Melampaui Hegemoni Kaum Pria

MELAMPAUI HEGEMONI KAUM PRIA
(Soal partisipasi Perempuan dalam Pemilu)
Benny Obon
Mahasiswa Sekolah Tinggi Filsafat Ledalero
Kru KMK_Ledalero – tinggal di wisma St. Rafael

Pada abad ke-19 muncul perjuangan kaum perempuan di Amerika Serikat yang dipelopori oleh Elisabeth Cady Canton. Ia menerbitkan The Woman’s Bible yang berisi tafsiran terhadap ayat-ayat Alkitab yang berkaitan dengan perempuan. Ia memperjuangkan persamaan peran dan kepemimpinan antara laki-laki dan perempuan dalam Gereja dan masyarakat.
Perjuangan untuk mencapai persamaan antara laki-laki dan perempuan dalam masyarakat atau negara telah lama diperjuangkan. Negara-negara yang sudah maju seperti Amerika, Jerman, dll sangat memperhatikan peran dan partisipasi perempuan dalam negara. Misalnya, Angel Merkel terpilih menjadi Kanselir Jerman, Condolise Rice yang diikuti oleh penerusnya Hillary Clinton dipilih sebagai menteri luar negeri Amerika Serikat, Gloria Macapagal Aroyo terpilih menjadi Presiden Filipina serta Megawati yang pernah menjadi Presiden Indonesia. Mereka dapat dikategorikan sebagai the great woman in the history of modern Politics. ¬¬
Globalisasi yang membawa perubahan dalam berbagai lini kehidupan manusia, telah menyebabkan kaum pria tidak memandang sebelah mata kaum perempuan. Dengan ini kaum perempuan dilihat sebagai mitra dalam memperjuangkan kesejahteraan bangsa dan negara. Tak jarang berbagai fenomena seperti perempuan menjadi menteri luar negeri, presiden atau pun pemimpin suatu partai politik sangat kuat pada era sekarang.
Dalam konteks Indonesia, perjuangan perempuan dalam ranah publik sudah lama diperjuangkan. Selain kongres Perempuan I di Bandung pada tahun 1928, partisipasi perempuan juga sangat besar (terutama) dalam memperjuangkan revolusi Indonesia. Partisipasi perempuan dalam revolusi Indonesia menjadikan mereka tidak tersubordinasi oleh kaum laki-laki. Anthony Reid dalam Southeast Asia In an Age of Commerce 1945-1680, menulis “Women in Indonesia had never been comprehensively subordinate to man, ...”. Kaum perempuan yang ikut dalam revolusi Indonesia umumnya menjadi aktivis – sebagai pemuda, (bdk. The Heartbeat of Indonesian Revolution, pp. 70-93). Selain mereka, kita juga mengenal sosok R. A. Kartini yang menjadi spirit gerakan kaum perempuan di Indonesia. Oleh sebab itu, pemilu legislatif kali ini dapat menjadi momen melahirkan Kartini-kartini baru di Indonesia.
Caleg perempuan tidak diragukan
Berlakunya Undang-undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilu semakin membuka peluang berperannya kaum perempuan di negeri kita dalam berbagai panggung politik. Dengan ini panggung politik Indonesia turut diramaikan oleh akrobat politik kaum perempuan. Ada beberapa alasan untuk tidak meragukan caleg perempuan.
Pertama, kaum perempuan kini ramai mengurus partai politik. Semakin banyaknya kaum perempuan yang mengurus partai politik mulai dari kader partai sampai pada ketua dewan pengurus cabang (DPC) membuka peluang bagi perempuan untuk ikut serta dalam pemilu. Keikutsertaan perempuan dalam pemilu dipertegas lagi oleh pasal 8 Undang-undang Nomor 10 Tahun 2008. Pasal tersebut mensyaratkan sekurang-kurangnya 30 persen keterwakilan perempuan di tingkat pusat (DPD). Kondisi ini memungkinkan perempuan untuk menunjukkan segala idealismenya dalam pemilu.
Kedua, adanya perempuan yang menjadi pimpinan partai politik. Kondisi ini mendorong kaum perempuan (lain) di Indonesia untuk terjun dalam dunia politik. Setidaknya ada empat partai politik yang diketuai oleh perempuan yaitu, Megawati Soekarno Putri yang memimpin Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Sukmawati Soekarno Putri yang memimpin Partai Nasional Indonesia Marhaenisme, Amelia Achmad Yani yang memimpin Partai Peduli Rakyat Nasional, sementara di Partai Indonesia Baru ada Kartini Sjahrir.
Ketiga, terbentuknya Undang-undang Nomor 55 Tahun 2008 yang mengakomodasi peluang perempuan sebagai calon anggota legisltif. Pasal tersebut menyatakan, dalam daftar bakal calon anggota legislatif yang diajukan partai harus memuat paling sedikit 30 persen keterwakilan perempuan. Ini berlaku untuk tingkat DPR, DPRD I, dan DPRD II. Kondisi ini memberi peluang bagi perempuan di seluruh Indonesia untuk ikut serta dalam pemilu.
Keempat, adanya perhatian yang besar dari beberapa partai politik akan partisipasi perempuan dalam politik. Hal ini ditunjukkan oleh beberapa partai politik yang mengajukan caleg perempuan di atas 40 persen. Ini satu hal yang menggembirakan. Dan, setidaknya ada delapan partai politik yang mengajukan caleg perempuan di atas 40 persen. Partai-partai tersebut antara lain, Partai Pengusaha dan Pekerja Indonesia (48,91%), Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia (45,08%), Partai Nahdlatul Ummah Indonesia (43,48%), Partai Demokrasi Kebangsaan (42,80%), Partai Persatuan Daerah (42,14%), Partai Demokrasi Pembaharuan (41,50%), Partai Bintang Reformasi (41,08%), dan Partai Matahari Bangsa (40,92%). Sementara itu untuk jumlah caleg perempuan per provinsi, provinsi Jawa Barat menempati posisi pertama sebanyak 635 orang caleg perempuan (16,3%). Provinsi Jawa Timur 505 orang caleg perempuan (13%), dan daerah Jawa Tengah dengan 467 orang caleg (12%). Sedangkan daerah NTT hanya 52 orang caleg perempuan (Kompas, 9/2/2009).
Kelima, tingkat pendidikan para caleg perempuan tidak jauh berbeda dari caleg laki-laki. Dari data KPU dapat dilihat bahwa, persentase caleg perempuan dari segi pendidikan patut diandalkan. Ini memungkinkan para caleg perempuan dapat bersaing dengan para caleg laki-laki. Perincian persentase tingkat pendidikan para caleg perempuan sebagai berikut, tingkat SLTA sebanyak 21,2%, Diploma 8,4 %, S1 53,7%, S-2 15%, dan S-3 sebanyak 1,7%. Dengan demikian kualitas caleg perempuan dari tingkat pendidikan hampir sama dengan caleg laki-laki (persentase caleg laki-laki terbesar yaitu dari latar belakang pendidikan S1 sebanyak 58,9%, yang lainnya tersebar mulai dari tingkat SLTA – S-3). Dengan ini caleg perempuan tidak perlu diragukan.
Melampaui hegemoni kaum pria
Dalam sejarah perpolitikan di negara kita, pernah terjadi protes penolakan terhadap kaum perempuan yang terjun dalam dunia politik. Pengalaman ini terjadi pada proses pemilihan presiden tahun 2004 yang lalu. Saat itu Megawati yang tampil bagai menara kembar di tengah bangunan-bangunan tinggi, dikritik dan ditentang oleh beberapa tokoh agama. Mereka menggunakan pendasaran Kitab Suci agama tertentu yang melarang perempuan menjadi pemimpin.
Penolakan mereka sangat tidak mendasar, karena negara kita adalah ‘pemuja’ demokrasi yang menekankan kebebasan bagi warga negara untuk ikut serta dalam berpolitik. Politik sebagai diskurs ruang demokrasi mesti memberikan kebebasan seluas-luasnya kepada warga negara. Perempuan sebagai warga negara juga berhak untuk ikut serta dalam politik. Oleh sebab itu segala pikiran dan idealisme yang (terlalu) mendasarkan Kitab Suci mesti ditinggalkan, karena cenderung bersifat dogmatis dan sulit untuk dikoreksi.
Keikutsertaan perempuan dalam pemilu adalah suatu babak baru sejarah politik Indonesia. Dengan ini kaum perempuan mendapatkan kembali hak politiknya. Kebijakan keikutsertaan perempuan dalam pemilu adalah suatu batu loncatan dalam dunia politik Indonesia sekaligus melampaui hegemoni kaum pria. Dengan ini panggung politik tidak hanya dihiasi oleh kaum pria tetapi juga oleh kaum perempuan. Oleh sebab itu dalam beberapa waktu ke depan kita akan menyaksikan banyak caleg perempuan akan tampil memaparkan visi dan misinya dalam kampanye.
Memang kebijakan kuota 30 persen bagi caleg perempuan masih dinilai diskriminatif, karena seharusnya kaum perempuan diberi peluang yang sama dengan laki-laki, sehingga kedudukan/persentasenya adil. Namun, ini menjadi suatu landasan dan proses menuju demokrasi yang lebih matang dan terbuka pada periode yang akan datang. Dengan demikian Indonesia dengan predikat sebagai negara demokrasi terbesar ketiga di dunia (setelah India dan Amerika Serikat) dapat semakin meningkat.*

0 komentar: