Harapan untuk Pilgub NTT

PILGUB: MOMENT MENCARI FIGUR PEMBAHARU

Benny Obon
Belajar pada STF Ledalero-anggota KMKL
Anggota KMK Ledalero

Tahun ini daerah kita akan mengalami moment penting yaitu pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah (gubernur dan wakil gubernur) secara langsung. Tema-tema seputar calon dan visi-misi pasangan calon pun menjadi bahan perbincangan di masyarakat. Pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah secara langsung adalah suatu hal yang baru, dalam mana rakyat sendiri yang menentukan secara langsung siapa yang dianggap pantas untuk menjadi pemimpin.
Undang-Undang No. 22 tahun 2004 menegaskan legitimasi hukum atas pemilihan kepala daerah secara langsung. Kini perwujudan demokrasi kerakyatan dalam skala lokal tertuang melalui proses pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah secara langsung oleh rakyat. Pemilihan kepala daerah secara langsung ini merupakan satu indikator perubahan sistem ketatanegaraan dan tanda kemajuan sistem demokrasi di negeri kita. Pemilihan kepala daerah secara langsung merupakan suatu moment yang tepat bagi rakyat untuk mencari figur pembaharu yang akan membawa daerah kita bebas dari masalah korupsi dan penyakit kemiskinan yang sudah mewabah. Rakyat menjadi kunci kesuksesan para calon.
Hal ini sesuai dengan pendapat John Locke (1632-1704) yang melihat rakyat sebagai mahkota yang memegang kekuasaan tertinggi dalam negara. Dan bagi Locke pemilu merupakan dasar institusional untuk menciptakan akuntabilitas mereka yang memimpin. Dasar akuntabilitas inilah yang diharapkan dari seorang figur pembaharu. Dan sesungguhnya pemilihan kepala daerah secara langsung lebih luas dilihat sebagai sarana pencapaian rasionalitas politik kerakyatan. Sebuah sarana pencapaian yang menandakan perluasan horizon pemahaman dan pemaknaan rakyat akan politik tidak lagi dilihat sebagai instrumen di tangan penguasa dalam mencari dukungan dan mempertahankan status quo. Rasionalitas politik yang dicapai melalui pemilihan kepala daerah secara langsung merupakan aktualisasi pelimpahan kedaulatan rakyat.
Lahirnya banyak kontestan pilkadal NTT dengan berbagai program yang berorientasi populis sering membingungkan rakyat, apalagi terbatasnya waktu sosialisasi, kurangnya pendidikan politik dan pembodohan politik dalam kampanye. Untuk mengatasi hal ini ada dua point yang perlu diperhatikan oleh rakyat. Pertama, rakyat perlu mengenal apa itu pilkadal dan untuk apa pilkadal itu dilaksanakan. Ini merupakan pengetahuan dasar atau filsafat di balik pilkadal. Pilkadal tidak sekadar sebagai ritual demokrasi tetapi menyangkut hubungan antara basic human rights dan hak memilih. Kedua, menentukan pilihan partai dan wakil legislatif yaitu gambaran jelas profil partai dan calon yang diusung partai itu. Rakyat juga perlu mengenal track record calon bersangkutan apakah ia cacat hukum dan bagaimana keberpihakannya pada rakyat. Rakyat harus kritis dan rasional.
Pilkadal sebagai perwujudan demokrasi tidak sekadar sebuah tanda kemajuan ketatanegaraan tetapi lebih sebagai partisipasi rakyat dalam menentukan figur pembaharu. Oleh sebab itu rakyat harus lebih kritis sebelum menentukan pilihannya. Agar rakyat kritis ada tiga hal yang harus diperhatikan. Pertama, rakyat perlu mempertanyakan apa persoalan yang sedang dihadapi daerah kita. Di sini rakyat perlu melihat fakta sosial yang ada, ini disebut tahap kodifikasi. Misalnya, korupsi yang telah membudaya dalam struktur birokrasi kita. Kedua, setelah melihat fakta sosial itu lalu kita bertanya mengapa persoalan korupsi itu muncul. Ini disebut tahap dekodifikasi, tahap analisis atas persoalan. Misalnya, kendati sudah dibentuk Komisi Pemberantas Korupsi (KPK), namun tetap saja korupsi merajalela. Ketiga, mempertanyakan bagaimana jalan keluar atas persoalan (korupsi) itu. Ini adalah tahap praksis, tahap pemecahan masalah. Misalnya, pilkadal harus menghasilkan figur pembaharu yang mempunyai komitmen kuat untuk memberantas penyakit korupsi ini.
Partisipasi aktif rakyat dalam pilkadal gubernur yang demokratis sangat penting. Di sini rakyat mempunyai hak untuk menentukan calon yang mempunyai akuntabilitas yang mampu mengubah wajah daerah kita. Maka kita perlu memotret pasangan yang berpotensi untuk menjadi orang nomor satu di daerah kita. Untuk itu ada baiknya pasangan yang akan berlaga secara khusus ”mereka” (cagub dan cawagub) yang pernah ”mengarsiteki” NTT pada periode sebelumnya perlu mengukur diri sejauh mana mereka sebagai pasangan yang berpotensi sudah membangun rasa kepercayaan rakyat kepada mereka. Menurut John E Barbuto dan Daniel W Wheeler ukuran itu menyangkut sejauh mana rakyat memberikan rasa percaya terhadap tujuh ukuran servant leadership terhadap mereka.
Pertama, Rasa percaya rakyat tentang semangat altruisme para calon, semangat mengorbankan interes pribadi untuk kemaslahatan dan kebaikan rakyat banyak. Misalnya, kalau ada penderitaan rakyat seperti bencana tanah longsor di Manggarai beberapa waktu lalu, sejauh mana ”mereka” mengorbankan kepentingan diri dan hadir di tengah penderita/korban. Dengan ini masyarakat mengenal dan menaruh kepercayaan kepada mereka.
Kedua, rasa percaya rakyat kepada ”mereka” tentang apakah ”mereka” mempunyai ketulusan hati untuk mendengar suara rakyat sekaligus menghargainya. Misalnya, ketika harga BBM naik masyarakat mulai bersuara, sejauh mana ”mereka” menaruh perhatian terhadap persoalan itu.
Ketiga, rasa percaya menyangkut apakah ”mereka” mengerti jika sesuatu secara spesifik menimpa rakyat dan bagaimana kejadian itu mempengaruhi kehidupan. Misalnya, masalah yang dihadapi oleh TKI yang mendapat perlakuan kasar dari majikannya di luar negeri. Sejauh mana ”mereka” mampu menaruh perhatian terhadap persoalan itu.
Keempat, sejauh mana rakyat datang mengadu dan menggantungkan harapan kepada ”mereka” jika sebuah peristiwa traumatis menimpa rakyat. Misalnya, jika korban kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) datang, sejauh mana ”mereka” melakukan sesuatu yang nyata dan penuh keberanian memecahkan masalah traumatis yang dialami orang tersebut.
Kelima, sejauh mana rasa percaya akan kemampuan ”mereka” mengantisipasi masa depan dengan segala konsekuensinya. Misalnya, melihat perekonomian daerah kita yang semakin terpuruk yang berujung pada masalah kemiskinan dan pengangguran. Apa usaha ”mereka” dalam menciptakan terobosan baru untuk mengatasi kemiskinan dan pengangguran yang dapat mengubah wajah daerah kita.
Keenam, sejauh mana rakyat yakin akan kesiapan dan keterampilan organisatoris ”mereka”, apakah ”mereka” mampu membawa perubahan positif bagi daerah kita. Misalnya, kalau daerah kita identik dengan lahan basah untuk korupsi, sejauh mana ”mereka” mampu menangkap para koruptor dan mengembalikan citra NTT yang bersih dari korupsi seefektif mungkin.
Ketujuh, sejauh mana rakyat percaya bahwa ”mereka” memiliki good will dan komitmen untuk mengembangkan dan memberdayakan rakyat melalui jalur dunia pendidikan atau sektor lainnya. Misalnya, kita melihat fakta sosial bahwa ruang pengangguran di daerah kita tidak hanya dihuni oleh orang yang tidak berpendidikan tetapi juga oleh mereka yang berijazah dan spesifikasi khusus. Kenyataan ini menunjukkan dunia pendidikan kita belum mampu mencetak orang yang kreatif dan inovatif membuka lapangan kerja sendiri. Di sini kita dapat melihat sejauh mana usaha ”mereka” mengatasi masalah ini.
Beberapa hal di atas sekaligus menjadi nilai-nilai kepemimpinan yang bersifat melayani. Dengan melihat ketujuh ukuran di atas rakyat mempunyai modal untuk memotret dan memilih figur yang tepat yang mampu membaharui NTT sehingga citra daerah kita yang identik dengan kemiskinan dapat berubah.*

0 komentar: