KEBAHAGIAAN DALAM PANDANGAN UTILITARIANISME JEREMY BENTHAM

Benny Obon
STF Ledalero
Maumere - NTT

Dalam pembahasan etika atau filsafat moral, terdapat beberapa aliran besar yang masing-masing memiliki perbedaan cara pandang terhadap sesuatu yang baik, benar, indah, adil, dan bahagia. Para filsuf mulai dari Plato hingga kini masih terus berkutat terhadap masalah apakah yang paling baik dan benar dan hal-hal yang utama lainnya yang disukai manusia. Beberapa aliran itu adalah hedonisme, eudomonisme, deontologi dan utilitarianisme.

Paham Hedonisme yang disebarkan oleh Epicurus (341-270 SM), filsuf Yunani kuno. Inti dari aliran ini adalah kenikmatan, menurut kodratnya manusia mengusahakan kenikmatan. Kenikmatan tidak selalu berbentuk atau bersifat fisik/jasmani. Etika Hedonisme berpandangan bahwa manusia akan menjadi bahagia kalau ia mengejar kenikmatan dan menghindari perasaan-perasaan yang menyakitkan.


Dalam Nichomachean Ethics Aristoteles, tujuan utama hidup manusia adalah Eudomonia, artinya kebahagiaan. Eudomonisme adalah aliran yang menekankan suasana batiniah yang berarti”bahagia”. Hakekatnya kodrat manusia adalah mengusahakan kebahagiaan.Tapi apabila semua orang mudah menyepakati kebahagiaan sebagai tujuan akhir hidup manusia, itu belum memecahkan semua kesulitan, karena dengan kebahagiaan mereka mengerti banyak hal yang berbeda-beda. Ada yang mengatakan bahwa kesenangan adalah kebahagiaan.

Dalam pandangan deontologi, perbuatan moral semata-mata tidak didasarkan lagi pada hasil suatu perbuatan dan tidak menyoroti tujuan yang dipilih dari perbuatan itu, melainkan dari wajib atau tidaknya perbuatan dan keputusan moral tersebut. Bagi manusia prinsip-prinsip obyektif bukan merupakan keniscayaan sehingga manusia dengan sendirinya selalu mau memenuhi kewajibannya melainkan perintah (imperatif). Imperative itu oleh Kant dibedakan menjadi dua macam yaitu imperatif hipotesis dan imperati kategoris. Imperative hipotesis adalah perintah bersyarat. Dengan iperatif hipotesis, prinsip-prinsip obyektif dipersyaratkan dengan tujuan-tujuan tertentu yang mau dicapai. Artinya prinsip-prinsip itu akan dituruti, jika dengannya ia dapat mencapai tujuan yang diinginkannya. Sedangkan imperative kategoris adalah perintah yang “menunjukan sautu tindakan yang secara obyektif mutlak perlu pada dirinya sendiri terlepas dari kaitannya dengan tujuan lebih lanjut”. Imperative kategoris berlaku mutlak dan tanpa kecuali karena apa yang diperintahkan olehnya merupakan kewajiban pada dirinya sendiri, tidak tergantung dari suatu tujuan sebelumnya.

Utilitarianisme, mazhab etik lainnya, punya cara untuk menunjukkan sesuatu yang paling utama bagi manusia. Menurut teori ini, bahwa kita harus bertindak sedemikian rupa sehingga menghasilkan akibat-akibat sebanyak mungkin dan sedapat dapatnya mengelakan akibat-akibat buruk. Kebahagiaan tercapai jika ia memiliki kesenangan dan bebas dari kesusahan. Suatu perbuatan dapat dinilai baik ataa buruk sejauh dapat meningkatkan atau mengurangi kebahagiaan sebanyak mungkin orang. Menurut prinsip utilitarian Bentham: kebahagiaan terbesar dari jumlah orang terbesar. Prinsip kegunaan harus diterapkan secara kuantitatif, karena kualitas kesenangan selalu sama sedangkan aspek kuantitasnya dapat berbeda-beda. Dalam pandangan utilitarisme klasik, prinsip utilitas adalah kebahagiaan terbesar dari jumlah jumlah terbesar(the greatest happiness of the greatest number). Menurut Bentham prinsip kegunaan tadi harus diterapkan secara kuantitatif belaka..

Riwayat Singkat Jeremy Bentham
Jeremy Bentham lahir Houndsditch, London 15 February, 1748. Keluarganya adalah ahli hukum. Bentham hidup selama masa perubahan sosial, politik dan ekonomi. Revolusi industrial (dengan perubahan sosial dan ekonomi yang masif yang membuatnya bangkit, juga revolusi di prancis dan America semua merefleksikan pikiran Bentham. Tahun 1760, Bentham masuk Queen's College, Oxford dan lulus tahun 1764, belajar hukum. Meskipun cukup qulified, ia tidak mempraktekkan ilmu hukummnya.

Bentham menghabiskan waktunya dengan belajar, sering menulis 6-8 jam perhari. Bentham tidak menulis single text. Teori kerjanya yang paling penting adalah the Introduction to the Principles of Morals and Legislation (1789), dimana banyak teori moralnya –yang dia sebut. "the greatest happiness principle"—digambarkan dan dikembangkan.

Tahun 1781, Bentham menjadi associated Earl of Shelburne dan melalui dia, mendapat kontak dan jaringan. Meskipun begitu hanya sebagian saja yang sangat menghargai karyanya. Ide-ide Bentham masih kurang dihargai. Tahun 1785, menemui kakaknya Samuel di Russia. Pada tahun 1791, Bentham membuat usulan "aneh" yakni sebuah desain gedung penjara yang diberi nama Panopticon yang berarti "melihat semuanya". Panopticon terdiri dari sel-sel yang disusun secara melingkar dengan pintu sel menghadap ke dalam inti lingkaran tersebut. Dinding antarsel dibuat tebal agar komunikasi antarpenghuni sel tidak terjadi. Di bagian belakang sel dipasang jendela kecil agar cahaya dapat masuk menerangi isi sel. Di pusat lingkaran sel-sel tersebut dibangun sebuah menara pengawas dengan jendela penutup. Dengan konfigurasi seperti ini, si penjaga dapat melihat semua penghuni sel sementara penghuni sel tidak dapat melihat si penjaga.
Saat meninggal di London, 6 Juni 1832, Bentham meninggalkan puluhan ribu halaman—beberapa diantaranya hanya berupa sketsa, yang sedang digagasnya untuk diterbitkan. Dia juga meninggalkan rumah besar, yang digunakan untuk membiayai Newly University College, London.

Pandangan Bentham Tentang Kebahagiaan
Ada tiga karakteristik utama dari basis filsafat moral dan politik Bentham: the greatest happiness principle, universal egoism dan the artificial identification of one's interests with those of others. Semua karakteristik ini disebutkan dalam karya-karyanya. Terutama dalam Introduction to the Principles of Morals and Legislation, dimana Bentham berfokus pada pengartikulasian prinsip rasional yang akan menunjukkan sebuah basis dan petunjuk untuk reformasi hukum, sosial dan moral.

Filsafat moral Bentham merefleksikan apa yang ia sebut pada waktu berbeda sebagai "the greatest happiness principle" atau "prinsip utilitas"—sebuah istilah yang dipnjamnya dari Hume. Meskipun berhubungan dengan prinsip ini ia tidak hanya mengacu pada kegunaan benda-benda atau tindakan, tapi lebih jauh lagi pada benda atau tindakan yang membawa kebahagiaan umum. Khususnya kewajiban moral yang menghasilkan the greatest amount of happiness for the greatest number of people, kebahagiaan yang ditentukan dengan adanya kenikmatan dan hilankanya kesakitan. Selanjutnya, Bentham menulis, "By the principle of utility is meant that principle which approves or disapproves of every action whatsoever, according to the tendency which it appears to have to augment or diminish the happiness of the party whose interest is in question: or, what is the same thing in other words, to promote or to oppose that happiness." Dan Bentham menunjukkan bahwa hal ini berlaku untuk "setiap tindakan secara keseluruhan" yang tidak memaksimalkan the greatest happiness (seperti pengorbanan yang menyebabkan kesengsaraan ) secara moral adalah tindakan yang salah.(tak seperti usaha pengartikulasian pada hedonisme universal, pendekatan Benthamis lebih naturalistik.)
Filsafat moral Bentham, secaa jelas merefleksikan pandangan psikologis bahwa motivator utama dalam diri manusia adalah kenikmatan dan kesengsaraan. Bentham menerima bahwa versinya dari prinsip utilitarian adalah sesuatu yang tidak memasukkan bukti langsung, tapi dia mencatat bahwa hal tersbut bukanlah sebuah masalah sebagaimana prinsip penjelasan tak menunjukkan penjelasan apapun dan semua penjelaan harus dimulai pada suatu tempat. Tapi karena itulah tidak menjelaskan mengapa kebahagiaan lain –atau kebahagiaan umum—harus dihitung. Dan pada faktanya dia menyediakan sejumlah saran yang dapat disebut sebagai jawaban terhadap pertanyaan mengapa kita harus peduli dengan kebahagiaan orang lain.

Pertama, menurut Bentham, prinsip utilitarianisme adalah sesuatu yang individu, dalam bertindak, mengacu pada eksplisitas dan implisitas, dan ini sesuatu yang dapat ditentukan dan dikonfirmasikan dengan observasi sederhana. Tentunya, Bentham berpegangan bahwa semua sistem moralitas yang ada dapat “direduksi pada the principles of sympathy and antipathy," yang pastinya mampu mendefinisikan utilitas.

Argumen kedua Bentham adalah, jika kenikmatan adalah sesuatu yang baik, kemudian kebaikannya menggangu kesenangan orang lain. Meskipun, sebuah halangan moral untuk mengiuti atau memaksimalkan kesenangan telah mendorong secara independen dari interest tertentu dari tindakan manusia. Bentham juga menyarankan bahwa individual akan secara beralasan mencari kebahagiaan umum dengan mudah karena hasrat dari orang lain adalah dikepung oleh mereka sendiri, meskipun ia tahu bahwa hal ini adalah mudah bagi bahwa hal tersebut mudah bagi individu untuk dilupakan. Bahkan, Bentham membayangkan sebuah solusi terhadap hal ini secara baik. Secara khusus, dia mengajukan bahwa hal itu membuat identifikasi hasrat yang jelas, ketika dibutuhkan, membawa hasrat berbeda bersama yang akan menjadi tanggungjawab penegak hukum.

Penutup
Akhirnya, Bentham mengatakan bahwa keuntungan bagi sebuah filsafat moral berdasarkan prinsip utilitarian. Mulai dari prinsip utilitarian adalah bersih (dibandingkan dengan prinsip-prinsip moral lainnya), memungkinkan bagi sasaran dan diskusi publik, dan memungkinkan keputusan dibuat untuk dimana terlihat konflik (prima facie) keinginan yang legitimate. Selanjutnya, dalam menghitung kenikmatan dan penderitaan terlibat dalam membawa sebuah masalah aksi (the "hedonic calculus"), ada sebuah komitmen fundamental terhadap persamaan derajat manusia. Prinsip utilitarian mengandaikan bahwa "one man is worth just the same as another man" ada garansi bahwa dalam menghitung the greatest happiness "setiap orang dihitung satu dan tak lebih dari sekali"

Terhadap mana yang baik dan mana yang buruk, serta membahagiakan dibandingkan dengan pandangan Imanuel Kant, pandangan Jeremy Bentham sangat berbeda, dan dia beragumentasi bahwa jangan terburu-buru menilai mana yang baik dan mana yang salah, karena semuanya itu harus ditetapkan dan bertujuan untuk memberikan kebaikan pada orang yang paling banyak. Dengan kata lain, Kant menempatkan benar terlebih dahulu, baru yang baik, sedangkan Bentham menempatkan baik terlebih dahulu, baru benar. Model atau mahzab yang menganut Kant disebut Kantian, sedangkan model atau mahzab yang dianut Bentham disebut Utilitarianis.

Sebagai contoh, apakah berbohong itu benar dan baik? Jawabannya sudah pasti tidak benar dan tidak baik. Bagaimana berbohong untuk menyelamatkan nyawa orang lain ? Kant mengambil contoh cerita sebagai berikut : Dalam suatu peristiwa, seorang pemuda yang menyembunyikan rekannya dari kejaran seorang pembunuh, ditanya oleh pembunuh tersebut, apakah ia tahu dimana teman itu berada. Apa yang harus dilakukan oleh pemuda tersebut ? Berbohong (dengan begitu menyelamatkan kawannya) atau mengatakan kebenaran (dengan akibat : temannya tewas). Dalam kasus ini, seorang Kantian akan memahami dan menjalankan kebenaran, yaitu tidak bohong, dan itu yang paling penting.

Bagi seorang Utilitarianis, dia akan melakukan pembohongan, dengan alasan menyelamatkan nyawa lebih penting, dan apakah berbohong itu salah, Utilitarianis akan mengatakan iya itu salah, tetapi menyelamatkan nyawa adalah hal yang baik untuk dilakukan. Dalam hal inilah, baik dan benar ternyata tidak selalu seiring dan sejalan. ( MH)

Misbahudin
Tulisan ini diselesaikan untuk mata kuliah filsafat moral barat yang diampu oleh DR. Lutfi Assyaukani

Referensi
- Bertens, K. 1994. Etika. Jakarta: Penerbit Gramedia Pustaka Utama.
- Magnis Suseno, F .2005. Pijar-pijar Filsafat. Yogyakarta. Kanisius
- http://en.wikipedia.org/wiki/Jeremy_Bentham

2. http://www2.kompas.com/kompas-cetak/0406/16/opini/1088352.htm
Etika Utilitarianisme ala Depdiknas

Oleh Triyono Lukmantoro

UJIAN Akhir Nasional (UAN) tidak henti menuai berbagai kontoversi. Kontroversi paling utama, terjadi saat UAN dijadikan standar kelulusan siswa. Hal ini merupakan keanehan karena yang mengetahui kompetensi serta kemampuan masing-masing siswa adalah guru sendiri.

Dengan diberlakukannya UAN, maka otoritas guru untuk mengetahui dan mengevaluasi kapabelitas siswanya lantas digeser begitu saja oleh rezim kebenaran yang diterapkan oleh Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas). Di sini terlihat negara telah menerapkan absolutisme dalam dunia pendidikan, tanpa melihat situasi sosial, politik dan ekonomi yang terdapat di masing-masing daerah. Untuk memberikan legitimasi pada pemutlakan itu, negara pun berdalih bahwa UAN dimaksudkan untuk memperbaiki kualitas pendidikan nasional.

Lantas, berjalankah kualitas pendidikan nasional yang dimaksud itu? Ternyata, sama sekali tidak! Kita dapat menyimak fenomena terakhir saat Depdiknas melakukan kesalahan fatal dengan menghitung nilai siswa peserta UAN berdasar tabel konversi nasional. Dengan jelas, tabel konversi (TK) itu hanya menimbulkan kerugian bagi siswa yang mampu lebih banyak menjawab dengan benar soal-soal yang diujikan. Lebih menggelikan lagi saat TK nilai itu diberikan pembenarannya, dengan bertopeng pada alasan untuk menciptakan keadilan penilaian di antara siswa secara nasional. Perilaku itu kian menguak kedok Depdiknas yang memberlakukan TK nasional hanya untuk meminimalkan angka ketidaklulusan, karena standar kelulusan UAN ditingkatkan dari 3,01 menjadi 4,01.

Utilitarianisme

Dalam sudut pandang asas kemanfaatan bagi sebagian besar masyarakat, kebijakan yang ditempuh Depdiknas secara sekilas tampak sedemikian rasional. Ini disebabkan bahwa Depdiknas hendak menyelamatkan sekian banyak orang dengan mengorbankan sekian kecil orang yang mempunyai kemampuan intelektual berlebih. Dengan demikian, Depdiknas telah mengaplikasikan prinsip rasionalitas tujuan yang lebih memperhitungkan dan sangat mengunggulkan perhitungan sarana-sasaran (means-ends) secara akurat. Namun, ironisnya, evaluasi pendidikan tidak dapat hanya diukur dengan mendasarkan pada rasionalitas tujuan.

Apabila prinsip rasionalitas tujuan yang digunakan secara dominan, maka yang tidak dapat dihindarkan adalah Depdiknas secara sadar atau tidak telah menempuh cara-cara Machiavellian dalam dunia pendidikan. Mengapa? Sebab, rasionalitas tujuan pada akhirnya hanya memberikan peluang bagi munculnya tujuan menghalalkan cara (the end justifies the means). Sehingga perilaku gaya Machiavelli sebenarnya tidak hanya dapat berlangsung dalam dunia politik, bahkan dalam dunia pendidikan sekalipun, Machiavellianisme itu dapat tumbuh subur dengan mengatasnamakan kepentingan banyak orang. Padahal, maksimalisasi keuntungan bagi orang banyak serta minimalisasi kerugian bagi sedikit pihak bukan berarti menggugurkan prinsip nilai (kejujuran, kemampuan dalam menyerap pengetahuan, serta berpikir secara logis dan sistematis) dalam dunia pendidikan itu sendiri.

Dalam perspektif teori etika, apa yang dilakukan Depdiknas itu lebih banyak menggunakan sudut pandang teleologis (teleological) ketimbang deontologis (deontological). Apa maksdunya? Pada etika yang berorientasi teleologis, hal ini berarti bahwa baik atau buruknya suatu perbuatan sangat tergantung pada perhitungan konsekuensialnya. Intinya adalah hasil (consequence) merupakan satu-satunya pertimbangan apakah suatu tindakan pantas dilakukan atau tidak. Sebaliknya, pada etika yang berorientasi deontologis, suatu perbuatan dilakukan atau tidak bukan karena mendasarkan pada pertimbangan tujuannya, melainkan pada keharusan atau kewajiban itu sendiri. Kejujuran, misalnya, merupakan suatu tindakan yang dianggap mutlak tanpa harus memperhitungkan apakah kejujuran itu menghasilkan manfaat yang banyak atau sedikit bagi orang lain. Kejujuran menjadi suatu nilai yang tetap relevan tanpa harus dikonsultasikan pada akibat-akibat yang dimunculkannya.

Apabila dilakukan analisis secara terperinci, kebijakan yang dilaksanakan Depdiknas ketika mengevaluasi hasil UAN dengan acuan TK nilai, secara sempurna telah melakukan prinsip etika utilitarianisme. Prinsip etis ini pernah dikemukakan oleh Jeremy Bentham (1748-1832) ketika memperbaharui sistem hukum pidana yang terdapat di Inggris. Menurut pandangan Bentham, kodrat manusia pastilah terarah pada kebahagiaan. Sehingga perbuatan dianggap baik (good) atau buruk (bad) sejauh mampu meningkatkan atau mengurangi kebahagiaan sebanyak mungkin orang. Semboyan paling populer yang pernah dilontarkan Bentham berbunyi: "The greatest happiness of the greatest numbers," yang berarti kebahagiaan terbesar dari jumlah orang terbanyak.

Dengan kategorisasi semacam ini, maka ada semacam panduan yang jelas dan memberikan kemudahan bagi kita (baca: para pengambil kebijakan!) untuk melakukan perbuatan yang memberikan kebahagiaan serta menghindarkan tindakan yang hanya mengakibatkan kesedihan.

Tentu saja, secara sekilas pandang, prinsip etika utilitarianisme itu memang memberikan kebahagiaan bagi sebagian besar orang. Apalagi ketika prinsip etis itu diterapkan dalam dunia pendidikan kita yang memang mengalami kesenjangan dalam aspek kemajuan yang secara sangat mencolok terjadi di berbagai daerah di Indonesia, antara wilayah Jawa dengan non- Jawa misalnya. Yang tak dapat dihindarkan, etika utilitarianisme semacam itu justru menghancurkan tujuan pendidikan itu sendiri. Hal ini dengan mempertimbangkan dua hal, yaitu:

Pertama, kalau tujuan pendidikan adalah menciptakan individu yang bermartabat, justru individualitas itu akan dilalap habis oleh prinsip kebahagiaan bagi orang banyak. Di sini harus diberikan pembedaan antara individualitas dan egoisme pribadi. Individualitas lebih mengarah pada dorongan untuk menjadi persona yang memiliki identitas dengan berbagai keunikan karakteristiknya, seperti kecerdasan misalnya, tanpa harus melenyapkan solidaritas sosial dengan orang lain. Sedangkan egoisme pribadi merupakan tabiat untuk lebih mementingkan diri sendiri yang seringkali dengan mudah dikamuflasekan atas nama kepentingan umum.

Individualitas akan mudah tergerus serta mengalami pemasungan dalam arus utilitarianisme dengan konsekuensi paling buruk adalah menghasilkan individu-individu yang mengidap "sindrom mediokritas". Ini dapat terjadi ketika kalangan siswa hanya berpikir untuk meraih hasil rata-rata yang menjadi standar penilaian tanpa ada dorongan untuk meraih prestasi yang lebih tinggi. Meminjam pemikiran filosof Nietzsche, maka utilitarianisme hanya akan menghasilkan moralitas gerombolan (herd morality). Yang paling penting adalah mengikuti kehendak kolektif yang dianggap sudah benar tanpa berani untuk me- ngoreksinya secara radikal.

Kedua, etika utilitarianisme dalam pendidikan yang secara kasat mata dapat dilihat pada penerapan konversi nilai UAN, justru melenyapkan apa yang disebut sebagai hak serta keadilan itu sendiri. Hak siswa yang mampu menjawab soal dengan benar dalam jumlah lebih banyak kemudian dipotong, sehingga nilai akhir yang didapatkan pun tak sesuai dengan kemampuan yang telah diraihnya.Keadilan individu pun dengan begitu gampangya dilenyapkan karena harus disesuaikan dengan standar penilaian yang diatasnamakan sebagai kebersamaan kelompok. Padahal yang disebut dengan keadilan tidaklah berarti harus mengurangi apalagi mengeliminasi kecakapan yang terdapat pada seorang siswa sekalipun.

Triyono Lukmantoro Pengajar Mata Kuliah Filsafat/ Etika Komunikasi pada Jurusan Ilmu Komunikasi FISIP Undip



3. http://one.indoskripsi.com/judul-skripsi-tugas-makalah/etika/utilitarisme
Utilitarisme
Posted November 27th, 2008 by lidyawagiri
Etika

Dengan memperhatikan asal-usul istilah ini kita sudah bisa menduga maksudnya. “Utilitarianisme” berasal dari kata Latin, utilis yang berarti “bermanfaat”. Menurut teori ini suatu perbuatan adalah baik jika membawa manfaat, tapi manfaat tersebut harus menyangkut bukan saja satu dua orang melainkan masyarakat sebagai keseluruhan. Jadi, utilitarianisme berdasar pada hasil atau konsekuensi dari suatu kegiatan atau tindakan yang dilakukan (a consequently approach).

Menurut suatu perumusan terkenal, dalam rangka pemikiran utilitarianisme (utilitarianism) kriteria untuk menentukan baik buruknya suatu perbuatan adalah “the greatest happiness of the greatest number”, kebahagiaan terbesar dari jumlah orang terbesar. Perbuatan yang sempat mengakibatkan paling banyak orang merasa senang dan puas adalah perbuatan yang terbaik. Utilitarianisme sebagai bagian konsep dasar etika teralikasi dalam dasar – dasar pemikiran ekonomi.

Menurut Weiss terdapat tiga konsep dasar mengenai utilitarianisme sebagai berikut :
1. Suatu tindakan atau perbuatan atau pengambilan keputusan yang secara moral adalah benar jika tindakan atau perbuatan atau pengambilan keputusan itu membuat halterbaik untuk banyak orang yang dipengaruhi oleh tindakan atau perbuatan atau pengambilan keputusan.
2. Suatu tindakan atau perbuatan atau pengambilan keputusan yang secara moral adalah benar jika terdapat manfaat terbaik atas biaya – biaya yang dikeluarkan, dibandingkan manfaat dari semua kemungkinan yang pilihan yang dipertimbangkan.
3. Suatu tindakan atau perbuatan atau pengambilan keputusan yang secara moral adalah benar jika tindakan atau perbuatan atau pengambilan keputusan itu secara tepat mampu memberi manfaat, baik langsung ataupun tidak langsung, untuk masa depan pada setiap orang dan jika manfaat tersebut lebih besar daripada biaya dan manfaat alternatif yang ada.

Mudah dapat dipahami bahwa utulitarisme sebagai teori etika cocok sekali dengan pemikiran ekonomis. Misalnya, teori ini cukup dekat dengan cost benefit analysis yang banyak dipakai dalam konteks ekonomi. Manfaat yang dimaksudkan utilitarianisme bisa dihitung juga sama seperti kita menghitung untung dan rugi atau kredit dan debet dalam konteks bisnis. Dan memang pernah ada penganut utilitarianisme yang mengusahakan perhitungan macam itu di bidang etika.

Dapat pula dipahami bahwa utilitarianisme sangat menekankan pentingnya konsekuensi perbuatan dalam menilai baik buruknya. Kualitas moral suatu perbuatan, baik – buruknya suatu perbuatan tergantung pada konsekuensi atau akibat yang dihasilkan. Jika suatu perbuatan mengakibatkan manfaat paling besar, artinya paling memajukan kemakmuran, kesejahteraan, dan kebahagiaan masyarakat, maka perbuatan itu adalah baik. Sebaliknya, jika perbuatan membawa lebih banyak kerugian daripada manfaat, perbuatan itu harus dinilai buruk. Karena di sini konsekuensi begitu dipentingkan, utilitarianisme kadang-kadang dinamai juga ”konsekuensialisme”.

Utilitarianisme disebut pula suatu teori teleologis (dari kata Yunani, telos = tujuan), sebab menurut teori ini kualitas etis suatu perbuatan diperoleh dengan dicapainya tujuan perbuatan. Perbuatan yang memang bermaksud baik tetapi tidak menghasilkan apa-apa, menurut utilitarianisme tidak pantas disebut baik. Menepati janji, berkata benar, atau menghormati milik orang adalah baik karena hasil baik yang dicapai, bukan karena suatu sifat intern dari perbuatan-perbuatan itu. Utilitarianisme dapat pula mengandung pengertian ”kewajiban”, tetapi hanya dalam arti bahwa manusia harus menghasilkan kebaikan dan bukan keburukan.

Kriteria utilitarianisme menurut pemahaman Pratley (1995) adalah ”kesenangan dan kebahagiaan”. Utilitarianism hedonistik mengatakan bahwa hasil akhir suatu tindakan atau peruatan atau pengambilan keputusan haruslah adanya kesenangan individu atau ketiadaan rasa ”sakit”. Utilitarianism eudaemonistik mengatakan bahwa terdapatnya keadaan sejahtera melebihi dari yang diinginkan pada diri individu – individu atau tindakan atau perbuatan atau pengambilan keputusan yang diambil.

Dalam perdebatan antara para etikawan, teori utilitarianisme menemui banyak kritik. Keberatan utama yang dikemukakan adalah bahwa utilitarianisme tidak berhasil menampung dalam teorinya dua paham etis yang amat penting, yaitu keadilan dan hak. Jika suatu perbuatan membawa manfaat sebesar-besarnya untuk jumlah orang terbesar, maka menurut utilitarianisme perbuatan itu harus dianggap baik. Akan tetapi, bagaimana bila perbuatan itu serentak juga tidak adil bagi suatu kelompok tertentu atau melanggar hak beberapa orang atau barangkali malah hanya satu orang? Jika mereka mau konsisten, para pendukung utilitarianisme mesti mengatakan bahwa dalam hal itu perbuatannya harus dinilai baik. Jadi, dengan kata lain, mereka harus mengorbankan keadilan dan hak kepada manfaat.

Namun, kesimpulan tersebut sulit diterima oleh kebanyakan etikawan. Sebagai contoh, kewajiban untuk menepati janji. Dasarnya adalah keadilan dan hak. Jika pemerintah Indonesia membuat perjanjian dengan suatu perusahaan, maka tidak boleh kemudian membatalkan perjanjian itu secara sepihak, karena merasa menyesal (misalnya, kurs dollar naik drastis). Memang benar, pembatalan perjanjian akan membawakan manfaat paling besar bagi paling banyak orang. Namun demikian, pihak kedua berhak bahwa kita tetap berpegang pada perjanjian. Mereka diperlakukan dengan tidak adil, jika membatalkan perjanjian yang terdahulu.

Dari kasus di atas, para utilitarianisme akan mengatakan bahwa janji tidak lagi mengikat kita, apabila mengingkari janji akan membawakan manfaat lebih besar bagi jumlah orang terbanyak. Akan tetapi, apakah dengan itu keadilan dan hal sebagai kewajiban moral tidak dikesampingkan? Dan bagaimana mutu teori etika yang tidak sanggup menampung paham moral yang begitu fundamental seperti keadilan dan hak?

Dengan maksud mencari jalan keluar dari kesulitan terakhir ini, beberapa utilitarianisme telah mengusulkan untuk membedakan dua macam utilitarianisme : utilitarianisme perbuatan (act utilitarism), dan utilitarianisme aturan (rule utilitarism). Yang dijelaskan di atas adalah utilitarianisme perbuatan di mana prinsip dasar utilitarianisme (manfaat terbesar bagi jumlah orang terbesar) diterapkan pada perbuatan. Utilitarianisme perbuatan ini tidak luput dari kesulitan teoritis yang besar, bahkan menghancurkan. Namun demikian, masih ada kemungkinan lain, yaitu utilitarianisme aturan di mana prinsip dasar utilitarianisme tidak harus diterapkan atas perbuatan-perbuatan yang kita lakukan, melainkan atas aturan-aturan moral yang kita terima bersama dalam masyarakat sebagai pegangan bagi perilaku kita.

Prinsip – prinsip utilitarianisme juga dapat digunakan dalam pengambilan keputusan.sebagai analisis pemegang saham (stakeholder analysis) dengan memperhatikan hal – hal sebagai berikut :
1. Menentukan bagaimana suatu biaya dan manfaat akan dapat diukur dalam memilih satu langkah tindakan atas tindakan yang lain.
2. Menentukan informasi apa yang dibutuhkan untuk menentukan biaya dan manfaat sebagai alat perbandingan.
3. Mengindentifikasi prosedur – prosedur dan kebijakan – kebijakan yang akan digunakan untuk menjelaskan dan membenarkan analisis atas biaya dan manfaat.
4. Menetapkan asumsi ketika mendefinisikan dan membenarkan analisis dan kesimpulan yang diambil.
5. Menentukan kewajiban moral terhadap tiap pemegang saham setelah biaya dan manfaat diestimasi untuk pengambilan strategi yang spesifik.

0 komentar: