahankan kedudukannya. Dengan ini mengabaikan prinsip kekuasaan berasal dari rakyat dan dipergunakan sepenuhnya untuk kesejahteraan rakyat.
Contoh nyata lain yaitu kebijakan pengesahan UU Pornografi yang belum jelas substansi persoalan utamanya yang menimbulkan masalah lain seperti fenomena premanisme. Kebijakan tersebut dinilai melanggar etika politik karena pemerintah mengabaikan suara masyarakat yang menolak UU tersebut. Pemerintah dilihat mengarah pada sistem pemerintahan yang totaliter dan terlalu mencampuri privasi rakyat, sementara negara kita adalah negara demokrasi. Dengan ini pemerintah mengabaikan peran masyarakat dalam negara alam demokrasi yang dapat mengkritisi berbagai kebijakan pemerintah. Praktik korupsi yang menggurita dalam struktur birokrasi kita juga disebabkan karena ketiadaan etika dalam berpolitik, dan diharapkan dalam usianya yang ke-50 tahun ini para pejabat semakin mengedepankan etika dalam berpolitik agar NTT bebas dari penyakit korupsi.
Ketiadaan etika politik membuat para pejabat bertindak merugikan masyarakat. Menghadapi kenyataan ini, maka etika politik bagi para pejabat mutlak perlu.
Masalah Etika politik Jabatan
D. F. Thomson (pimpinan Alfred North Whitehead profesor of philosophy), menjelaskan permasalahan etis yang dihadapi para pejabat muncul dalam dua ciri umum yaitu sifat representasional dan organisasional. Sebagai representan rakyat para pejabat bertindak atas nama orang banyak. Atas nama suatu kepentingan bersama mereka bisa mengambil suatu kebijakan entah merugikan masyarakat atau tidak. Tak jarang tindakan seperti ini mengorbankan masyarakat. Di sini mereka mempunyai hak dan kewajiban yang tentu berbeda dengan rakyat biasa, atau sekurang-kurangnya memiliki hak yang sama dengan rakyat tetapi pada taraf dan tataran yang tidak sama.
Para pemegang jabatan publik juga bersifat organisasional, dalam arti mereka bekerja dengan orang lain dalam lingkupnya. Mereka merumuskan suatu kebijakan bersama atas nama warga masyarakat untuk kebaikan masyarakat tersebut. Kenyataan umum yang sering terjadi bahwa seringkali keputusan yang diambil menimbulkan konsekuensi yang tidak direncanakan dan tidak menyingkap siapa yang bertanggung jawab. Hal ini terjadi karena mereka bekerja dalam suatu organisasi.
Agar para pejabat/elit politik tidak bertindak salah atau menyimpang, maka etika politik sangat diperlukan.

Manfaat Etika Politik
Ada beberapa manfaat etika politik bagi para pejabat. Pertama, etika diperlukan dalam hubungannya dengan relasi antara politik dan kekuasaan. Karena kekuasaan cenderung disalahgunakan maka etika sebagai prinsip normatif/etika normatif (bukan metaetika) sangat diperlukan. Etika di sini ada sebagai sebuah keharusan ontologis. Dengan memahami etika politik, para pejabat tidak akan menyalahgunakan kekuasaannya. Dengan demikian kebijakan pembabatan kopi seperti yang pernah terjadi di kabupaten Manggarai tidak akan terjadi. Hal ini menunjukkan pemerintah tidak menyadari bahwa mereka adalah representan rayat, karenanya mereka mesti melayani dan memperhatikan kesejahteraan rakyat, bukan membunuh rakyat dengan mencaplok dan mengambil lapangan pekerjaan utama sebagai sumber hidup mereka.
Kedua, etika politik bertujuan untuk memberdayakan mekanisme kontrol masyarakat terhadap pengambilan kebijakan para pejabat agar tidak menyalahi etika. Masyarakat sebagai yang memiliki negara tidak bisa melepaskan diri dalam mengurus negara. Masyarakat mempunyai hak dan kewajiban yang sama dengan para pejabat, namun dalam tataran tertentu keduanya berbeda.
Dalam negara dengan alam demokrasi peranan masyarakat sangat besar yang nyata dalam sikap mengkritisi berbagai kebijakan pemerintah. Para pejabat sebagai representan rakyat tentu akan mendengar kritikan tersebut sebelum sebuah kebijakan diambil. Warga negara yang demokratis mesti berusaha untuk menghentikan pengambilan keputusan yang dapat merugikan warga walaupun keputusan tersebut dianggap benar oleh para pejabat.
Mekanisme kontrol tersebut sangat penting agar para pejabat tidak mengambil kebijakan yang merugikan masyarakat. Masih hangat dalam ingatan kita tentang rencana tambang emas di Lembata. Masyarakat yang terancam akan teralienasi dari berbagai aspek kehidupannya memrotes dan menolak rencana tersebut. Tindakan masyarakat tersebut dilihat sebagai cara masyarakat mengontrol kebijakan yang diambil pemerintah.
Ketiga, para pejabat dapat bertanggung jawab atas berbagai keputusan yang dibuatnya baik selama ia menduduki posisi tertentu maupun setelah meninggalkan jabatannya. Para pejabat bekerja dalam lingkup organisasional, oleh karena itu segala kebijakan yang diambil mesti berdasarkan kesepakatan bersama. Namun, mereka tidak dapat melarikan diri dari tanggung jawabnya sebagai seorang pribadi atas sebuah keputusan. Tanggung jawab pribadi tidak hanya berlaku saat ia memegang jabatan publik tertentu, tetapi juga terus berlanjut ketika ia berada pada free position.
Tanggung jawab pribadi juga dapat mendukung akuntabilitas bagi keputusan yang kurang dapat dianggap berasal dari pejabat-pejabat yang baru. Karena tanggung jawab pribadi melekat pada pribadi dan bukan pada kolektivitas, maka tanggung jawab tersebut selalu melekat dan mengikuti pejabat ke mana pun ia pergi. Kita dapat menelusurinya setiap waktu juga pada saat ia tidak sedang memegang suatu jabatan publik tertentu.
Etika politik menolak segala kecenderungan yang terus berkembang terutama yang menyangkal tanggung jawab pribadi dan kecenderungan komplementer yang mempertalikannya dengan berbagai jenis kolektivitas.
Etika politik bagi para pejabat mesti menghasilkan makna moral dari tugasnya dalam memegang jabatan publik tertentu, dan mesti dapat merubah cara berpikir dan bertindak para pejabat. Dengan demikian esensi etika politik bagi para pejabat dapat benar-benar eviden, evidensi ini muncul dalam tataran praktik bukan dalam tataran konsep.*

0 komentar: