FUNDAMENTALISME (AGAMA) DAN TERORISME

Benny Obon
Kru KMK_Ledalero – tinggal di wisma St. Rafael

Aksi teror bom bunuh diri kembali terjadi di tanah air pada tanggal 17 Juli 2009. Kali ini yang menjadi sasaran adalah hotel JW Marriott dan Ritz-Carlton. Ledakan bom bunuh diri tersebut membuyarkan perhatian publik pada pemilu, serentak membatalkan rencana kedatangan klub Manchester United ke Jakarta.
Siapa pelaku dibalik aksi teror tersebut? Untuk menjawab pertanyaan ini, saya menjelaskan kaitan antara fundamentalisme agama dan terorisme. Tidak bermaksud menyinggung agama tertentu, tetapi untuk melihat kemungkinan adanya motif religius di balik tindakan terorisme.
Fundamentalisme agama adalah salah satu paham yang dapat menjadi akar tindakan-tindakan irasional, seperti kekerasan atau terorisme dengan motif menjalankan perintah agama. Fundamentalisme pada dasarnya berkaitan dengan mekanisme rasionalitas yang mampu menggali nilai-nilai luhur keagamaan seperti keadilan dan kemanusiaan. Namun, justru tidak menunjukkan substansi pokok keagamaan tersebut. Faktanya fundamentalisme telah memupuk lahirnya terorisme dengan mengedepankan credo kekerasan.
Di balik berbagai aksi terorisme selalu muncul klaim paham keagamaan. Karenanya serentak menunjuk fundamentalisme sebagai aktor utamanya. Dengan demikian stigma fundamentalis kental disematkan kepada kaum teroris.
Fundamentalisme yang memupuk lahirnya terorisme mengembangkan satu ideologi yang merasuki kehidupan para teroris, selanjutnya menjadi suatu pilihan hidup. Karenanya terorisme menjadi sebuah komunitas yang mempunyai lembaga, titik tolak perjuangan serta objek yang jelas.
Habermas menjelaskan, fundamentalis mempunyai dering peyoratif. Ia menggunakan istilah tersebut untuk mencirikan suatu mentalitas yang khas, suatu sikap kepala batu yang menekankan didesaknya secara politis keyakinan-keyakinan serta alasan-alasan mereka, walaupun tidak rasional. Ini terutama berlaku bagi kepercayaan-kepercayaan keagamaan.
Selanjutnya Habermas menyebut beberapa sebab munculnya fundamentalisme. Pertama, fundamentalisme merupakan reaksi defensif melawan ketakutan akan tercabutnya gaya-gaya hidup tradisional dengan cara kekerasan. Umumnya kaum fundamentalis menaruh benci pada Amerika dan Eropa. Dengan posisi Amerika yang menjadi yang terdepan dalam garda pembangunan yang tak terkejar, dan dengan keadikuasaannya dalam bidang teknologi, ekonomi, politik dan kemiliteran membuat kaum fundamentalis merasa dilecehkan. Sementara Barat dalam keseluruhannya menjadi kambing hitam bagi dunia Arab. Ini menjadi suatu pengalaman kehilangan yang sangat nyata yang diderita oleh penduduk yang tercabik-cabik oleh tradisi budaya mereka dalam modernisasi terakselerasi. Mereka melihat kemajuan Amerika dan Eropa sebagai suatu ekspansi yang tak terbendung yang mengancam mereka akan tercabut dari gaya-gaya hidupnya yang tradisional.
Kedua, fundamentalisme muncul karena alasan politis. Kenyataannya bahwa beberapa orang yang masuk dalam perang syahid adalah orang-orang yang sebelumnya nasionalis sekuler. Hanya karena ketidakpuasan dengan rezim-rezim penguasa, mereka bersikap fundamental dan disebut sebagai pembangkang politik. Annuradha Chenoy dalam bukunya Demistifying Terrorism menjelaskan bahwa dalam sejarah, terorisme digunakan untuk menjuluki pembangkang politik.
Ketiga, fundamentalisme di Indonesia muncul sebagai ledakan politik. Selama masa pemerintahan Soeharto berbagai organisasi (fundamental) hampir tidak ada, kalaupun ada tetapi tidak muncul ke permukaan. Kuatnya cengkeraman kuku politik Soeharto sehingga kebebasan setiap warga negara sangat terbatas. Setelah kejatuhannya berbagai organisasi bermunculan tak ketinggalan yang bernuansa fundamental. Fundamentalisme tersebut terus meningkat dan melahirkan suatu jaringan yang cukup sulit dibongkar (jaringan teroris). Jaringan ini tumbuh subur di negeri kita karena di sinilah mereka menemukan habitatnya yang aman di bawah pimpinan Noordin M Top.

Melawan Teroris
Melawan teroris adalah suatu yang penting, dan merupakan tugas kita semua bukan hanya pemerintah dan aparat keamanan. Menghadapi aksi para teroris yang semakin meningkat, maka kita perlu memikirkan beberapa alternatif untuk meredam munculnya aksi teroris pada masa mendatang.
Pertama, perlu adanya dialog dan pendekatan persuasif dengan kaum fundamentalis. Karena teroris berkaitan erat dengan fundamentalisme, maka selalu berhubungan dengan agama-agama tertentu. Oleh karena itu perlu mencari akarnya dalam agama. Dialog dan pendekatan persuasif tersebut bertujuan untuk menggali muatan di balik aksi para teroris.
Kedua, agama-agama mesti terbuka terhadap rasionalitas. Habermas menjelaskan, bahaya fundamentalisme dan kekerasan atas nama agama bisa dihindari jika agama-agama terbuka terhadap prinsip-prinsip akal budi. Agama harus ditantang untuk menggunakan senjata bahasa (rasionalitas) dan bukannya bahasa senjata dalam menyelesaikan konflik. Agama juga mesti menerjemahkan doktrin-dokrtin teologisnya ke dalam term-term rasional, sehingga dapat dimengerti oleh pemeluknya. Dengan demikian doktrin-doktrin tersebut tidak disalahtafsirkan sehingga tidak melahirkan fundamentalisme (agama).
Ketiga, harus ada ketegasan hukum. Hukum sebagai diskursus penegakan keadilan mesti tegas dan tidak diintimidasi oleh pihak luar. Hukum bekerja pada garis kebenaran, karenanya ia independen dan tidak mengarah para kepentingan-kepentingan politik tertentu. Pemerintah juga harus tangkas/cepat dalam menangani kasus terorisme. Pengalaman penanganan kasus bom Bali yang berbelit-belit membuktikan bahwa pemerintah kurang serius menangani kasus terorisme.
Dengan memperhatikan unsur-unsur tersebut, maka kestabilan, keamanan sosial dan politik tercipta. Seiring dengan itu tercipta pula kesadaran manusia akan nilai-nilai kemanusiaan. Marilah kita melawan terorisme agar visi-visi kemanusiaan di dunia dapat terwujud.*

0 komentar: