MEMBANGUN NILAI RELIGIUS DALAM DIRI ANAK

Benny Obon

1. Pengantar: Pertanyaan introduksi: Sebelum seorang anak dilahirkan ia ada dimana?
Keluarga adalah suatu institusi kecil tempat anak mengaktualisasikan diri bersama orang tua. Keluarga menjadi tempat seorang anak untuk mendapatkan energi cinta. Energi cinta menjadi modal untuk aktualisasi diri selanjutnya. Aktualisasi diri akan membawanya pada kesuksesan dalam hidup. Dan, kesuksesan hidup tentu menyangkut keseluruhan aspek dalam diri seseorang baik aspek psikologis, emosi, intelektual, dan religius. Bagaimanakah cara kita/bapa-mama menanamkan nilai-nilai moral agama untuk mencapai aktualisasi diri anak tersebut? Aktualisasi diri adalah kebutuhan tertinggi dalam diri manusia. Abraham Maslow membagi jenjang/hierarki kebutuhan dalam diri manusia dan ia menempatkan self actualisation need/kebutuhan aktualisasi diri pada tempat yang paling tinggi. Ia menyebutnya kebutuhan meta/meta need seperti kebutuhan kreatif, realisasi diri, dan perkembangan diri.

2. Perkembangan Kepribadian Seorang Anak
Perkembangan kepribadian anak sangat rumit dan melewati satu fase yang panjang. Manurut John Locke (1632-1704) perkembangan seorang anak sangat ditentukan oleh pengalaman-pengalaman yang ia peroleh selama proses perkembangan seperti pendidikan. Menurutnya ketika seorang anak lahir ia seperti sebuah kertas putih bersih, polos, belum diisi dengan tulisan. Lalu pertanyaannya, bagaimana kita mengisi dan mengukir kisah hidup pada diri anak kita yang masih putih bersih, polos dan belum ditulisi tersebut? Jawabannya adalah dengan pengalaman.
Berbagai pengalaman yang akan ditulis di dalamnya akan sangat mempengaruhi perkembangan kepribadian seorang anak. Siapakah yang menulis pengalaman dalam diri anak tersebut? Jawabannya ialah keluarga. Keluarga menjadi tempat seorang anak mendapatkan pengalaman dan pengetahuan. Pengetahuan tersebut tentu berbeda antara setiap keluarga. Kalau dalam sebuah keluarga suami-istri sering marah, sering mengeluarkan kata-kata emas seperti maki-makian (sekarang maki menjadi kata-kata emas yang dengan mudah dikelurkan oleh siapa saja dan fenomena ini menguat dalam diri anak remaja), sering berjudi, tidak menghadiri misa/ibadat pada hari Minggu maka pengalaman-pengalaman itu jugalah yang akan ditulis dalam diri seorang anak. Maka seorang anak akan menghidupi nilai-nilai yang ditanamkan orang tuanya dalam keluarga. Pun sebaliknya kalau keluarga menanamkan nilai-nilai religius kristiani dalam diri seorang anak, maka nilai-nilai itu jugalah yang akan ia hidupi. Ada orang tua yang bangga kalau anaknya sudah tahu maki dan sedini mungkin mengajar anaknya dengan kata-kata emas tersebut.
Perkembangan kepribadian seorang anak juga bergantung pada pembinaan dan penanaman nilai pada setiap tahap perkembangan anak. Freud (1856-1939) membagi fase perkembangan anak yang dimulai dari usia nol tahun sampai dewasa.

a). Fase Oral (usia 0,0 – 1,0) – oral artinya mulut
Pada fase ini mulut menjadi daerah pokok aktivitas perkembangan seorang anak. Makan dan minum menjadi sumber kenikmatan baginya. Kenikmatan atau kepuasan yang diperoleh pada masa ini dari aktivitas menyuap, dan menggigit menjadi dasar dari bermacam sifat pada anak pada masa yang akan datang. Kepuasan yang berlebihan pada fase ini akan membentuk sifat seorang yang suka mengumpulkan harta benda pada masa dewasa. Sebaliknya ketidakpuasan pada fase ini akan melahirkan kepribadian yang tidak pernah puas akan apa yang sudah diperoleh, tamak, mengumpulkan harta (termasuk mereka yang sering melakukan korupsi penyebab dasarnya ketidakpuasan pada fase ini). Ada penelitian lain mengatakan bahwa seorang yang sudah mulai merokok pada masa kecil (SD, SMP) disebabkan karena tidak menyusu ASI asli, dan ini yang dinamakan puting envy (cemburu, iri hati). Kekurangan pada fase ini juga akan menyebabkan anak suka mengunyah permen karet, menggigit pensil, dan sering menggunakan kata-kata kotor.
b). Fase Anal (usia 1,0 – 2/3) – anal artinya dubur
Pada fase ini dubur menjadi pokok aktivitas pada anak. Anak akan belajar membuang feses, ibu akan membantunya untuk membuang feses. Jika orang tua menanamkan nilai yang salah pada masa ini, misalnya ibu terlalu keras, anak akan menahan fesesnya dan mengalami sembelit. Ini menjadi cikal bakal lahirnya sifat keras kepala dan kikir. Kalau ibu tidak membimbingnya untuk membuang feses, maka akan melahirkan sikap yang egois, semaunya sendiri dan sering melakukan kekerasan.
c). Fase Falis (usia 2/3 – 5/6) – falis berhubungan dengan kemaluan/kelamin
Pada fase ini kelamin menjadi pusat aktivitas pada anak dan pada fase ini terjadi peningkatan gairah seksual anak pada orang tuanya. Ini yang disebut Oedipus complex . Oedipus complex maksudnya seorang anak perempuan akan tertarik dan lebih dekat kepada bapaknya dan membenci ibu/mamanya dan berusaha merebut cinta bapak dari mama. Jangan heran kalau anak nona sering bentrok dengan ibunya. Pun sebaliknya, anak laki-laki akan berusaha merebut cinta mama dari bapaknya. Tidak heran kalau anak laki-laki sering bentrok dengan bapaknya. Umumnya ibu akan membela anaknya yang laki-laki dan bapak akan membela anaknya yang perempuan. Ini yang saya sebut ‘perang dingin’ dalam keluarga. Sering dalam budaya kita, kalau bapak keluar rumah dan kalau mama mencubit karena kesalahan tertentu, begitu bapaknya datang ia akan mengatakan “Bapa kemarin mama pukul saya”. Inlah fenomena yang disebut oedipus complex. Homoseksual juga terjadi pada masa ini, di mana seorang anak laki-laki terlalu mengidealkan ibunya atau anak perempuan terlalu mengidealkan ayahnya yang akan mempengaruhi perilakunya pada masa selanjutnya.
d). Fase Laten ( 5/6 – 12/13)
Pada periode ini anak mengalami peredaan rangsangan atau disebut periode laten. Penurunan rangsangan ini terjadi karena tidak adanya daerah erogen baru yang dimunculkan oleh perkembangan biologis. Pada masa ini anak mengalami sublimasi yaitu anak akan mengganti kepuasan seksualnya dengan aktivitas nonseksual. Oleh karena itu anak akan mengalihkan perhatiannya pada bidang intelektual, olahraga, ketrampilan dan hubungan dengan teman sebaya. Anak akan mudah mempelajari sesuatu.
e). Fase Genital (12/13 – dewasa)
Pada fase ini rangsangan disalurkan lewat kegiatan kelompok, dan anak mulai belajar hidup berkelompok. Fase ini berlanjut sampai orang tutup usia.


Beberapa watak anak sesuai urutan kelahiran: anak pertama; adalah anak bapak, menjadi pemimpin dan menguasai orang lain (adik-adiknya dan juga orang tua), otoriter, suka memrintah dan menyuruh orang lain, suka mendelegasikan tugas/pekerjaan pada orang lain dan menjadi pelindung dan pembela serta penanggung jawab bagi adik-adiknya. Dalam budaya kita kadang anak pertama menjadi patokan kesuksesan untuk anak-anak yang lain (walaupun hipotese ini kurang terlalu bernar). Anak kedua; adalah anak mama. Ia menjadi sasaran segala kemarahan dan kebencian sang kakak/anak pertama, cukup pintar, tekun dan rajin membantu orang tua, serta berbelaskasihan terhadap orang lain dan dalam relasi cenderung mengedepankan aspek empati dan simpati. Anak ketiga; adalah anak yang dipunyai siapa-siapa. Ia agak malas bekerja, suka keluar rumah. Ia sering disingkirkan dalam keluarga, mendapat perhatian yang kurang dari orang tua. Ia menyadari diri sebagai yang kurang diperhatikan, oleh karena itu ia berusaha mengukir prestasi dalam berbagai bidang sebagai kompensasi entah itu melalui olahraga, pendidikan, atau bidang lainnya dengan satu intensi/tujuan menarik perhatian orang tua. Dengan itu ia akan mendapat perhatian orang tua. Anak keempat; rajin bekerja, berperilaku seperti Maria yang sedikit berkata-kata tetapi banyak bekerja, dan segala sesuatu yang berhubungan dengan dapur selalu beres di tangannya. Maka, seorang ibu yang mempunyai anak yang keempat dan ia perempuan sangat senang karena ia mengambil alih tugas mama di dapur. Rantai ini terus berlanjut untuk anak-anak yang lainnya. Dalam arti anak kelima mengikuti sifat anak pertama, anak keenam mengikuti sifat anak kedua, dst.

3. Keluarga Sebagai Sebuah Gereja Mini: Belajar dari Orang Israel
Apa dan dimana letak perbedaan orang Israel dan orang Indonesia? Mengapa orang Israel sangat pintar? Mengapa orang Israel selalu kompak dan selalu berhasil dalam bidang apa saja termasuk dalam perang? Apa yang mempersatukan mereka (orang Israel) semua? Jawabannya hanya satu yaitu, mereka taat pada ajaran agama dan tradisi. Ingat: tahun 60-70 Masehi bangsa Israel terlibat perang melawan tentara Roma (Roma dibawah kaisar Nero yang mengutus Vespasianus dan Titus). Kemudian mereka terlibat dalam pertempuran dengan tentara Roma yang kedua kalinya pada tahun 132-135. Pemberontakan berakhir dengan kehancuran total di pihak Israel. Sejak saat itu orang Israel keluar dari Israel dan mulai tersebar di seluruh dunia. Dan, pada tahun 1946 orang-orang Israel mulai kembali ke tanah airnya Palestina. Gagasan ini disebut Zionisme dengan penggagas utamanya yaitu dari seorang wartawan Yahudi Jerman bernama Dr. Theodor Herz. Dalam sebuah edisi harian di mana ia bekerja ia menulis sebuah artikel berjudul Der Jugend Staat (Negara Yahudi).
Secara mengejutkan dua tahun kemudian yaitu pada tahun 1948 mereka memproklamasikan kemerdekaannya dengan ibu kota Yerusalem (Tel Aviv). Jadi, orang Israel hanya dipersatukan oleh agama dan tradisi yang kuat, dengan cara mendidik anak menjadi seorang yang religius dan kelurga menjadi basis/tempat mereka mendidik anak. Bapak keluarga menjadi penanggung jawab agama dan tradisi dalam keluarga. Bapak keluarga mempunyai peranan yang sangat besar dalam keluarga. Walaupun mereka tersebar di seluruh dunia sejak tahun 135 namun mereka tetap berpegang teguh pada agama dan tradisi. Dalam budaya Yahudi, bapak merupakan wakil Allah dalam keluarga yang mempunyai beberapa tugas; pertama, mengantar anak-anak ke upacara liturgi secara khusus pada pesta pondok daun, memimpin upacara liturgi (Ulangan 31: 10-13). Kedua, memberikan katekese, yakni menjelaskan arti paskah sebagai peringtan pengungsian pembebasan Mesir (Ulangan 6: 20-24). Ketiga, Menjalankan sunat sebagai tanda perjanjian Yahwe dengan umatNya (Kejadian 17:10). Keempat, ayah sebagai pemimpin (goel), yaitu sebagai pembebas dan penyelamat orang tertindas, khususnya orang asing, wanita dan yatim piatu (Imamat 25: 46-48). Jadi peranan bapak dalam keluarga menjadi sangat penting dalam budaya Israel.
Lalu bagaimana dengan kita? Seperti yang sudah dikemukakan dalam pengantar bahwa keluarga adalah basis anak untuk mendapatkan energi. Itu berarti menyangkut keseluruhan aspek perkembangan kepribadian seorang anak. Seperti pepatah ”buah jatuh tidak jauh dari pohon”. Walaupun adagium ini kurang terlalu benar karena bisa saja sebuah pohon yang tumbuh di gunung dapat saja tumbuh di dekat laut karena buahnya terbawa banjir dan tumbuh di sana. Demikian pun kepribadian seorang akan seperti orang tuanya dan kepribadian seorang anak desa/kampung juga bisa dipengaruhi tempat dimana ia memperoleh pendidikan. Maka, sekarang banyak anak dari desa yang mengikuti perilaku anak kota; anak kota menggunakan HP saya juga harus gunakan HP hasil akhirnya anak lari dengan sopir, anak hamil di bangku sekolah, prestasi intelek semakin menurun yang berujung pada tidak naik kelas (kalaupun naik tetapi harus dipindahkan, prefiks ‘di’ dan sufiks ‘kan’ pada kata dipindahkan mengandung unsur bersyarat dan bertendensi negatif), tidak lulus dan berbagai efek negatif lainnya.
Keluarga sebagai basis dasar pendidikan anak juga berarti orang tua menjadi penentu keberhasilan anak. Keberhasilan tersebut juga berhubungan dengan kedekatan relasi kita dengan yang transenden/Ilahi. Untuk itu ada beberapa hal yang perlu diperhatikan. Pertama, keluarga merupakan sebuah paroki kecil. Sebuah paroki terdiri dari pastor paroki dan umat-umatnya. Demikian pun dengan keluarga, ia menjadi sebuah paroki kecil di mana bapak dan mama menjadi pastor parokinya sementara anak-anak menjadi umat. Kehadiran Kristus dalam paroki kecil/keluarga ditandai dengan kehadiran bapak-mam. Oleh sebab itu orang tua mesti memanggil anak-anaknya pada persekutuan dengan kerajaan Allah, halnya Kristus memanggil semua umat beriman dan menghimpunkannya dalam persatuan anak-anak Allah. Pertanyaan saya; apakah selama ini keluarga bapak-mama semua yang hadir di sini sudah menjadi sebuah paroki kecil? Apakah bapak-mama sudah menjadi tanda kehadiran Kristus bagi anak-anak dan mengarahkan mereka pada kesatuan dengan cinta Kristus? Ataukah bapak-mama menjadi tanda kehadiran kerajaan setan dengan tidak memberikan teladan iman yang baik pada anak dan mengarahkan anak-anak kepada persatuan dengan cinta setan.
Kedua, keluarga merupakan satu persekutuan kecil. Halnya Kristus bersatu dalam Bapa dan Roh Kudus, demikian pun bapa-mama adalah satu. Maka keberadaan mereka di tengah anak-anak mesti utuh dan total. Artinya bapa-mama seia sekata dan memperhatikan anak secara merata. Kesatuan antara bapa-mama ditandai dengan selalu berada bersama dalam rumah. Saat makan semua berkumpul bersama (memulai dan mengawalinya dengan doa). Kalau seorang bapak atau mama sering makan duluan sementara anak-anak masih bermain, maka mereka tidak menunjukkan ciri kesatuan dalam keluarga. Kehadiran bersama dalam rumah terutama saat makan bersama sangat penting. Saat makan adalah saat yang baik untuk menasihati anak-anak. Kalau dalam biara, saat makan merupakan kesempatan yang baik untuk menyampaikan segala sesuatu terutama pengumuman-pengumuman dan saat untuk main gila bersama, saat menceritakan pengalaman yang kita alami hari itu dan saat untuk membahas dan mendiksusikan tema-tema yang hangat berhubungan dengan kehidupan sosial. Maka, tidak heran kalau setiap meja makan mempunyai cerita yang berbeda. Jadi, kehadiran bersama dalam keluarga sangat penting, jangan biarkan anak merasa tidak betah di rumah dan jadikan rumah sebagai hunian yang aman bagi seorang anak.
Ketiga, sebagai seorang anak kita mesti menghormati orang tua. Ingat bahwa keluarga adalah sebuah paroki kecil dan orang tua kita menjadi pastor paroki dan tanda kehadiran Kristus di rumah. Oleh karena itu anak harus mencintai orang tua. Firman keempat mengatakan “hormatilah ayahmu dan ibumu, supaya lanjut umurmu di tanah yang diberikan Tuhan, Allahmu kepadamu (Keluaran 20: 12). Orang tua sebagai tanda kehadiran Yesus, Roh Kudus dan Allah Bapa dalam rumah. Oleh karena itu menghormati orang tua berarti menghormati Yesus, Roh Kudus, dan Allah Bapa. Anak juga mesti memberikan hadiah kepada bapa-mama. Kita tidak perlu membeli HP sebagai hadiah kepada bapa-mama karena kita belum punya uang, tetapi kita cukup menyenangkan dan membanggakan hati bapa-mama dengan prestasi-prestasi kita di sekolah. Siapa yang mendapat rangking 1-3 di kelas berarti ia sudah memberikan hadiah kepada bapa-mama, dan yang belum masih ada kesempatan. Oleh karena itu kita harus lebih rajin belajar. Dalam kurikulum sekolah dimana saja tidak ada kurikulum sambut baru. Artinya setelah sambut baru anak tidak mau sekolah lagi. Oleh karena itu jangan berhenti setelah sambut baru. Kalau nanti setelah sambut baru bapa-mama mengajak kamu untuk keluar dari sekolah jangan ikut. Kehidupan dan pendidikan anak harus lebih baik dari orang tua dan hanya dengan itu kita akan bisa berubah. Kalau tidak kehidupan dan pendidikan kita akan sama saja dengan orang tua kita, maka kita tidak akan maju, sama saja, tidak ada perubahan. Oleh karena kita harus melawan setiap orang tua yang mengajak anaknya untuk berhenti sekolah. Kalau kamu mempunyai cita-cita untuk menjadi Romo atau Suster beruitahu kepada orang tua, dan kamu harus melawan bapa-mama yang berprinsip bahwa ‘saya mempunyai anak perempuan itu berarti nanti saya akan terima belis sekian, kerbau 10 ekor, kuda 5 ekor dll.
Keempat, orang tua dan anak-anak harus menjadi tanda kehadiran Kerajaan Allah di dunia. Oleh karena itu kesaksian hidup sangat penting. Kehadiran kita di tengah masyarakat harus menjadi rahmat bagi orang lain. Kalau orang lain memaki kita, membenci kita, dan menebarkan fitnah dan berita buruk terhadap keluarga kita, kita harus membalikkannya pada jalan yang lurus kepada jalan keselamatan. Dan, di sini hanya butuh kesaksian hidup. Ingat satu buah pertobatan dapat menyelamatkan banyak orang. Yesus Kristus hanya satu dan Ia menyelamatkan banyak orang. Kita harus mendoakan orang yang membenci kita seperti Yesus yang mendoakan dan mengampuni orang-orang yang membencinya.

4. Sharing pengalaman (dari peserta – mewakili orang tua dan anak) dan tanya jawab – Selamat mengikuti sambut baru dan jadilah pendoa yang baik.*

0 komentar: