TOLERANSI

TOLERANSI ALA ORANG UBAMORO (1)

Benny Obon

Ubamoro, adalah nama sebuah kampung yang terletak di desa Korobera kecamatan Mego kabupaten Sikka. Kampung tersebut sangat unik dan khas. Semua orang tak menyangka kalau kampung yang terletak di sebelah barat kabupaten Sikka ini mempunyai kekayaan yang tak ternilai harganya. Mahalnya harga kekayaan yang dimiliki warga masyarakat kampung tersaebut membuat saya tertarik untuk mengenalnya secara lebih mendalam.
Kampung itu tak seberapa jauh letaknya dari kota kecamatan Mego. Dengan mengendarai sebuah sepeda motor setiap pengunjung akan dengan mudah sampai pada kampung yang kaya akan beras ini. Para pengunjung dapat menggunakan jasa ojek yang dapat ditemukan pada setiap sudut dan lorong kota mini Lekeba’i. Para pengunjung tentu akan merasa penasaran bila sedang berada di atas motor, apalagi sang tukang ojek bermanuver indah mengikuti setiap lekukan dan tikungan jalan. Namun setiap pengunjung mesti rela turun dari motor untuk berjalan kaki sepanjang 200 meter karena jalan masuk ke kampung itu berbatu-batu dan sedikit menurun yang tentu sangat berbahaya bagi setiap pengendara.
Setelah melewati jalan masuk yang berbatu-batu dan penuh dengan debu pada musim panas tersebut, anda siap menyeberangi sebuah kali yang cukup lebar. Anda mesti berhati-hati untuk memilih batu pijakan dalam air jikalau anda tidak ingin tergelincir dan basah kuyup.
Kalau anda seorang pendatang baru ke kampung itu, anda tentu akan mengalami perjalanan yang mengasyikan karena anda dapat merasakan sentuhan dan lembutnya permukaan batu kali yang mengenai telapak kaki anda. Namun, anda tidak boleh terlena dengan permainan manja batu-batu kali itu, sebab batu-batu itu sangat licik.
Pada permukaan lain batu-batu pijakan itu ditumbuhi lumut yang bergoyang kesana-kemari tanpa hentinya mengikuti permainan air. Lumut-lumut itu selalu siap mengancam anda dan siap menarik kaki anda untuk mengikuti permainan mereka. Tanpa disadari anda pun larut dalam permainan mereka dan tergelincir, anda pun akan mendapatkan diri sedang terkapar di tengah kali. Dengan hati kesal dan mungkin sedikit umpatan anda akan bangun dengan pakaian yang sudah basah.
Kalau anda penganut aliran naturalisme tentu anda akan menikmati permainan lumut-lumut itu dan anda tentu bersyukur karena sudah masuk dalam permainan sahabat alam: lumut dan air. Itulah pengalaman indah yang anda dapatkan sebelum masuk ke kampung itu sekaligus dijadikan sebagai unforgetable experince dalam perjalanan anda.
Setelah melewati kali yang menjadi tempat untuk mandi dan cuci bagi warga sekitar itu, anda mesti menunggu si tukang ojek yang sedang berjuang mendorong motornya melewati kali itu. Kemudian anda bisa menlanjutkan perjalanan ke kampung Ubamoro. Anda akan menghabiskan waktu dua menit dari pinggir kali itu untuk mencapai kampung yang dihuni oleh warga Katolik dan Islam tersebut.
Keramahan warga kampung dapat dirasakan ketika kita memasuki gerbang kampung. Kehangatan alam dan kehangatan suasana persaudaraan yang dibangun di kampung itu dapat dirasakan di sepanjang kampung itu.
Keramahan warga kampung terbersit dalam wajah dan setiap ucapan selamat yang mereka berikan kepada siapa saja yang masuk ke kampung itu. Ucapan selamat datang tersebut merupakan ungkapan akan kecintaan dan kebanggaan mereka kepada setiap orang yang mengunjungi kampung itu. Mereka selalu bangga jika ada orang yang mengunjungi kampung itu, karena mereka akan dengan senang hati menceritakan dan mungkin membagikan harta kekayaan yang mereka miliki sekaligus mereka hidupi.
Bila anda pendatang baru di kampung itu, anda jangan terlalu berharap dan untuk sejauh mungkin memikirkan bentuk, model serta ukuran harta atau mungkin ada yang bertanya seperti apakah harta yang mereka miliki itu. Bila anda sedang duduk minum sambil merokok mereka akan dengan bangga menceritakan sikap toleransi antarumat beragama yang sangat tinggi. Itulah harta termahal yang mereka miliki yang dalam ukuran dan kadar tertentu berbeda dengan toleransi yang ada, dihidupi dan dijalankan di tempat lain.
Anda tentu akan merasa ingin tahu lebih banyak tentang tolerasnsi yang mereka hidupi dan yang mereka mengerti. Anda tidak perlu heran karena konsep toleransi ala orang Ubamoro mungkin sama sekali tidak dipakai. Kedalauwarsa. Atau mungkin anda akan terperangah dengan konsep toleransi yang mereka mengerti. Sikap toleransi yang dimengerti oleh orang Ubamoro dibangun dari cara hidup mereka, cara mereka bertutur kata, dan cara mereka beribadah.
Konsep toleransi bagi mereka tidak lebih sebagai hidup berdampingan saling damai, saling menolong dan saling membantu dalam segala hal. Mereka tidak mempunyai standar dan ukuran yang khusus tentang nilai toleransi.
Bapak Ibrahim Do’o selaku Imam mengartikan toleransi secara sederhana. Ia mengatakan bahwa kalau ada kegiatan yang dirasa penting dari orang Katolik orang Islam selalu membantu. Inilah nilai toleransi yang mereka hidupi, yang mereka jalankan dan yang mereka mengerti. Lebih jauh ia mengatakan bahwa kami selalu memberikan sumbangan materi bila dibutuhkan. Sumbangan materi tersebut seperti membantu mengangkat batu dan pasir untuk pembangunan Kapela umat Katolik. Ia sendiri mengaku menyumbangkan beberapa buah pohon kelapa untuk dijadikan balok dalam pembangunan rumah ibadah warga Katolik di kampung itu.
Inilah satu sikap toleransi yang mesti diteladani oleh kita semua sebagai warga bangsa Indonesia yang hidup di tengah realitas pluralitas agama. Toleransi hendaknya dimengerti secara luas dan dihayati secara luas dan kontekstual. Artinya toleransi tidak hanya sebatas saling menghargai umat agama lain, tetapi masuk lebih jauh ke dalam dan menukik pada sasaran dan karya nyata. Karya nyata yang terbesar ditunjukkan oleh warga kampung yang agak datar itu.
Sebagai mitra Allah di dunia kita diajak untuk selalu mendukung usaha dan gerakan toleransi antarumat beragama. Kita diajak untuk berdialog untuk meningkatkan nilai iman dalam kehidupan sehari-hari. Dialog yang terbesar ditunjukkan oleh warga Ubamoro dengan melibatkan seluruh aspek dalam keseharian hidup mereka. (bersambung).
TOLERANSI ALA ORANG UBAMORO (2)
Benny Obon

Toleransi yang ditunjukkan warga Ubamoro lahir dari kedalaman diri yang terdalam. Nilai toleransi yang mereka tanam membias dalam berbagai bidang kehidupan, tidak hanya berada pada tataran konsep dan praktik dangkal. Tetapi lebih dalam dilihat sebagai bagian dari hidup mereka dan toleransi itu sendiri adalah hidup, ada, keberadaan, serta esensi hidup itu sendiri.
Toleransi merupakan suatu hal yang mendasar dalam membangun suatu kehidupan yang aman, damai, tenteram serta saling pengertian dan hidup berdampingan penuh persaudaraan. Persaudaraan tidak ditunjukkan dalam hal-hal yang besar tetapi mesti dalam bentuk yang lebih sederhana.
Warga Ubamoro telah menunjukkan satu bentuk persaudaraan yang paling nyata dan sangat sederhana. Mereka membangun suatu sikap hidup yang patut diteladani tidak berdasarkan pada keinginan untuk dijadikan contoh dan mendapat pujian dari pihak lain, tetapi muncul dari suatu kesadaran yang timbul dari kedalaman diri. Sikap ini selalu didukung oleh semangat keterbukaan untuk menerima perbedaan apa adanya.
Perbedaan bukanlah suatu hal yang membuat kita berjalan pada masing-masing arah yang berbeda dan menutup mata terhadap yang lain. Perbedaan mesti dilihat secara luas dari dalam alam lingkungan di mana kita hidup. Perbedaan juga menjadi satu ciri khas yang membuat kita kaya dalam berbagai sikap dan tingkah laku. Dalam tataran tertentu sikap hidup kita akan terbawa dan dengan sendirinya tercermin dalam berbagai tutur kata dan perbuatan. Inilah satu ciri khas orang Ubamoro yang tidak dimiliki oleh orang lain.
Dalam keseharian hidupnya mereka selalu bergumul dalam berbagai profesi dan pekerjaan mereka. Mereka adalah orang kampung yang mungkin tidak pernah berpikir akan realitas perbedaan yang lebih luas dengan segala peliknya berbagai persoalan yang ditimbulkan oleh perbedaan tersebut.
Mereka mungkin tidak pernah memikirkan suatu gerakan universal dewasa ini akan pentingnya dialog untuk menciptakan kerukunan antaragama. Suatu kesadaran pada zaman modern bahwa dialog, toleransi dan penghargaan serta berbagai kerja sama antarumat beragama dirasa sangat perlu. Kesadaran ini muncul dari suatu kenyataan dunia yang semakin kompleks, ketika orang tidak lagi percaya akan adanya Tuhan.
Kesadaran untuk masuk dalam dialog seperti ini tidak akan terwujud jika semua pihak tetap mempertahankan posisinya dan menganggap dirinya sebagai yang lebih benar dan paling utama. Dunia luas mungkin hanya berangkat dari berbagai pengalaman pahit yang ditimbulkan oleh perbedaan tersebut yang pada gilirannya dirumuskan dalam tataran konsep dan belum pada tataran praktik. Artinya setelah konsep itu dilihat sebagai yang penting dan merasa mendesak barulah semangat dialog digalakkan. Tetapi, warga Ubamoro tidak pernah memikirkannya, malah langsung bergerak pada tataran praktik. Tak heran mereka lebih maju dari siapapun dalam pengahayatan hidup bertoleransinya.
Toleransi ala orang Ubamoro menyata dan melingkupi semua bidang kehidupan, tidak hanya dalam hal agama tetapi juga dalam hal adat. Bapak Ahmad Poto menuturkan bahwa mereka selalu terlibat dalam kegiatan bersama dalam memajukan semangat persaudaraan diantara mereka. Mereka selalu menyumbangkan semen, dan beras untuk pembangunan rumah ibadah warga katolik. Ia sendiri mengartikan toleransi sebagai keadaan aman yang selalu tercipta, saling memberi dan membagi. Lebih jauh ia menuturkan bahwa ia tidak pernah merasa sebagai oarng yang berbeda, tetapi selalu merasa satu dan merasa yang lain satu karena tujuan kita hanya satu yaitu Allah.
Ia berpesan kepada semua warga Ubamoro agar tetap menjaga keamanan dan tidak membuat keributan karena dilarang oleh agama dan adat. Selain agama, persaudaraan orang Ubamoro juga dipererat oleh sebuah ikatan adat yang sama. Mereka selalu menjunjung tinggi nilai budaya dan adat dan mereka pun selalu melaksanankan pesta adat secara bersama.
Inilah semangat persatuan yang ditunjukkan oleh warga kampong yang terdiri dari 68 kepala keluarga itu. Semangat ini menyata dan menyeluruh pada semua warga sehingga mereka tidak pernah merasa berbeda.
Sementara itu bapak Robertus Reu selaku ketua lingkungan umat Katolik mengaku kadang-kadang mereka berkumpul pada waktu lebaran, pada malam pentakbiran, idulfitri dan hari-hari rayar lainnya. Mereka selalu bersilaturahmi bersama pada waktu pesta-pesta besar. Lebih jauh ia menuturkan bahwa kadang mereka meminta beberapa gadis remaja Muslim untuk ikut dalam koor karena kekurangn anggota.
Satu hal istimewa yang saya alami adalah seorang muslim mengiringi mereka dalam latihan koor sehingga memudahkan saya dalam memberikan latihan koor kepada warga Katolik.
Sikap saling mengunjungi dan bersilaturahmi serta saling membntu seperti ini merupakan suatu sikap dialog yang nyata dan sederhana. Warga Katolik di dusun Ubamoro merasa bahwa mereka hidup, ada, bergerak dan bekerja dalam suatu konteks keanekaan agama. Sikap ini menunjukkan penghargaan yang diterapkan secara baru dari umat Katolik terhadap sahabat muslim dan muslimat. Dengan sikap demikian mereka juga bersaksi sebagai pembawa cinta kasih Kristus di tengah dunia yang majemuk ini.
Warga Ubamoro menyadari bahwa dialog dengan Allah yang Maha Tinggi, Maha Rahim, Rahman dan Rahim terlebih dahulu dimulai dari dialog yang sederhana dalam keseharian hidup mereka. Nama-nama baik Allah yang Maha Pelihat dan Maha Akbar dan Esa serta sifat-sifat yang ada padaNya ditemukan pada para tetangga kita sehingga para kerabat yang ada di samping kita adalah mitra dialog Allah di bumi.
Bagi orang Ubamoro dialog merupakan suatu sikap dan cara bertindak yang adalah konkretisasi nilai toleransi itu sendiri. Toleransi dilihat sebagai suatu sikap rerspek serta bersikap ramah-tamah terhadap yang lain. Bagi Kaum Muslim dan Muslimat Ubamoro dialog merupakan semangat yang diwariskan Sang Nabi. Nabi Muhammad dalam Qur’an 5,48 menegaskan bahwa hendaknya umat berlomba-lomba berbuat baik. Kaum muslim Ubamoro menyadari perintah sang nabi tersebut sehingga mereka pun selalu hidup aman, damai, dan tenteram dalam membangun suatu kedamain dalam hidup yang diinginkan. (habis).

0 komentar:

Belum Ada Judul

BELUM ADA JUDUL (1)
Benny Obon
Hembusan angin malam membelai wajah para penonton yang hadir dalam acara pementasan teater yang dibawakan oleh para mahasiswa STFK Ledalero di Maumere pada tanggal 28 oktober yang lalu. Para kaum muda dari berbagai sudut kota Maumere datang dan memadati area yang menjadi tempat pementasan teater berjudul ‘Belum Ada Judul’. Kehangatan udara pada malam hari yang menjadi kekhasan kota nyiur melambai itu membuat setiap penonton larut dalam alunan musik yang mengiringi acara pementasan teater.
Para penonton yang sebagian besar terdiri dari kaum muda itu bersatu dalam semangat nasionalisme melawan berbagai ancaman disintegrasi budaya, bahasa dan bangsa. Kaum muda yang berjiwa nasionalis itu sontak bersorak dan bersama-sama menyanyikan lagu “Satu Nusa Satu Bangsa” dengan penuh semangat. Trinold, yang menjadi master of ceremony dalam acara itu terus membakar semangat kaum muda dengan yel-yel kemerdekaan kaum muda: Merdeka! Merdeka! Hidup kaum muda! Para penonton yang ruapanya sudah tidak sabar menyaksikan acara teater itu pun membalas yel-yel itu dengan sorakan dan tepuk tangan. Tak ketinggalan juga komentar para penonton yang kedengaran ‘eskatologis’ yang mengundang para yang penonton lain larut dalam tertawa.
Para penonton yang sudah tidak sabar dengan penampilan kelompok teater semakin bersemangat ketika dua orang bintang yang mewakili Shalink Tana Puang Maumere membawakan sebuah lagu berjudul Berita kepada kawan. Lagu yang bertipe melankolis ciptaan Ebid G. Ade itu dinyanyikan dengan penuh improvisasi oleh kedua orang bintang yang tampak melankolis dan pragmatis tersebut. Kedua gadis itu menjadi representan kaum muda sekota maumere dalam acara memperingati hari sumpah pemuda yang ke-80 dan seabad hari kebangkitan nasional. Lagu yang dinyanyikan secara begantian oleh kedua gadis remaja itu mengundang siulan dan tepukan tangan yang meriah dari para penonton.
Acara pertunjukan teater dari mahasiswa STFK Ledalero yang disiarkan langsung oleh radio Sonia FM maumere itu dikemas sedemikian rapih sehingga dibawakan dengan sangat menarik. Kaum muda yang hadir pun enggan beranjak dan berpindah dari tempatnya. Kaum muda kota nyiur melambai yang mempunyai jiwa musik dan seni yang tinggi semakin bersemangat ketika Santi membawakan sebuah lagu dengan penjiwaan yang penuh. Gadis remaja yang menjadi salah satu bintang pada malam itu menyanyikan lagu yang bernafas nasionalisme dengan penuh ekspresif.
Acara pertunjukkan teater tersebut diselingi oleh berbagai acara dari kelompok wahana lingkungan hidup Indonesia (Wahli) cabang NTT. Wahli membawakan orasi yang membakar semangat para penonton. Dengan visi dan misi yang mulia mereka tampil dengan penuh semangat memaparkan kepeduliannya akan realitas lingkungan NTT sekaligus mengajak kaum muda Maumere untuk menaruh kepedulian terhadap kelestarian alam NTT umumnya dan Sikka khususnya. Pulau nusa bunga akan menjadi nusa gersang jika kita tidak menjaga kelestariannya. Kaum muda diajak untuk tetap menjdikan Flores sebagai pulau yang penuh dengan bunga. Dengan demikian nama flores yang pertama kali diberikan oleh orang Portugis kepada pulau berbentuk ular ini pun tidak hilang dari ingatan kita tetapi tetap mengabadikannya dalam ingatan kolektif kita.
Para penonton yang hadir tampak sangat tenang mendengarkan orasi para kelompok Wahli. Kaum muda dan siapa pun yang hadir pada malam itu bangga dengan keberanian beberapa orang anak SMP yang ikut memberikan orasi dan pernyataan kepeduliannya akan lingkungan. Pelajar SMP asal Larantuka tersebut sengaja datang untuk mengajak dan menyadarkan kaum muda Maumere untuk lebih peduli terhadap lingkungan.
Wahli mengajak segenap kaum muda untuk bersama-sama memerangi berbagai tindakan eksploitasi terhadap lingkungan karena akan merugikan generasi selanjutnya. Lingkungan mesti dilihat sebagai sahabat yang mesti dijaga dan dirawat, bukan untuk dieksploitasi.
Acara pementasan teater berjudul “Belum Ada Judul” yang menjadi puncak acara tersebut dihadiri juga oleh Sekretaris Daerah (Sekda) kabupaten Sikka yang mewakili unsur pemerintah daerah (Pemda) Sikka.
Berbagai realitas dan persoalan yang dihadapi bangsa kita dikemas dalam teater yang ditulis oleh Oston Gadi Kapo yang sekaligus menjagi pelaku utama dalam teater tersebut. Teater tersebut bersifar inkulturatif dan penulis sengaja memasukan unsur budaya kedalamnya karena bangsa kita adalah bangsa yang satu dengan pluralitas bahasa, dan budaya. Kesadaran akan pluralitas inilah yang membangkitkan semangat kaum muda untuk bersatu dalam sumpah pemuda. (bersambung).








BELUM ADA JUDUL (2)
Benny Obon
Hari terus beranjak, malam pun tampak semakin pekat. Para penonton sedikitpun tidak tersusik dengan kegelapan malam yang terus bergeser menemui hari berikutnya. Malam seakan tak sabar dan tak terasa ia bergerak perlahan untuk menjumpai kekasihnya sang raja siang. Gesekan daun pohon mangga yang tumbuh dan berkembang dalam keheningan di taman itu menjadi musik alam yang mengiringi langkah para pelakon teater tersebut.
Jalanan tampak lengang dan sepi. Tak terdengar deruan kendaraan roda dua dan roda empat yang lewat. Rumah-rumah warga sekitar tampak sepi yang mengisyaratkan mereka larut dalam mimpi. Tak seorang pun tahu kalau di antara mereka ada yang memimpikan negeri ini atau mungkin mereka capeh dan atau mungkin otak kecil mereka penuh sesak oleh berbagai persoalan yang diderita bangsa ini.
Area pementasan teater terasa sepi di tengah desak-desakan penonton yang hadir. Sorot lampu utama pada panggung teater mengundang penonton larut dan terbang jauh ke dalam sabana keheningan. Sorot lampu utama yang serentak menampakkan pelaku utama di atas panggung serentak mengundang sorakan dan tepukan tangan yang meriah dari para penonton.
Sapaan awal pelaku utama yang tampak penuh wibawa membuat penonton terdiam. Kaum muda yang tampak menikmati acara teater tersebut tekun mendengarkan setiap kata dan ucapan yang dikeluarkan oleh pelaku utama. Sebentar-sebentar mereka bersorak dan memberikan tepukan tangan terhadap berbagai akting yang membuat para penonton tertawa.
Para penonton kembali terdiam pada setiap bagian di mana sang pelaku utama berbicara dengan suara yang kecil. Semakin kecil ia bersuara penonton pun semakin penasaran mendengarkan setiap kata yang diucapkannya. Mereka tampak tenang mendengarkan dan memetik pesan yang disampaikan dalam teater berjudul “Belum Ada Judul” tersebut.
Para penonton yang hadir dalam pementasan teater tersebut sangat senang dan bangga karena bisa mengangkat realitas dalam hidup masyarakat kita. Thirsa, seorang mahasiswi semester VI pada Universitas Nusa Nipa mengatakan bahwa indonesia yang sudah tidak terarah lagi benar-benar dikritik dalam teater tersebut, dan ia berpesan agar kaum muda Maumere tetap berjuang untuk bersatu.
Sementara itu Mr. Black, vokalis group band Revolution yang sering menyaksikan acara teater berkomentar bahwa, nilai seninya belum maksimal namun pesannya sangat jelas. Ia sendiri berpesan agar masyarakat menjadikan seni sebagai sebuah jalan keluar terhadap berbagai persoaloan hidup yang kita alami selama ini.
Penonton lain seperti Imelda yang sehari-hari bekerja di kantor bandara Waioti yang juga belum pernah menyaksikan acara serupa mengaku sangat senang. Lebih jauh ia mengatakan penampilan tokohnya sangat bagus dan ia mengharapkan agar kaum muda Maumere lebih menghargai seni.
Pater Dr. Kondrad Kebung, SVD selaku ketua STFK Ledalero mengaku sangat senang dan mendukung kreativitas mahasiswa, beliau mengharapkan kreasi mahasiswa mesti ditingkatkan dan memberi peluang yang banyak untuk mengekspresikan diri dan mendekatkan diri dengan masyarakat.
Para penonton yang hadir tampak gembira ketika mereka memahami persoalan utama yang ingin disampaikan dalam teater tersebut. Mereka seakan sepakat mengatakan bahwa negeri kita sedang tidak beres. Di mana-mana terjadi tindakan ketidakadilan yang memecahbelah kesatuan. Atas nama suatu kepentingan para penguasa menyulap ide rakyat yang pada gilirannya membawa orang pada perpecahan yang menodai semangat sumpah pemuda. Para penguasa lihai menipu rakyat yang mengancam persatuan yang sudah ditanamkan dan diikrarkan para pedahulu kita pada 28 Oktober 1928 yang lalu.
Teater ini mau mengatakan bahwa kita semua belum ada judul. Dengan ini kita ditantang untuk memiliki judul: untuk bangkit dan tampil bersatu menghadapi berbagai tantangan hidup dewasa ini.
Kita belum punya judul, kita belum punya bentuk, kita belum sungguh bangkit, dan kita belum sungguh-sungguh bersatu. Oleh karena itu kaum muda Maumere ditantang agar kita mempunyai judul, agar kita mempunyai bentuk, agar kita sungguh-sungguh bangkit, dan agar kita semakin bersatu.
Teater yang terdiri dari tiga babak tersebut mengungkap kenyataan dan serentak menawarkan harapan dalam diri kaum muda agar kita sungguh bangkit dalam kesatuan memperjuangkan kesatuan. Dengan demikian kita mempunyai dasar pijak hidup yang satu yang bernama Tanah Air Indonesia, supaya semua bahu-membahu bekerja sama dalam sebuah tubuh yang bernama Bangsa Indonesia, dan supaya semua dalam gerakan menuju tujuan yang satu dijiwai oleh Roh sama yang bernama Bangsa Indonesia. (habis).

0 komentar: